Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Saya Musuh Industri Rokok

9 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati suami dan anak-anaknya perokok, Nafsiah Mboi tak kenal ampun pada rokok. Sebagai Menteri Kesehatan, dia gigih mendorong Indonesia meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC). Empat bulan lalu, ia mengirim surat kepada 18 kementerian lain terkait dengan rencana ratifikasi konvensi itu. Dia menyerahkan berbagai dokumen yang dibutuhkan—untuk proses ratifikasi—kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kementerian Luar Negeri dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Hasilnya, antara lain, tiga kementerian yang tadinya menentang sudah memberi lampu hijau. "Dewan dan Presiden sudah oke," katanya. Dia optimistis tapi sekaligus paham bahwa ada banyak tentangan terhadap rencana ini—termasuk dari petani dan pengusaha tembakau. Tapi Nafsiah pantang mundur. Ia amat berharap ratifikasi konvensi bisa mengurangi jumlah perokok Indonesia. Sejauh ini jumlah perokok di Indonesia terbanyak ketiga di dunia, setelah Cina dan India.

Perokok di kalangan orang dewasa Indonesia sebesar 34,8 persen dari jumlah penduduk atau 61,4 juta jiwa, terdiri atas 67,4 persen pria dan 4,5 persen wanita. Angka itu berasal dari survei The Global Adult Tobacco Survey, kerja sama Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan pada 2011.

Di luar urusan pengendalian tembakau, Nafsiah Mboi dihujani kritik akibat program Pekan Kondom Nasional. Gara-garanya sebuah bus warna merah menyala berkeliling Jakarta membagikan kondom gratis kepada kalangan anak muda. "Kegiatan itu bukan program Kementerian Kesehatan, melainkan perusahaan swasta," dia menjelaskan.

Tiga pekan lalu, Nafsiah menerima Heru Triyono, Nugroho Dewanto, Agoeng Wijaya, Purwani Diyah Prabandari, dan fotografer Aditiya Noviansyah dari Tempo untuk sebuah wawancara khusus. Perbincangan berlangsung di kantornya di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Kementerian Kesehatan berulang kali mendorong ratifikasi konvensi pengendalian tembakau, tapi selalu gagal. Apa sebabnya?

Prosesnya memang lama. Saya juga malu. Padahal Indonesia termasuk yang dari awal ikut merumuskan FCTC bersama 191 negara anggota WHO. Waktu itu saya masih di WHO dan menginginkan konvensi ini menjadi kesepakatan internasional.

Apakah Anda kesulitan mendapatkan dukungan publik?

Tidak juga. Saya sadar menjadi public enemy number one bagi industri rokok. Tapi saya didukung 50 lembaga swadaya masyarakat, termasuk Komnas HAM, Komnas Anak, dan lainnya. Sebenarnya semua kementerian mendukung, cuma diam-diam saja, makanya Peraturan Pemerintah Nomor 109 bisa terbit.

Bagaimana dengan empat menteri yang menolak ratifikasi?

Mereka sudah mendukung dan mengerti. Mereka semua tidak merokok. Orang-orang di bawahnya saja yang susah.

Apakah Indonesia sudah memenuhi syarat untuk meratifikasi konvensi ini?

Ratifikasi harus didukung undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan presiden. Kalau undang-undang memang saya pikir sudah tidak mungkin, tapi masih besar peluang untuk menerbitkan peraturan presiden. Sebenarnya kita sudah punya PP Nomor 109 tadi. Menurut saya, sudah cukup bagi Indonesia untuk meratifikasi FCTC.

Apa saja poin terpenting dari Peraturan Pemerintah Nomor 109 itu?

Pertama adalah kawasan tanpa rokok. Tujuannya melindungi mereka yang tidak merokok. Kedua, masalah iklan rokok. Kenapa iklan diatur? Karena dalam penelitian ditemukan sebagian besar perokok pemula terjerat karena iklan. Mereka jadi terkesan berani dan seksi karena kata-kata seperti "Pria Punya Selera", "Pria Sejati", dan lainnya. Mereka (pengusaha rokok) mengalokasikan miliaran untuk iklan itu.

Aturan apa lagi untuk mengendalikan rokok?

Mereka tidak boleh mensponsori kegiatan anak muda, seperti musik dan olahraga. Karena ditemukan mereka mensponsori tapi juga membagikan rokok kepada para remaja.

Bukankah masih banyak perusahaan rokok mensponsori acara musik dan olahraga?

Ya, itu karena mereka masih terikat kontrak. Tapi 2014 semua sudah tidak boleh.

Bagaimana dengan klub bulu tangkis? Sponsornya sama, prestasi atletnya bagus.

Itu sih untuk menutupi dosanya saja. Mereka (pengusaha rokok) juga bilang ke saya, di Cina itu banyak juara karena rokok. Saya balas bertanya: apakah atletnya merokok?

Apakah ada hal-hal yang bisa dinegosiasikan dengan industri terkait?

Kami tidak bernegosiasi dengan mereka. Aturannya jelas: mensponsorinya saja tidak apa, tapi kalau bagi-bagi rokok tidak boleh. Kalau betul-betul terpisah, no prob­lem. Jangan gue kasih lu beasiswa, tapi lu isap rokok gue, itu salah.

Kapan kira-kira implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 109 itu?

Paling lambat 18 bulan sejak PP ini diundangkan, yaitu 24 Desember 2012.

Sudah tidak ada lagi hambatan untuk implementasi?

As you know, Indonesia bukan negara yang kuat dalam hal implementasi. Negara kita lemah. Tapi, tidak apa, tetap harus kita dorong.

Mungkinkah ratifikasi FCTC sudah bisa dilakukan sebelum tutup tahun ini?

Berdoalah dengan saya, ha-ha-ha…. Insya Allah, yang pasti sedang proses. Mudah-mudahan berhasil.

Setelah meratifikasi FCTC, apa arah kebijakan pemerintah untuk rokok?

Salah satunya pengusaha rokok harus menaruh gambar penyakit di bungkus rokok, yang juga sudah diatur dalam PP Nomor 109. Itu sudah final, tinggal pelaksanaannya saja. Desain gambar untuk bungkus rokoknya juga sudah ada.

Mungkinkah pengusaha rokok Indonesia mau menerapkannya?

Mereka (pengusaha rokok) akan taat. Soalnya, berdasarkan bukti penelitian, orang yang sudah kecanduan memang tidak takut pada gambar, tapi gambar itu ternyata efektif untuk menghalangi perokok pemula.

ZBagaimana jika pengusaha rokok tetap tidak mau menerapkan?

Masak, untuk bangsanya sendiri tidak mau? Yang benar, dong. Masak, mereka tega sama bangsa sendiri? Padahal, di luar negeri, mereka mau memasang gambar itu. Tidak merugikan juga. Lagi pula mereka banyak yang kaya. Coba lihat 10 orang terkaya di Indonesia itu siapa saja?

Apakah Anda yakin, jika Indonesia meratifikasi konvensi, jumlah perokok akan berkurang?

Tidak akan mungkin orang mendadak berhenti merokok semua. Saya sih inginnya begitu. Tapi that's not the fact. Sayang sekali.

Karena rencana aksesi konvensi ini, Anda dituduh melawan kepentingan nasional, yakni mengancam pertumbuhan ekonomi, khususnya industri rokok.

Tunggu dulu. Mereka (pengusaha rokok) selalu mengatakan sudah berpartisipasi dalam pembangunan karena cukai rokok tiap tahun meningkat. Lha, tiap kali pemerintah naikkan cukai, misalnya Rp 3, mereka (pengusaha rokok) menaikkan jadi Rp 5. Ya, tetap untung. Lagi pula yang bayar cukai rokok itu perokok, bukan mereka. Jadi perokok itu kasihan banget. Sudah hilang duit, cari penyakit juga.

Apakah ada perusahaan rokok melobi Anda agar rencana ratifikasi FCTC dibatalkan?

Mereka (pengusaha rokok) tahu saya ini anti sekali. Selalu saya katakan ke mereka, health is human rights. Semua orang berhak mencapai derajat kesehatan setinggi-setingginya. Saya ini bagian pemerintah, ya, harus melindungi masyarakat dari rokok. Kalau kita biarkan warga merokok, berarti kita tidak melindungi hak asasi manusia.

Kami dengar pengaruh industri rokok di tingkat elite amat kuat?

Memang lobi mereka di dalam negeri cukup kuat. Apalagi di masa lalu. Seakan-akan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) kita bergantung sekali pada cukai rokok.

Mereka melobi lewat mana saja?

Ya, bisa lewat DPR, yang sedang merancang RUU Pertembakauan. Makanya saya butuh teman media untuk dukung ratifikasi ini.

Sudah sejauh mana perkembangan RUU Pertembakauan?

Katanya sudah ditolak Dewan. Karena kami di DPR juga ada lobi lewat Kaukus Kesehatan DPR, yaitu dokter Sumarjati Arjoso, mantan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) yang sekarang aktif di PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).

Bagaimana dengan nasib petani tembakau yang bakal terkena dampak ratifikasi konvensi?

Mereka (pengusaha rokok) selalu menjadikan petani sebagai alibi. Setelah dihitung BPS (Badan Pusat Statistik), ternyata tidak benar ada 6 juta petani di sektor itu. Yang ada hanya 900 ribu jiwa, itu pun dengan penghasilan yang kecil sekali. Sepertinya jauh lebih menguntungkan kalau mereka beralih tanam. Lagi pula, dengan perubahan cuaca sekarang, mutu tembakau jadi rendah. Saya sudah bicara dengan kelompok petani tembakau soal ini.

Petani tembakau cocoknya beralih menanam apa?

Bisa kopi, kakao, dan teh. Itu cocok dengan tanah di ketinggian. Beri mereka kesempatan menanam tanaman yang menguntungkan.

Jika petani tembakau beralih ke komoditas lain, bagaimana dengan pasokan tembakau di dalam negeri?

Selama ini perusahaan besar lebih banyak impor tembakau dari Brasil.

Anda sudah gencar berkampanye antirokok, apakah berpengaruh mengurangi perokok pemula?

Agak sulit memang. Karena kalau bapaknya merokok, anaknya pasti akan merokok juga, terutama yang lelaki. Yang bisa memutus itu adalah tingkat pendidikan. Saya lihat cucu saya tidak merokok karena sudah mengerti bahaya rokok, meski suami dan anak saya merokok.

Suami Anda masih merokok?

Bagaimana merokok, lha wong sudah stroke. Makanya sering saya katakan, is not only the money. Penderitaan karena penyakit terkait dengan rokok tidak hanya terkena pada perokok. Kalau seseorang sudah kena stroke dan kanker, seluruh keluarga menderita.

Berapa biaya kesehatan yang harus disiapkan karena penyakit akibat rokok?

Tahun 2010 itu Rp 2,11 triliun.

Menurut Anda, cara apa yang paling efektif untuk mengurangi jumlah perokok?

Kekuasaan terbesar tetap ada di masyarakat. Kalau masyarakat bersedia bilang gue enggak mau diracunin, gue enggak mau elu bikin kotor udara gue untuk bernapas, itu pasti bisa. Selama itu tidak dianggap sebagai racun dan peringatan penyebab kanker dicuekin saja meski ditulis segede bagong.

Sebenarnya bagaimana profil perokok di Indonesia?

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perokok justru berpendidikan dan berpendapatan rendah. Parahnya, sebagian besar uang mereka justru untuk membeli rokok, yang membuat dia semakin sakit.

Sosialisasi kondom oleh Kementerian Kesehatan melalui Pekan Kondom Nasional 1-7 Desember 2013 menuai protes....

Itu bukan program Kementerian Kesehatan, melainkan inisiatif swasta (DKT—perusahaan kondom). Mereka melaporkan bahwa ada kegiatan utama selama pekan kondom tersebut dengan membagikan media informasi tentang HIV. Memang ada pembagian kondom juga, tapi hanya kepada sopir-sopir truk yang memang berperilaku seks berisiko. 

Kenapa membagikan kondom?

Kami ini pakai pendekatan "total football": dari hulu ke hilir. Di "hulu", ini upaya agar orang-orang, terutama remaja, tidak berperilaku seks berisiko. Ini juga tanggung jawab para tokoh agama, pendidik, keluarga, dan lain-lain. Pesannya: janganlah melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bila sudah menikah, setialah kepada suami atau istri, jangan berganti-ganti pasangan. Di "hilir", sasarannya adalah orang-orang yang sudah telanjur berperilaku berisiko. Paling tidak, jika tetap mau melakukan perilaku seks berisiko, usahakan untuk tidak tertular dan menularkan penyakit (artinya selalu pakai kondom). 

Pembagian kondom dinilai bukan cara yang tepat mengendalikan HIV, malah justru akan menjerumuskan generasi muda ke pergaulan bebas....

Yang mana yang dianggap menjerumuskan generasi muda kita? Seks bebas, seks berbayar, ataupun seks halal antara suami dan istri sah tetap bisa berisiko bila salah satu pasangan sudah telanjur terinfeksi dan tidak mencegah penularan dengan memakai kondom.

Apakah kondom efektif mengendalikan meningkatnya penderita HIV? 

Kondom hanya alat. Ia dapat mencegah penularan penyakit kelamin (infeksi menular seksual) bila dipakai secara tepat, benar, dan konsisten. Ia tidak bisa "mengurangi" jumlah penderita HIV. Sebab, sekali ketularan, seumur hidup mengidap HIV. Sampai saat ini belum ada obat yang menyembuhkan.

Sejak kapan ada kegiatan pekan kondom dan apakah ada data tentang manfaat kegiatan ini terhadap penurunan penyakit infeksi menular seksual?

Mulai 2007. Memang kami prihatin. Jika diestimasi, ada 6-7 juta laki-laki yang melakukan seks berisiko di tempat-tempat pelacuran. Laki-laki berisiko tersebut semakin banyak menularkan penyakit ke istri atau ibu rumah tangga dan bayi-bayi. Karena itulah muncul ide dari DKT untuk menggelar pekan kondom setahun sekali buat mempromosikan kondom pada setiap perilaku seks berisiko. 

Sudah ada bukti nyatanya?

Bukti nyata sudah banyak, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan penggunaan kondom, maka 100 persen terjadi penurunan potensi penularan infeksi menular seksual, termasuk HIV. 

Ada yang mengatakan pembagian kondom gratis bertentangan dengan ajaran agama….

Sekali lagi, dari kami tidak ada bagi-bagi kondom gratis. Tapi, kalaupun ada, pasti kepada orang-orang yang berperilaku berisiko, seperti sopir truk. Kan, itu berarti mencegah penularan penyakit, sehingga mengusahakan agar seseorang tidak jatuh sakit. Apakah itu salah?

Kampanye kondom yang Anda lakukan dinilai kontroversial. Tidak takut diprotes?

Setiap pemimpin harus berani mengambil risiko untuk menyelamatkan orang lain. Saya hanya dapat menjelaskan apa adanya, secara profesional. Menurut saya, jangan hanya menolak, tapi berikanlah solusi. Bagaimana kita bisa mencegah penularan penyakit menular seksual tersebut. Dan bagaimana kita bisa menyelamatkan istri, ibu, dan bayi yang tak bersalah.

Andi Nafsiah Walinono Mboi
Tempat dan Tanggal Lahir l Sengkang, Sulawesi Selatan, 14 Juli 1940 Pendidikan l Spesialis Dokter Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1971) l Master of Public Health Prince Leopold Institute of Tropical Medicine, Antwerp, Belgia (1990) l Master of Public Health Harvard School, Boston, Amerika Serikat (1992) l Doctor of Public Health Harvard School, Boston, Amerika Serikat (1997) Karier l Kepala Rumah Sakit Umum Ende, Flores (1964-1968) l Kepala Seksi Perizinan Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (1979-1980) l Kepala Bidang Bimbingan dan Pengendalian Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (1980-1985) l Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (1992-1997) l Ketua Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak-hak Anak (1997-1999) l Direktur Department of Gender and Women's Health pada Badan Kesehatan Dunia (WHO) (1999-2002) l Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2006-2012) l Menteri Kesehatan (2012-2014) l Ketua Dewan Global Fund untuk memerangi AIDS, tuberkulosis, dan Malaria (GF-ATM) (2013-…)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus