Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anggaran pengendalian banjir Jakarta terus menurun dalam tiga tahun terakhir.
Sejumlah proyek pengadaan lahan untuk pelebaran sungai mandek karena sengketa dengan warga.
Program pembuatan sumur-sumur resapan yang digadang-gadang Gubernur Anies Baswedan juga tak berjalan.
SEJAK Senin malam, 24 Februari lalu, Rano sibuk bolak-balik mengecek ketinggian Sungai Ciliwung di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Petugas rumah pompa Bukit Duri IV ini punya firasat banjir bakal kembali menerjang seperti malam pergantian tahun.
Hari itu, hujan deras memang mengguyur kawasan Jakarta dan sekitarnya, sejak malam hingga dinihari. Mengenakan jas hujan seadanya, Rano berkeliling ke rumah-rumah warga di sekitar sungai. Benar saja, selepas ganti hari, banjir tiba. “Menjelang subuh, air sudah selutut,” ujar Rano kepada Tempo, Jumat, 28 Februari lalu.
Pekan lalu, air bah merendam DKI dan wilayah sekitarnya sejak Ahad, 23 Februari, hingga Selasa, 25 Februari lalu. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan ada 159 titik di wilayah Jakarta yang kena musibah.
Penyebab banjir pekan lalu berbeda dengan bah tahun baru. Kali ini, tak ada kiriman air dari daerah hulu di Bogor dan sekitarnya. Curah hujan di Jakarta pada 24 Februari mencapai 278 milimeter per hari. Ini juga lebih rendah daripada curah hujan pada pergantian tahun, yang mencapai 377 milimeter per hari. Meski begitu, banjir tetap melanda.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantaran hujan tak kunjung reda, dalam hitungan jam, banjir di Bukit Duri dengan cepat meninggi hingga sedada orang dewasa. Agar air segera surut, Rano mengaktifkan pompa yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan pompa, air yang menggenang bisa segera dibuang ke sungai. Sayangnya, pompa yang berfungsi hanya satu.
“Sebetulnya ada dua. Tapi yang satu lagi rusak,” kata Rano kecut. Walhasil, penyedotan jadi kurang efektif. Apalagi kapasitasnya amat minim. Pompa yang rusak sebenarnya dapat menyedot air sebanyak 150 liter per detik. Sedangkan yang masih berfungsi hanya 75 liter per detik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sembilan pompa yang tersebar di sepanjang Sungai Ciliwung di Bukit Duri malam itu, hanya pompa yang dikelola Rano yang sedang rusak. Ini lebih baik ketimbang kondisi pada malam pergantian tahun. Waktu itu, semua pompa di sana tak bisa berfungsi karena terendam bah. Akibatnya, air sungai meluber hingga melewati tanggul yang tingginya kurang-lebih satu setengah meter dari jalan.
Sesungguhnya pemeliharaan pompa sudah dianggarkan dalam program pengendalian banjir pemerintah DKI Jakarta. Namun, dalam tiga tahun terakhir, nilai anggaran program tersebut terus menciut.
Pada 2018, total anggaran program pengendalian banjir di dinas sumber daya air dan suku dinas mencapai Rp 3,5 triliun. Tahun berikutnya, anggaran menurun sekitar Rp 500 miliar menjadi Rp 3 triliun. Tahun ini, dana itu kembali menyusut menjadi Rp 2,5 triliun.
Padahal serapan anggaran ini cukup baik. Dalam realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2019, belanja pos pengelolaan pompa stasioner, mobile, dan pintu air di Jakarta Selatan mencapai 83,19 persen. Dari target Rp 19 miliar, terealisasi Rp 15 miliar. Sedangkan di Jakarta Barat, realisasi pengelolaan pompa 88,79 persen dari target Rp 41 miliar.
Meski serapannya bagus, masih ada saja pompa yang tak berfungsi di beberapa wilayah. Termasuk pompa di Bukit Duri yang dikelola Rano. Berdasarkan data dari Dinas Tata Air DKI Jakarta, pada 1 Januari lalu, pompa yang tak berfungsi mencapai 76. Per 26 Februari, jumlah yang rusak turun menjadi 35 pompa. Puluhan pompa yang mati itu tersebar di Jakarta Utara sebanyak 12 pompa, Jakarta Timur dan Barat (7 pompa), Jakarta Pusat (6 pompa), serta Jakarta Selatan (3 pompa).
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Dudi Gardesi mengatakan pompa yang rusak itu sebagian karena terendam banjir. “Ada juga yang karena overheat,” ujarnya. Menurut dia, sejumlah pompa sedang dalam perbaikan.
Mendengar soal ini, Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI, Idris Ahmad, meradang. Dia menilai perlu ada evaluasi menyeluruh untuk mengetahui keadaan pompa di Jakarta. “Kok, bisa anggaran pengelolaan pompa selalu besar, tapi ketika banjir kemarin kinerja pompa malah bermasalah?” ujarnya.
Amarah Idris tak berlebihan. Belanja anggaran di pos evaluasi kinerja pompa memang tak berjalan maksimal. Dalam realisasi anggaran 2019, total anggaran yang disediakan untuk kegiatan evaluasi kinerja pompa pengendali banjir di aliran barat, timur, dan tengah sudah mencapai Rp 1,6 miliar. Tapi yang terserap hanya Rp 663 juta atau 40 persen.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini Yusuf beralasan bahwa rendahnya serapan dana untuk evaluasi kinerja pompa terjadi karena penyedia jasa konsultasi ogah menerima pekerjaan di pengujung tahun. “Biasanya konsultan enggak mau diburu-buru waktu,” katanya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan inspeksi ke lokasi banjir di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, 23 Februari 2020./facebook.com/Anies Baswedan
Tak hanya terjadi kelalaian dalam merawat pompa yang ada, pengadaan pompa baru di Jakarta juga tak berjalan optimal. Padahal anggota staf khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Firdaus Ali, menilai idealnya satu rumah pompa memiliki dua pompa. “Jadi, kalau yang satu mati, satunya bisa tetap nyala,” ujarnya. Apalagi kapasitas pompa yang ada saat ini juga masih rendah.
Dari lima suku dinas sumber daya air, hanya Jakarta Pusat dan Jakarta Barat yang menganggarkan pengadaan pompa pada 2019. Tapi realisasinya berbanding terbalik. Belanja pengadaan pompa di Jakarta Barat mencapai 70,61 persen atau Rp 9 miliar dari target Rp 13 miliar. Sedangkan di wilayah Jakarta Pusat, serapannya cuma Rp 97 juta atau 0,67 persen dari target Rp 14 miliar.
Kondisi ini jelas mengkhawatirkan. Soalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika telah memperingatkan bahwa potensi curah hujan ekstrem akan berlangsung hingga Maret. “Pada 2020, curah hujan akan makin meningkat mulai Januari sampai Maret,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati pada akhir Desember 2019.
Ketika ditanyai soal berbagai masalah dalam pengendalian banjir di Ibu Kota, Anies menolak banyak berkomentar. Dia hanya mengatakan fokusnya saat ini pada penanganan banjir. “Nanti Anda berdiskusi soal sebabnya. Izinkan saya bekerja sehingga bisa menuntaskan,” katanya, Selasa, 25 Februari lalu.
•••
Di lapangan, sejumlah program penangkal banjir yang digadang-gadang Anies memang tak berjalan lancar. Ketika baru dilantik sebagai Gubernur Jakarta pada Oktober 2017, Anies mengaku akan menggalakkan pembangunan sumur resapan untuk menghalau banjir. Faktanya, dari target pembangunan 1.300 sumur resapan pada 2019, DKI baru bisa membangun sekitar 500 sumur. Tahun lalu, Suku Dinas Perindustrian Jakarta Utara bahkan tak menganggarkan dana untuk pembuatan sumur resapan.
Dalam program unggulan Anies itu, serapan anggaran juga kedodoran. Dari empat wilayah di Jakarta Selatan, Pusat, Timur, dan Barat, hanya Jakarta Pusat yang serapannya lumayan. Dari target belanja Rp 1,4 miliar, yang terealisasi Rp 811 juta atau 56,31 persen. Di wilayah lain, serapan anggaran pembangunan sumur malah di bawah 20 persen. Tahun ini, anggaran sumur resapan kembali dialokasikan sebesar Rp 7 miliar.
Program pengendalian banjir lain juga tak jelas pelaksanaannya. Pengadaan lahan untuk proyek normalisasi Sungai Ciliwung, misalnya. Terbentang dari jembatan tol lingkar luar Jakarta (T.B. Simatupang) sampai pintu air Manggarai, proyek ini baru terealisasi sepanjang 16 kilometer dari total 33,5 kilometer.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bambang Hidayah mengatakan proyek tersebut terhenti pada 2018. Gubernur Anies Baswedan hingga kini belum berhasil membebaskan lahan di daerah bantaran sungai tersebut.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini Yusuf mengatakan pembebasan lahan atas 118 bidang tanah untuk normalisasi Ciliwung sebenarnya telah dianggarkan pada tahun ini. Rencananya, pembebasan lahan dieksekusi pada Maret-April 2020. Lahan tersebut tersebar di empat kelurahan, yakni Pejaten Timur, Tanjung Barat, Cililitan, dan Balekambang.
Proyek penghalau banjir lain yang mandek adalah pembangunan sodetan Ciliwung. Proyek ini direncanakan untuk mengalirkan air dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur, tapi terhenti setelah Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama lengser dari jabatannya pada 2017. Bambang Hidayah mengatakan, sampai saat ini, pemerintah pusat masih menunggu proses penetapan lokasi oleh DKI. “Terakhir rapat dengan DKI, katanya, penetapan lokasi akan keluar awal Maret ini,” ujar Bambang pada Kamis, 27 Februari lalu.
Pemerintah DKI memang sudah bergerak. Tim persiapan pengadaan tanah sodetan Ciliwung sudah dibentuk dan bekerja. Tim ini bertugas mendata, menetapkan, dan mengumumkan lokasi pembangunan. Namun, dari target 1,27 kilometer, baru 600 meter yang sudah selesai didata. Proyek ini memang sempat tersendat karena digugat warga ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan pertama masuk pada 2015 dan disusul gugatan kedua pada 2019, setelah Anies menerbitkan penetapan lokasi. Sempat mengajukan permohonan kasasi, Anies kemudian mencabutnya dan menerima kemenangan warga.
Mandeknya pembebasan lahan ini membuat realisasi anggaran pengadaan tanah untuk pelebaran sungai pada 2019 jadi rendah. Serapannya hanya mencapai 19,11 persen atau Rp 95 miliar dari target Rp 500 miliar.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air Dudi Gardesi memastikan anggaran itu dipakai untuk membebaskan lahan di sejumlah lokasi. Hanya, bidang lahan yang dibebaskan jumlahnya kecil. Karena itu, proyek jadi tertunda. “Kan, Kementerian Pekerjaan Umum enggak mau masuk kalau lahannya masih ceplak-ceplok,” ujarnya. Kementerian Pekerjaan Umum, kata dia, baru bisa mengerjakan proyek jika lahan yang sudah dibebaskan mencapai 1 kilometer.
Gara-gara semua proyek itu ngadat, Presiden Joko Widodo sempat menegur Anies. Saat rapat koordinasi penanganan banjir dengan sejumlah kepala daerah di Istana pada awal Januari lalu, Jokowi meminta Anies melanjutkan semua proyek pengendalian banjir yang dia rintis sejak menjadi Gubernur DKI. Jokowi bahkan berpesan agar proyek sodetan Ciliwung dapat rampung tahun ini. “Yang berkaitan dengan Jakarta, saya minta sodetan Ciliwung menuju Kanal Banjir Timur tahun ini bisa dirampungkan,” ujar Jokowi pada Rabu, 8 Januari lalu.
Kolam Besar Jakarta/Tempo
Di luar proyek sodetan dan normalisasi sungai yang terhambat, salah satu program unggulan Anies, yakni naturalisasi sungai, sebenarnya sudah berjalan. Konsep itu direalisasi di Kanal Banjir Barat, tepatnya di segmen Shangri-La-Karet. Bantaran kali itu sudah dibongkar sesuai dengan gagasan naturalisasi yang dilontarkan Anies ketika berkampanye tiga tahun lalu.
Sayangnya, realisasi konsep itu tak seindah kata-kata. Semula, Anies ingin naturalisasi bantaran kali sebisa mungkin menghindari pembangunan tembok beton. Nyatanya, di sana beton malah lebih menjorok ke kanal dibanding sebelumnya. “Ini kami sesuaikan. Tentu tetap tidak mengganggu debit air karena kami juga bangun biopori,” ujar Dudi Gardesi ketika ditanyai soal realisasi konsep naturalisasi sungai yang tetap berisi beton.
Belakangan, terungkap, proyek naturalisasi yang sudah digarap sejak tahun lalu itu ternyata belum mendapat izin dan rekomendasi dari Kementerian Pekerjaan Umum. Padahal pengelolaan kanal itu seharusnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. “Izin memang belum keluar,” ujar Bambang Hidayah.
Asisten Pembangunan DKI Jakarta Yusmada Faizal mengakui proyek naturalisasi di Kanal Banjir Barat belum mendapat izin dari pusat. “Tapi kan kami koordinasi, rapat bersama,” ucapnya. Menurut dia, DKI dan pusat sudah biasa berbagi kewenangan. Dia mencontohkan pembangunan Waduk Pluit oleh pusat, yang kini dikelola DKI. “Ibarat ada daging dikasih sama pusat, kita jadiin rendang. Boleh, dong,” katanya.
•••
Pengendalian banjir di Ibu Kota jadi makin compang-camping karena salah koordinasi. Proyek infrastruktur pelebaran trotoar, misalnya, justru menjadi penyumbang banjir di kawasan tertentu. Program revitalisasi trotoar di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, misalnya. Akibat saluran drainase di bawah trotoar di Jalan Borobudur, Menteng, tersumbat tumpukan puing sisa revitalisasi, kawasan perumahan elite itu sempat terendam banjir pada 23 Februari lalu.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi membenarkan temuan itu. “Ini bukti tidak adanya perencanaan yang matang dan sinergi antar-satuan kerja,” ujar politikus Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menguatkan sinyalemen itu. Pada banjir besar 23 Februari lalu, drainase yang buruk menyumbang genangan sampai 86 persen. “Sisanya, 14 persen, disebabkan sungai,” ujar Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Bambang Hidayah.
Realisasi anggaran program pengerukan sungai pada 2019 memang mencapai 84 persen. Dari target Rp 50 miliar, yang terealisasi baru Rp 42 miliar. Serapan anggaran pemeliharaan saluran air pada 2019 bahkan lebih buruk. Rata-rata realisasi belanja pemeliharaan saluran air di lima wilayah Jakarta hanya sekitar 60 persen.
Akibatnya, banjir juga merembet ke pusat kota. Setelah DKI melakukan penataan trotoar di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman hingga Patung Kuda Arjuna Wiwaha di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, pada 2018, kini banjir muncul di sana. Bahkan di kawasan silang Monas kini ada genangan.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air Dudi Gardesi mengakui hal itu. Genangan tersebut muncul karena kapasitas saluran air di bawah trotoar kecil. “Curah hujannya tinggi, jadi air ngantre,” ujarnya. Bosnya, Juaini Yusuf, membenarkan. Kapasitas saluran air di Ibu Kota, menurut Juaini, hanya cukup untuk menampung air dengan curah hujan 100 milimeter per hari. “Sedangkan yang kemarin curah hujannya lebih dari itu,” katanya.
Kini, pemerintah DKI tergopoh-gopoh melakukan perbaikan saluran. “Kemarin sudah kami susuri. Sudah kami gedein jadi lebih mending,” ujar Dudi tanpa merinci besarnya pelebaran yang sudah dilakukan.
Akibat banjir yang terus berulang, DPRD Jakarta akhirnya menggeliat. Mereka membentuk panitia khusus untuk mempertanyakan program pengendalian banjir di Ibu Kota. Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menilai Gubernur Anies Baswedan tak serius menangani banjir. “Masak, banjir terus-terusan? Apalagi banjirnya sekarang naik kelas, sudah sampai Menteng,” kata Gembong.
DEVY ERNIS, GANGSAR PARIKESIT, IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo