Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Jakarta: Kota yang Terluka

Jakarta tak hanya akan menjadi kota yang tenggelam, tapi juga kota yang hendak ditinggalkan. Bencana ekologis dan politik banjir Jakarta membuat kota ini terbelah ke dalam kelas-kelas sosial.

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Karena telah rutin terjadi, banjir dimaknai orang Jakarta sesuai dengan kelas sosial mereka.

  • Banjir telah mematahkan janji-janji politik yang kosong.

  • Jakarta, sebuah kota yang akan tenggelam dan ditinggalkan.

Robertus Robet

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN bulan Februari menghapus bedak dan menyingkap wajah asli Jakarta sebagai kota yang terbelah dari dalam. Ia bukan kota liris yang terperangkap dalam sajak Sapardi Djoko Damono: Jakarta renyai gerimis, suara hatiku bagai bukit batu, cahya mengerdip dalam suasana. Kalau Anda tidak percaya, tanyakan kepada orang-orang marah yang kemarin diperiksa polisi, atau karyawan mal yang ketakutan saat sejumlah orang merangsek ke tempat kerja mereka, atau sekitar 10 ribu penduduk yang kemarin terkena dampak banjir. Untuk orang Jakarta, di hari-hari belakangan ini, hujan hanya punya makna spasial, tanpa makna romantik, tanpa potensi puitik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Air dan banjir adalah gejala alam. Tapi kota dengan banjir mengalir adalah arena pertempuran penuh jerih, hidup dan mati, lambang fragmentasi dan partisi sosial, politik dan budaya. Kota adalah wilayah tempat kontradiksi ataupun akomodasi di antara pelbagai rezim spasial bertumpuk saling menindih dan menekan. Di dalam kota, banjir mengalami urbanisasi dan politisasi. Ia menjadi perantara, seperti ampelas yang menggosok batu hingga menampilkan keluar perbedaan-perbedaan sosial yang diakibatkan oleh kuasa rezim spasial: mal, griya tawang, pabrik, jalan tol, ocehan politikus yang memanfaatkan penderitaan banjir, kelas menengah yang berswafoto, kerusakan, amarah, nihilisme dan kemiskinan.

Selama ini, bagi sebagian orang, banjir nyaris telah menjadi musim yang bisa diantisipasi. Ia tidak diharapkan tapi sudah bisa diterima dengan hati dingin. Sementara itu, para politikus, buzzer, dan warganet terus menghitung gubernur mana yang rekor kebanjirannya paling banyak. Bagi warga Jakarta yang berada di kampung-kampung miskin, banjir secara ironis telah menjadi kerabat yang mesti diterima berkunjung saban tahun.

Di Jakarta, menurut data Bank Dunia, dari 267 kelurahan, terdapat 118 kelurahan dengan kampung-kampung kumuh yang dihuni oleh mereka yang termiskin. Bagi mereka, banjir sebenarnya nyaris telah diterima sebagai krisis. Artinya ia telah dimaknai sebagai kejadian yang berada di luar kendali manusia. Ada sedikit fatalisme di dalamnya. Orang-orang miskin di Jakarta, meski jengkel, tertahan amarahnya oleh kebijaksanaan dan pengertian diam-diam bahwa krisis ini di luar kontrol dirinya dan para pejabat di atas sana. Dengan itu, sebagai krisis, banjir memang mengganggu. Tapi, uniknya, ia masih menyisipkan sejenis perasaan stabil dan ekspektasi mengenai masa depan.

Banjir di bulan Februari ini adalah banjir yang tak biasa. Banjir yang semula mendera sekali dalam setahun bahkan mendadak menghantam tiga-empat kali dalam dua bulan. Banjir di bulan Februari telah merongrong pengertian dan penerimaan orang Jakarta akan bencana. Ia mengubah dimensi krisis: dari yang semula dapat diantisipasi menjadi krisis yang tak lagi bisa diantisipasi. Akibatnya, mereka yang menjadi korban mulai kehilangan pegangan dan perspektif masa depan. Banjir yang bertubi-tubi ini mengacaukan kesabaran dan mengubah fatalisme menjadi frustrasi. Ini yang akhirnya meluap dan menjadi kemarahan warga di sekitar sebuah mal di Cakung, Jakarta Timur, kemarin.

Ahli bencana E.M. Cazdyn mengatakan bahwa the future cannot be put off, crisis and disaster cannot be totally managed, life can never be safe, and we do not all experience time—and certainly not the political effects of time—in the same way. Masa depan tak bisa dipastikan, krisis dan bencana tidak pernah bisa dikendalikan, hidup tak pernah sepenuhnya aman, kita semua tidak mengalami waktu—termasuk efek politik dari waktu—dengan cara yang sama (Cazdyn dalam Lukes Ley, 2016).

Banjir memang merendam segenap kota, tapi pengalaman mengenai banjir dimaknai secara berbeda-beda. Bagi warga kampung miskin yang bertubi-tubi direndam air, mereka memaknainya sebagai kutukan absurd yang tak tertahankan. Bagi pengusaha, penguasa, dan penghuni perumahan-perumahan mewah yang kakinya tidak basah, banjir sekadar ekses.

Di Jakarta, banjir melahirkan mimpi buruk ekologis, tapi penderitaan ekologis itu dialami secara berbeda-beda, tergantung derajat rezeki dan kelas sosial warganya. Di kota mana pun di belahan dunia, yang paling dibuat menderita oleh banjir selalu adalah kaum miskin serta mereka yang tak berdaya secara ekonomi dan politik.

Ketakutan ekologis kini makin menghantui warga Jakarta. Para ahli meramalkan kota ini akan tenggelam pada 2050. Penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air laut karena pemanasan global mengancam Jakarta dari lain arah. Dalam konteks ini, rencana baru pemindahan ibu kota—yang terkesan “fantasmatis” dan grandeur—makin menebalkan ketakutan sekaligus sinisme bahwa Jakarta bukan lagi sekadar kota yang sedang tenggelam, ia juga adalah kota yang sedang ditinggalkan.

Jakarta ditinggalkan bukan hanya dalam pengertian spasial. Ia ditinggalkan ketika seluruh horor ekologis ini dihadapi dengan respons politik yang salah arah, yakni manakala seluruh diskursus mengenai banjir dipelintir dan dialirkan ke dalam satu gorong-gorong politik saja, yaitu politik elektoral. Demikianlah, bagi rakyat yang susah, banjir adalah bencana; bagi kelas menengah, banjir adalah permainan meme di media sosial; sementara bagi politikus, banjir adalah lukisan dramatik, latar belakang pencitraan politik.

Sekian lama Jakarta dan banjirnya telah mengkreasi pelbagai elite, tokoh, bahkan presiden. Setiap lima tahun, selalu muncul orang dengan janji-janji hebat yang bisa mengalahkan hujan dan menaklukkan banjir. Bagi mereka, Jakarta adalah eksperimen. Namun, dari tahun ke tahun, banjir datang dan dengan mudah mengalahkan orang-orang hebat dan mematahkan janji-janji mereka. Banjir yang terus pulang setiap tahun semestinya menjadi bukti nyata bahwa, di hadapan Jakarta, tidak pernah ada orang yang sungguh hebat. Yang menjadi pertanyaan sekarang: masih bisakah politik menolong Jakarta?

Berulangnya sejarah banjir membuktikan Jakarta tak bisa lagi ditolong dengan politik lama yang selama ini dipraktikkan partai-partai politik dan gubernur-gubernur yang mereka dukung. Politik lama memoles Jakarta dengan model “developmentalisme; mengukur kemajuan dari besarnya duit berputar, beton, dan konsumsi.

Untuk menolong Jakarta, developmentalisme purba ini mesti diganti dengan politik perkotaan berperspektif ekologi. Politik ekologi perkotaan ini harus dimulai untuk menjawab pertanyaan: relasi-relasi kekuasaan yang bagaimana yang membuat kondisi-kondisi socio-environmental yang tidak adil itu diproduksi dan dipelihara? Bagaimana kita membangun kota sebagai sebuah lived space, ruang kehidupan bersama antara manusia dan alam semesta?

Tentu sebuah kota tidak bisa serta-merta menghapus perbedaan sosial yang direproduksi oleh kelas-kelas sosial di dalam masyarakat. Namun kota yang baik bisa menolak penyingkiran orang miskin dan menolong mereka dari fatalisme kemiskinan. Inilah pentingnya menjadikan kota juga sebagai common good yang bisa dinikmati semua warganya. Itu pula mengapa kota yang sehat, selain menyediakan mal, mementingkan sarana publik: taman-taman yang luas, pusat-pusat kesenian, gelanggang-gelanggang pemuda, trotoar, dan lorong-lorong yang bisa dinikmati orang kaya dan orang miskin. Fasilitas publik yang baik mendorong kesetaraan minimal, memupus luka akibat kesenjangan sosial dan ekonomi.

Karen E. Till (2012) mengemukakan istilah wounded city atau kota yang terluka. Kota yang terluka adalah kota yang warganya dihantam oleh pengalaman historis kekerasan, perusakan, pengusiran, dan pengabaian. Kota yang terluka dipenuhi trauma sebagai akibat dari sejarah kelam ketidakadilan. Kota yang terluka bukan ditorehkan oleh “peristiwa dari luar” yang bersifat tunggal, melainkan oleh pelbagai bentuk ketidakadilan yang sering kali bekerja dalam periode panjang hingga membentuk struktur dan relasi spasial yang khas. Banjir tentu tidak sama dengan popor, kayu, dan batu yang menghantam tubuh. Tapi banjir yang terus berulang sudah pasti adalah lambang dari kekuasaan yang silih berganti dengan meremehkan dan karenanya menghantam martabat manusia.

Dengan itu, pada akhirnya, luka Kota Jakarta hanya bisa disembuhkan oleh upaya dan inisiatif warganya sendiri. Ini mesti dimulai dengan mengembalikan lagi shared code of civilitydi kalangan warga Jakarta. Kita harus memiliki keberanian untuk engaged with strangers”, merobohkan partisi sosial-ekonomi dan budaya yang selama ini memisahkan dan melemahkan mereka.

Orang-orang kaya mesti keluar dari gerbang-gerbang dan kluster-kluster mereka untuk berjumpa dengan tetangga dari kampung-kampung sekitar; mendiskusikan dan mencari jalan keluar atas persoalan-persoalan lingkungan. Warga dari kampung-kampung miskin perlu mengorganisasi diri: belajar mengamati gejala-gejala perubahan di lingkungan mereka, menemukan cara bersama menghadapi bencana, sambil merencanakan penataan kampung yang lebih baik. Ada baiknya jangan ambil pusing dulu dengan orang-orang hebat yang datang dengan janji tiap lima tahun sekali, janji-janji itu biasanya hanyut ditelan hujan Februari.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus