Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Keuangan memberlakukan remunerasi gaji.
Gaji pegawai Kementerian Keuangan lebih tinggi daripada pegawai instansi lain.
Reformasi birokrasi seperti tak membendung kasus-kasus korupsi.
“Bisa tidak kita bersama-sama memperbaiki Kementerian Keuangan?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SRI Mulyani Indrawati melontarkan pertanyaan itu kepada para pejabat eselon I Kementerian Keuangan sekitar 18 tahun lalu. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan menggantikan Jusuf Anwar. Dia dilantik sebagai anggota Kabinet Indonesia Bersatu I pada 7 Desember 2005.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama kali menjabat, Sri merasa Kementerian Keuangan seperti hutan belantara. Anggapan ini muncul karena Kementerian Keuangan yang menangani banyak tugas, dari mengawal penerimaan negara hingga mengatur anggaran, dikenal memiliki kultur birokrasi yang kompleks. Pandangan itu, kata Sri, tak salah ketika dia mendengar jawaban dari para pejabat yang akan ia pimpin. "Saat itu disebut zaman jahiliyah,” ujarnya kepada Tempo pada Jumat, 3 Maret lalu.
Melihat persoalan besar, Sri kemudian melibatkan sejumlah tokoh untuk diminta memberi masukan. Dia mengakui saat itu ada pandangan terhadap Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang korup. Bahkan, dia menambahkan, sejumlah orang bisa terang-terangan melakukan korupsi "berjemaah". “Yang enggak korupsi malah dianggap outlier (menyimpang)," ucapnya. Sri mengungkapkan, ada cerita di kalangan pegawai Direktorat Jenderal Pajak bahwa menikmati uang sogokan adalah hal lumrah.
Informasi ini yang juga diperoleh Tempo dari sejumlah sumber di Direktorat Jenderal Pajak. Menurut mereka, ada istilah "Jumat Ceria"—sebutan untuk hari saat para pegawai bakal menerima amplop pembagian uang suap dari wajib pajak yang terkumpul sepanjang Senin-Jumat setiap pekan. “Ini terjadi sebelum reformasi birokrasi. Awal menjadi pegawai suka dapat ekstrabonus dimasukin amplop, dibagikan bos Jumat, semua antre," kata seorang pegawai di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak. “Ya kan waktu itu gaji cuma berapa ratus ribu,” tuturnya, seolah-olah meminta permakluman.
Namun, setelah Kementerian Keuangan memberlakukan reformasi birokrasi pada 2006, "Jumat Ceria" diberantas. Apalagi dalam program reformasi birokrasi ada remunerasi atau perubahan nilai gaji dan tunjangan, termasuk tunjangan kinerja. Remunerasi ini mengerek gaji pegawai Kementerian Keuangan hingga lebih tinggi daripada gaji aparatur sipil negara di instansi lain. "Jadi tidak ada lagi main-main seperti itu. Sudah banyak berubah,” ujar seorang pejabat di salah satu kantor wilayah pajak Jakarta.
Hal serupa terjadi pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Melihat fenomena ini, Menteri Sri mengatakan ada persoalan saat para pegawai menjadikan nilai gaji yang tidak cukup sebagai alasan untuk melanggar hukum. Itu sebabnya dia memilih remunerasi sebagai bagian dari upaya reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan. Harapannya, para pegawai menghentikan praktik suap atau korupsi setelah diberi gaji besar. “Karena itu, ada konsultan yang saya undang khusus untuk membahas remunerasi.”
Penerapan sistem penggajian baru di Kementerian Keuangan beriringan dengan perubahan organisasi dan sumber daya manusia. Pada 2002, saat Boediono menjabat Menteri Keuangan, ada perubahan struktur kantor pelayanan pajak berupa pendirian kantor pelayanan pajak (KPP) wajib pajak besar atau large tax office (LTO) dan KPP madya atau medium tax office. Setelah Sri menjabat, ada pembentukan KPP pratama atau small tax office.
Pegawai yang mengisi kantor itu pun tak sembarangan. Menurut Sri, mereka adalah orang-orang terpilih. LTO pun ia sebut sebagai "island of integrity" atau pulau untuk orang-orang berintegritas. Program ini kemudian diikuti remunerasi sehingga pegawai Direktorat Jenderal Pajak memiliki nilai tunjangan kinerja yang besar demi menjaga integritas sebagai pemungut uang negara.
Pemerintah kemudian memberlakukan kebijakan serupa secara bertahap. Didid Noordiatmoko, mantan Sekretaris Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, mengatakan program ini berlaku bertahap seiring dengan formulasi penghitungan nilai tunjangan kinerja setiap instansi. Dia tak memungkiri ada kecemburuan di antara pegawai negeri karena tunjangan yang berbeda. "Itu tak bisa dihindari, karena itu harus didorong untuk meningkatkan kinerja,” tutur Didid, yang kini menjabat Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi.
•••
PROGRAM remunerasi yang mengerek penghasilan pegawai Kementerian Keuangan berjalan pada 1 Juli 2007. Saat itu Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan Keputusan Nomor.30/KMK/01/ 2007 dan Keputusan Nomor 289/KMK.01/02007 tentang reformasi birokrasi dan tunjangan khusus pembinaan keuangan negara. Semua pegawai Kementerian Keuangan mendapat tunjangan yang berkisar Rp 1,33-46,9 juta, tergantung jabatannya.
Sri mengatakan nilai remunerasi yang diberikan kepada pegawai masih jauh dibanding penghasilan dari praktik ilegal seperti suap dan gratifikasi. “Jangan pernah membayangkan tunjangan kinerja bisa menghilangkan godaan ini,” katanya. Tapi, Sri melanjutkan, setidaknya tunjangan kinerja yang tinggi bisa menjadi alat bagi pemerintah untuk menuntut kepatuhan para pegawai.
Toh, di tengah perubahan sistem ini, kasus korupsi yang melibatkan pegawai pajak terus bermunculan. Pada 2010, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Gayus Tambunan, pegawai pajak junior yang terlibat dalam pengurusan beberapa kasus pajak. Gayus belakangan diketahui memiliki kekayaan hingga Rp 74 miliar. Dua tahun kemudian, ada Dhana Widyatmika, pegawai pajak golongan III/c, yang menerima suap Rp 3,4 miliar dari wajib pajak. Dia juga memiliki harta Rp 60 miliar yang tak dilaporkan.
Di tingkat pejabat atau pegawai senior, ada nama Tommy Hindratno, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjerat korupsi pajak PT Bhakti Investama Tbk. Pejabat pajak paling senior yang terkena kasus korupsi adalah Angin Prayitno Aji, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak 2016-2019. Angin menerima suap senilai Rp 15 miliar dan Sin$ 4 juta dari para wajib pajak besar, antara lain Bank Panin dan PT Jhonlin Baratama.
Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Putri Komarudin, menilai kejadian tersebut sebagai wujud penyelewengan integritas. "Padahal selama ini pegawai pajak mendapat remunerasi yang tergolong tinggi seiring dengan beban tugasnya untuk mengejar penerimaan negara," ucapnya pada Jumat, 3 Maret lalu. Menurut Putri, kasus-kasus ini menimbulkan persepsi negatif terhadap pegawai pajak dan Kementerian Keuangan yang sudah beroleh tunjangan besar.
Hal ini pula yang memantik kecemburuan dari sesama pegawai negeri. Seorang pegawai Kementerian Kesehatan mengakui ada perbedaan tugas dan beban kerja pada setiap lembaga. Namun, kata dia, selisih gaji setelah remunerasi Kementerian Keuangan berjalan menimbulkan pertanyaan. Apalagi, menurut dia, pegawai Kementerian Kesehatan sudah berkorban besar dalam penanganan Covid-19 tapi tak mendapat imbalan serupa. Pegawai ini memperbandingkan tunjangannya sebesar Rp 3,9 juta. Dia mengatakan pegawai Kementerian Keuangan dengan tingkat jabatan sama bisa mendapat tunjangan Rp 10 juta.
Sri Mulyani memahami kondisi ini. Tapi, dia menjelaskan, penurunan nilai tunjangan kinerja bagi pegawai Kementerian Keuangan karena ada kecemburuan dari pegawai instansi lain bukan solusi. Bahkan, dengan tunjangan yang tinggi, dia menambahkan, pemerintah memiliki hak moral untuk meminta para pegawai menjaga integritas. "Karena mereka tak lagi punya excuse. Tapi kalau diturunkan lagi semuanya, kan, jadi berbalik.”
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo