Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bertubi-tubinya nirempati penyelenggara negara akan memicu keletihan batin publik.
Keletihan itu bertemu dengan krisis kepercayaan kepada penegak hukum.
Keletihan akibat menahan kejengkelan publik bisa menjadi pemicu kerusuhan sosial.
JIKA hari-hari ke depan meledak kerusuhan di berbagai daerah, siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban? Pertanyaan ini muncul karena, terus terang, saya tidak terlalu ambil pusing dengan sebab-musabab seorang pemuda berumur dua puluh tahun unjuk kenorakan lewat sejumlah tayangan tentang bagaimana ia mengendarai kendaraan-kendaraan mewah. Penjelasan kausalnya gampang: itulah produk pemanjaan berlebihan (over-pampering), baik pemanjaan dari orang tua maupun "pemanjaan" dari otoritas penegakan hukum yang tidak menepati janji pertama Nawacita “negara hadir”. Ketidakhadiran otoritas penegakan hukum itu terlihat ketika pemuda itu seenaknya ugal-ugalan di jalan tol dan jalan protokol tanpa tertangkap kamera tilang ataupun petugas di lapangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata tidak hanya anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak itu yang suka pamer harta. Orang nomor satu Bea dan Cukai di Yogyakarta juga bertabiat serupa. Ia pamer kemewahan di media sosial. Juga putra Presiden Joko Widodo yang pamer bulan madu di mancanegara. Padahal, dalam rapat kabinet, Presiden menyatakan kecewa melihat tingkah polah penyelenggara negara pamer harta di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang sangat merisaukan adalah dampak yang mungkin muncul dari tayangan-tayangan visual tadi terhadap suasana batiniah masyarakat. Penjelasannya berikut ini.
Awalnya, warganet yang berperan sebagai detektif swasta sebatas ingin menimpakan sanksi sosial kepada anak pejabat pajak itu. Tidak sabar oleh proses penegakan hukum yang acap terkesan tidak linear dengan akal sehat, warganet bernafsu mengeroyok pelaku agar menderita selekas mungkin. Namun dampak yang dimunculkan oleh warganet sesungguhnya lebih dari itu.
Perilaku hedonis yang dipertontonkan di media sosial bisa memantik timbulnya personal relative deprivation (PRD). PRD adalah perasaan iri dengki yang disebabkan oleh sikap tidak habis pikir tatkala menyaksikan orang-orang lain yang sejatinya berkedudukan sama justru memiliki suratan tangan berbeda secara ekstrem. Banyak studi menunjukkan kemunculan PRD diikuti naiknya kecenderungan tindakan kekerasan (agresif).
Tentu, agresivitas yang meninggi itu tertuju pada pihak yang dianggap menyebabkan PRD. Namun ketika baku tinju tidak sanggup mencapai wajah pihak tersebut, displacement mengalami aktivasi, yakni kepalan tangan dialihkan ke obyek-obyek pengganti yang dipandang memiliki kemiripan dengan pihak utama penyebab PRD tadi.
Dalam situasi sedemikian, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya media sosial mewabahkan personal relative deprivation. Hanya dalam hitungan satu-dua hari, PRD sudah bisa berjangkit di hati sangat banyak orang. Ibarat lahan gambut, bara itu telah memanas sedemikian rupa kendati tidak kasatmata.
Dari gambaran situasi di atas bisa disimpulkan bahwa pameran kemewahan di media sosial mengandung efek provokatif dahsyat. Sikap nirempati kian destruktif karena masyarakat tengah berada dalam masa pemulihan akibat guncangan fisik dan psikis pandemi Covid-19. Tekanan batin ini sesungguhnya sudah diprediksi oleh otoritas kesehatan dunia sejak tiga bulan pertama dimulainya wabah virus corona.
Wabah guncangan psikis ini bersumber dari timpangnya atensi global terhadap Covid-19, yaitu ketika masyarakat dunia berpacu menemukan penawar atas virus corona, masyarakat yang sama justru menomorsekiankan pentingnya kekebalan jiwa. Akibatnya, betapapun kesiapan fisik warga dunia kini sudah jauh lebih tangguh berhadapan dengan Covid-19, pemulihan daya tahan psikis masih tertatih-tatih. Betapapun proses pemulihan psikis itu diharapkan sedang berlangsung, manifestasinya berupa perilaku-perilaku abnormal justru tampak silih berganti.
Potensi kian berapi-apinya kejengkelan dalam PRD itu, sayangnya, menggunung ketika publik tidak sedang bergairah memberikan sikap positif kepada otoritas penegakan hukum, terutama kepolisian. Kepercayaan yang rendah kepada polisi akan mewujud ke dalam dua perilaku. Pertama, turunnya kesediaan untuk taat hukum. Kedua, keengganan bekerja sama menciptakan keamanan dan ketertiban.
Walhasil, setidaknya dalam hitung-hitungan di atas kertas, situasi saat ini memang sedang rawan-rawannya. Apalagi jika ditambah dengan serbaneka anomali lain dalam pengelolaan negara. Batin publik akan kian letih. Kondisi ringkih semacam itu bertemu dengan situasi penegakan hukum ketika otoritas terkait tengah mengalami krisis kepercayaan publik.
Kasus penembakan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat tidak akan berujung seperti sekarang seandainya media sosial sunyi senyap. Demikian pula peristiwa penganiayaan berat terhadap David, boleh jadi akan disikapi sebagai kasus kekerasan terhadap anak belaka sekiranya warganet tidak menyalak. People power kekinian itu digerakkan oleh faktor yang sama, yakni personal relative deprivation. Pada kasus Yosua, khalayak luas terperas kesabarannya menengok bagaimana sosok pengayom justru menyalahgunakan kekuasaan. Sementara itu, pada kasus David, masyarakat sakit hati menonton pameran tindak-tanduk nirempati.
Kembali ke pertanyaan di alinea pertama tulisan ini: seandainya people power di alam maya menjelma menjadi people power di alam nyata, siapa yang akan disalahkan?
Dalam kondisi letih, manusia tak sanggup berpikir panjang. Apa yang tampak di mata, itu saja yang akan diindra. Realitas akan adanya faktor majemuk besar ada kemungkinan ditepikan. Jadi, konkretnya, dalam keadaan rusuh yang menjalar-jalar, sangat mungkin hanya perusuh yang dikejar. Adapun anasir-anasir yang memasok bensin mewabahnya personal relative deprivation akan terbiarkan.
Sekarang, mari berpikir minimalis.
Per Juni 2022, ada empat jutaan aparat sipil negara. Dengan asumsi setiap ASN memiliki tiga anggota keluarga inti, dan semuanya memiliki akun di media sosial, target operasi siber hanya sekitar 20 juta kepala.
Kalau pemerintah sudah kehilangan kesanggupan menangkal para penyelenggaranya agar tidak memiliki harta kekayaan yang tidak wajar, pemerintah seyogianya punya sedikit kemampuan menghapus semua media sosial yang berisikan potret-potret kampungan para penyelenggaranya. Melakukan patroli siber dalam rangka mengendalikan gaya hidup penyelenggara negara sepertinya tidak terlalu sulit. Untuk mencegah kerusuhan sosial di dunia nyata, sebaiknya dimulai dari dunia maya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo