Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPUCUK surat mendarat di tangan Edward Omar Sharif Hiariej pada 2011 silam. Isinya pemberhentian pria yang akrab disapa Eddy Hiariej itu dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kala itu ia diberhentikan lantaran menjadi saksi ahli untuk meringankan terdakwa kasus korupsi. Salah satu perkaranya tengah berjalan di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddy tercatat sebagai salah seorang peneliti di Pukat. Dalam aturan organisasi, Pukat melarang anggotanya menjadi saksi ahli untuk membela koruptor. Eddy, 50 tahun, tak menggubris aturan itu. “Jadi kami berhentikan,” peneliti Pukat, Zainal Arifin Mochtar, menceritakan kembali peristiwa itu pada Kamis, 2 November lalu. Zainal menjabat Direktur Pukat sejak 2008.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah meninggalkan Pukat, Eddy menjadi saksi ahli dalam berbagai perkara pidana, termasuk kasus korupsi. Pada akhir 2014, misalnya, ia menjadi saksi ahli dalam sidang kasus korupsi proyek Hambalang yang melibatkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Kali ini Eddy menjadi saksi yang memberatkan Anas.
Eddy melakoni profesi saksi ahli sejak 2006. “Karier”-nya berhenti sejak dia diangkat Presiden Joko Widodo menjadi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 23 Desember 2020. “Selama 14 tahun aku sudah 800 kali menjadi saksi ahli di berbagai perkara,” ucap Eddy kepada Tempo, 24 Maret lalu.
Sebelum dikenal luas sebagai spesialis saksi ahli, Eddy adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada sejak 1999. Ia meraih gelar guru besar ilmu hukum pidana saat berusia 37 tahun pada 2010. Sampai sekarang Eddy masih kerap mengajar di kampus tersebut. “Biasanya dia pulang ke Yogya pada Sabtu-Minggu,” ujar Zainal.
Eddy kerap membantu lembaga penegak hukum dengan memberikan kesaksian ahli dalam berbagai persidangan. Salah satunya Kepolisian RI. Namanya mulai dikenal luas saat menjadi saksi ahli pembunuhan Wayan Mirna Salihin pada 2016. Kasus ini ditangani Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Teman Mirna, Jessica Kumala Wongso, duduk di kursi terdakwa.
Kala itu pengadilan tak kunjung menghadirkan saksi yang melihat langsung Jessica mencampurkan racun sianida ke es kopi di gelas Mirna. Pada sidang ke-14, Eddy bersaksi bahwa majelis hakim tak perlu ragu menjatuhkan hukuman kepada Jessica meski motif pembunuhan tak kunjung terungkap. “Kalau ada ahli pidana bilang butuh motif, suruh baca lagi sejarah pembentukan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Belanda,” kata Eddy di pengadilan. Majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Jessica.
Setahun kemudian, nama Eddy kembali mencuat saat menjadi saksi ahli kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ahok yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta menjadi pesakitan karena dituduh melecehkan agama. “Gue bela Ahok,” ujar Eddy, lalu terkekeh.
Peran Eddy sebagai saksi ahli di pengadilan Ahok membuat jaksa penuntut umum berang. Eddy sebenarnya sudah diperiksa sebagai ahli dalam proses penyidikan. Tapi Eddy justru datang sebagai saksi ahli pidana atas permintaan kuasa hukum Ahok.
Rupanya, perannya sebagai saksi ahli tak gratis. Namun Eddy enggan menyebutkan nilai honor setiap kali menjadi saksi ahli. Ia mengatakan honor tersebut sesuai dengan aturan. “Honor saksi ahli tidak kena pajak,” ucapnya.
Seorang penegak hukum yang pernah meminta bantuan Eddy mengungkapkan, sang guru besar kerap mengajukan syarat berlebihan agar mau menjadi saksi ahli. Misalnya dia meminta tiket pesawat eksekutif dan sewa hotel tertentu. Sementara itu, lembaganya tak punya anggaran. Akibatnya, lembaga penegak hukum tersebut tak pernah lagi menggunakan jasa Eddy.
Meski punya daftar permintaan khusus, Eddy tetap laris menjadi saksi ahli. Dari berbagai informasi yang dikumpulkan Tempo, Eddy kerap membantu Polri menjadi saksi ahli dalam berbagai perkara. Ia juga menerima permintaan menjadi saksi ahli sengketa hasil pemilihan umum dalam persidangan Mahkamah Konstitusi.
Nama Eddy kembali melambung saat menjadi saksi ahli sidang sengketa pemilihan presiden antara kubu Joko Widodo-Ma’ ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Mahkamah Konstitusi pada 2019. Dalam sidang itu, Eddy menyebut Mahkamah Konstitusi bukan “Mahkamah Kalkulator” karena menganggap penasihat hukum kubu Prabowo terlalu memaksakan dalil agar hakim mengakui kemenangan Prabowo. Setahun kemudian, Eddy masuk kabinet Jokowi.
KPK pun pernah mengandalkan Eddy. Pada April 2021, komisi antirasuah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan untuk kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim. Eddy termasuk ahli yang dimintai pendapat oleh KPK soal BLBI.
Masuk ke pemerintahan, pelbagai kasus hukum mulai menggoyang Eddy. Pada November 2022, Eddy melaporkan keponakannya, Archi Bela, ke Badan Reserse Kriminal Polri. Ia menuduh Archi mencatut namanya untuk mendapatkan uang dari para calon notaris. Bareskrim Polri menahan Archi pada 11 Mei lalu.
Archi sempat mengajukan gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatannya ditolak. Pengacara Slamet Yuwono enggan menjelaskan perkembangan terakhir kasus ini karena tak lagi menjadi kuasa hukum Archi. “Silakan tanya ke penyidik,” tuturnya.
Meski dikenal sering membantu polisi, Eddy pernah berhadapan dengan Bareskrim Polri pada April 2018. Saat itu Eddy menjadi saksi ahli untuk Equanimity Cayman Ltd. Equanimity Cayman menggugat praperadilan penyitaan kapal mewahnya oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan ini dan menyatakan surat perintah penyitaan polisi pada 26 Februari 2018 tidak sah dan tidak berdasar hukum.
Kendati Eddy kerap membantu banyak pihak yang beperkara, termasuk dalam kasus korupsi, pertemanannya dengan Zainal Arifin Mochtar tak putus. Pada akhir Oktober lalu, Zainal bertemu dengan Eddy dan menyinggung perkara yang menyeretnya di KPK. Eddy dituduh menerima suap dan gratifikasi dari pengusaha tambang Helmut Hermawan. “Saya tidak ada masalah dengan kasus itu,” ujar Zainal, menirukan ucapan Eddy.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Saksi Ahli Spesialis Polisi"