Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Soedjatmoko menuangkan pemikirannya ke ratusan tulisan yang relevan hingga kini.
Melawan Jepang, ia berperan dalam diplomasi Indonesia di PBB seusai Proklamasi.
Soedjatmoko aktif dalam gerakan dan komunitas tokoh internasional.
RATUSAN tulisan itu terarsip rapi di dalam lemari kabinet ruang kerja rumahnya di Jalan Tanjung, Menteng, Jakarta Pusat. Lemari yang tak ubahnya kotak harta karun berisi pemikiran-pemikiran Soedjatmoko, intelektual yang sempat aktif di Partai Sosialis Indonesia dan menjadi Rektor United Nations University di Tokyo. Di lemari itu setidaknya ada 300 buah pikiran Soedjatmoko yang ia tulis sejak 1948 hingga menjelang akhir hayatnya pada 1989, atau saat dia berumur 67 tahun. Ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, ada pula yang berbahasa Belanda dan Inggris. Selain menguasai tiga bahasa itu, semasa sekolah Soedjatmoko mempelajari bahasa Latin dan Yunani Kuno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan ragam bahasa itulah Soedjatmoko menumpahkan pandangannya ke berbagai koridor isu. Ia menulis tentang filsafat, sejarah, sastra, agama, ekonomi, politik, juga pendidikan, dalam bentuk makalah ataupun naskah pidato. Sebagian besar tulisannya sudah dipublikasikan di sejumlah jurnal serta media massa baik di Indonesia maupun di luar negeri. Puluhan tahun berselang, gagasannya tak lekang oleh zaman. Walau ia tak menyandang gelar akademik, reputasinya sebagai intelektual dan diplomat membuatnya dipercaya memimpin Rektor United Nations University.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antropolog Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Reza Indria, menyebut Soedjatmoko sebagai budayawan yang tulisannya tak semata menawarkan definisi, tapi peran kebudayaan yang vital dan komprehensif bagi perubahan dan pembangunan manusia. Hal itu terbaca dari salah satu tulisannya pada 1954, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”. Esai itu dulu menarik perhatian dan memicu perdebatan di kalangan akademikus. “Sehingga akhirnya Cornell University Indonesia Modern Project menerjemahkannya dalam bahasa Inggris pada 1958,” ujar Reza, yang juga anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, dalam diskusi “Soedjatmoko, Ilmuwan Pemikir Kebebasan dan Pembangunan: Kontekstualisasi dan Relevansi bagi Imajinasi Indonesia” pada Jumat, 25 Februari lalu.
Soedjatmoko (kanan) berbincang dengan Harmoko saat peresmian lembaga pers di Wisma Antara, Jakarta, 1988. Dok. TEMPO/Anizar M Jasmine
Mengenang seratus tahun usia Soedjatmoko, yang lahir pada 1922 di Sawahlunto, Sumatera Barat, arsip digital ratusan tulisannya diluncurkan dalam bentuk situs yang bisa diakses publik. Situs Membacasoedjatmoko.com itu diinisiasi ketiga putri pria yang akrab disapa Bung Koko tersebut, yakni Kamala Chandrakirana, Isna Marifa, dan Galuh Wandita. Kamala adalah aktivis perempuan, Isna pegiat lingkungan hidup, dan Galuh sudah lama aktif sebagai pekerja hak asasi manusia. “Kami menamai situsnya 'Membaca Soedjatmoko' karena ingin ini menjadi media untuk memperkenalkan para pemikir muda kepada gagasan yang pernah dipikirkan dan dituliskan Ayah, selain ingin berbuat sesuatu untuk memperingati seratus tahun kelahirannya,” kata Kamala dalam wawancara via Zoom dengan Tempo, Jumat, 11 Maret lalu.
Kamala, yang akrab disapa Nana, mengatakan tak terlampau sulit bagi ia dan dua adiknya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan Soedjatmoko. Walau Soedjatmoko tak membuat sistem dokumentasi, kondisi fisik makalah dan pidato itu masih terawat dengan baik. Sebab, sebelumnya kolega ayahnya yang mengelola Yayasan Soedjatmoko—salah satu anggotanya Rosihan Anwar—pernah berkomitmen menata berkas-berkas di rumah Soedjatmoko. Nana menyebutkan ayahnya telaten menyimpan barang apa pun, termasuk dokumen. “Ini yang dulu sempat membuat ibu kami protes, karena ayah kami juga menyimpan mata uang dari negara-negara yang pernah ia kunjungi, sisa makalah, hingga cendera mata dari pesawat terbang,” tuturnya. “Kami butuh lebih dari sepuluh tahun untuk menyeleksi, karena jumlah dokumennya sangat banyak.”
Menurut Isna Marifa, semasa ayahnya hidup, tak sedikit yang menawarkan diri untuk mempublikasikan tulisan-tulisan itu menjadi sebuah buku. Namun Soedjatmoko sempat kurang berkenan. Adapun menurut Galuh Wandita, pengetahuan yang tergali dan dikembangkan secara otodidaktiklah yang membuat tulisan ayahnya menarik. Galuh mengatakan ayahnya selalu bersemangat menjelajahi isu-isu baru, merenungkannya, dan menuangkan pokok pikiran langsung ke sebuah tulisan yang menimbang perspektif kemanusiaan.
Soedjatmoko (kiri) bersama Sjahrir, Haji Agus Salim, Soemitro Djojohadikusumo di markas PBB, pada 1949. Dok. Keluarga
Selain membuat makalah dan naskah pidato, Soedjatmoko melahirkan buku berbahasa Inggris, Development and Freedom (Pembangunan dan Kebebasan), yang juga dirilis dalam versi bahasa Jepang dan Indonesia, serta The Primacy of Freedom in Development. Bukunya yang lain berisi bunga rampai esainya. Salah satunya Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko.
Peneliti sosial yang juga penulis Mencari Indonesia, Riwanto Tirtosudarmo, menyebutkan pemikiran Soedjatmoko dalam Development and Freedom tak hanya membicarakan kemiskinan dalam negeri, tapi juga ketimpangan global. Gagasan Soedjatmoko itu mendahului pemikir ekonomi dunia, Amartya Sen, yang menulis buku Development as Freedom. Menurut Riwanto, pemikiran Soedjatmoko relevan dengan sejumlah kasus yang belakangan mengemuka, seperti kasus Kendeng dan Wadas. “Kasus itu muncul dari sikap rezim yang mengagungkan pertumbuhan fisik dan ekonomi tapi abai pada masyarakat,” katanya.
Tak hanya getol menulis, Soedjatmoko juga aktif dalam komunitas internasional. Ia aktif di Club of Rome—organisasi informal beranggotakan tokoh-tokoh dunia yang peduli terhadap isu kemanusiaan dan lingkungan. Ia pun pernah menjadi pengurus Institute for Environment and Development. Soedjatmoko berperan pula di sejumlah organisasi kebudayaan, seperti American Academy of Arts and Sciences, Siam Society Bangkok, dan Akademi Jakarta. “Dia mendedikasikan cukup banyak waktu dalam hidupnya untuk terlibat dalam komunitas intelektual dunia. Dari situlah ia bertemu dengan tokoh seperti Amartya Sen dan Mahbub ul Haq,” ujar Nana.
Kamala Chandrakirana, putri dari Soedjatmoko. Dok. Pribadi
Pada 1978, Soedjatmoko menerima Ramon Magsaysay Award for International Understanding atas komitmennya terhadap isu kemanusiaan dan kemiskinan. Tujuh tahun berikutnya, ia mendapat penghargaan Asia Society karena dianggap berjasa memberikan pemahaman tentang kawasan Asia-Pasifik.
•••
INTELEKTUALITAS Soedjatmoko terbangun sejak kecil. Ayahnya, Mohamad Saleh Mangoendiningrat, adalah dokter kelahiran Madiun, sementara ibunya berasal dari Ponorogo. Keduanya di Jawa Timur. Jabatan Saleh membawa keluarganya hidup berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau lain di Nusantara. Soedjatmoko alias Koko lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, saat sang ayah sedang ditugasi di sana. Ia anak kedua dari empat bersaudara. Kakaknya, Siti Wahyunah alias Poppy, kelak menjadi sekretaris Sutan Sjahrir dan menikah dengan Perdana Menteri Indonesia pertama itu. Adik perempuannya, Miriam Budiardjo, adalah pakar ilmu politik ternama. Adapun adik lelakinya, Nugroho Wisnumurti, menekuni bidang yang sama dengan Koko sebagai diplomat.
Saat Koko berumur dua tahun, Saleh mendapat beasiswa di Belanda dan memboyong keluarganya ke sana. Lima tahun berselang, keluarga Saleh kembali ke Indonesia. Mereka tinggal di Manado. Putri kedua Koko, Isna Marifa, menyebutkan situasi sang kakek yang sering berpindah-pindah itu terbawa hingga ke keluarganya. “Di meja makan kami sering ada menu masakan Manado,” katanya. Saleh juga sempat menjadi dokter pribadi Paku Buwono X dan Paku Buwono XI, yang membuatnya mendapat gelar kebangsawanan.
Soedjatmoko (kanan) menerima penghargaan Magsaysay Award in Manila, pada 1978. Dok. Keluarga
Walau sering berpindah tempat tinggal, Koko tak pernah menceritakan sulitnya beradaptasi kepada tiga putrinya. Sebab, saat kecil dia lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca ketimbang bermain bersama teman sebaya. Saleh mendukung anaknya menjadi kutu buku dengan menyediakan banyak bacaan. Tak mengherankan bila Koko kecil suka membaca buku filsafat dan memakai kacamata minus sejak berumur tujuh tahun. Buku favoritnya adalah karya-karya novelis Prancis, Jules Verne. Yang diingat Isna, ayahnya juga senang membaca buku ensiklopedia saat berada di toilet.
Soedjatmoko mengecap pendidikan menengah pertama di Hoogere Burgerschool Surabaya sebelum kemudian belajar di Geneeskundige Hogeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran. Namun Koko tak menamatkan sekolah dokternya. Ia keburu terlibat gerakan bawah tanah melawan Jepang, sejalan dengan kedekatannya dengan Sutan Sjahrir. Gara-gara itu, Koko pernah ditahan selama beberapa minggu bersama mahasiswa lain. Sekeluar dari bui, ia sempat membantu praktik kedokteran ayahnya.
Proklamasi Kemerdekaan RI membawa Koko pindah ke Jakarta. Ia mulai menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi editor majalah mingguan berbahasa Belanda milik Kementerian Penerangan, Het Inzicht, bersama Sutan Sjahrir. Dalam buku Pergumulan Seorang Intelektual, M. Nursam menulis bahwa majalah ini berfungsi membuka komunikasi dengan Belanda perihal posisi Indonesia seusai Proklamasi. Koko juga ikut mendirikan mingguan politik dan budaya Siasat bersama Rosihan Anwar.
Makam Soedjatmoko di TPU Tanah Kusir, Jakarta. TEMPO/Febri Angga Palguna
Pada 1947, Sjahrir mengutus Koko ke Amerika Serikat bersama dua orang lain: Sumitro Djojohadikusumo dan Charles Tambu. Usia Koko saat itu 25 tahun. Ia pergi membawa misi diplomatik ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjelaskan posisi Indonesia yang ketika itu kembali diseruduk Belanda.
Sepekan di New York, sebagaimana ditulis Nursam dalam bukunya, Koko mendapat informasi dari koran bahwa Belanda telah menyerang Indonesia. Pada hari yang sama, 21 Juli 1947, Dewan Keamanan PBB bersidang. Koko, Sumitro, dan Charles pun tancap gas ke tempat sidang PBB berlangsung. Namun mereka dilarang masuk karena tak mengantongi surat kuasa. Tak kehilangan akal, ketiganya membikin keributan sambil berteriak bahwa Indonesia sudah diserang. Usaha ini sukses. Mereka diizinkan mengikuti persidangan.
Saat berumur 27 tahun, Koko diterima menjadi graduate student di Harvard University, Amerika Serikat. Namun rencananya bersekolah kembali kandas karena Duta Besar RI untuk Amerika, Ali Sastroamidjojo, meminangnya menjadi Kepala Bagian Politik di Kedutaan Besar RI di Washington, DC. Koko pun terpaksa melepaskan peluangnya bersekolah karena pada saat yang sama ia sudah disibukkan dengan tugas sebagai Deputy Permanent Representative pada Dewan Keamanan PBB.
Dilema bersekolah atau menjalankan tugas negara tersirat dalam surat yang ia layangkan dari New York untuk bapak-ibunya. “Selama krisis (perang) di Korea belum selesai dan selama merembetnya peperangan di sana belum ditiadakan, tidak mungkin bagi saya melarikan diri dari pekerjaan (diplomatik) saya sekarang. Maka kans saya untuk kembali ke Harvard hampir tidak ada. Jika demikian halnya, saya harus memutuskan kemungkinan-kemungkinan lain,” begitu dikatakan Koko dalam suratnya pada akhir 1950.
Soedjatmoko bersama Istri di rumahnya, di Jakarta, pada 1988. Dok. TEMPO/Anizar M Jasmine
Pada 1951, sebelum kembali ke Indonesia, Koko melawat ke Eropa Timur. Ia mendapatkan visa masuk berkat pengalaman diplomatiknya di PBB. Dalam lawatan ini, ia singgah di Yugoslavia, yang baru saja lepas dari Rusia. Di sana ia bersua dan berdiskusi dengan Wakil Presiden Milovan Djilas tentang situasi politik yang kemudian menambah wawasannya. Setiba di Indonesia, Koko turut mendirikan harian Pedoman yang terafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia.
Dari Pemilihan Umum 1955, Koko menjadi anggota Konstituante. Ia kembali ke Amerika pada 1968 di masa Orde Baru sebagai duta besar. Pada 1971, Koko berkiprah di Indonesia sebelum kemudian tinggal di Jepang karena diangkat menjadi United Nations University di Tokyo pada 1980.
•••
SOEDJATMOKO menikah dengan Ratmini Gandasubrata, seorang guru gambar dan putri hakim pengadilan negeri. Adik Koko yang juga seorang diplomat, Nugroho Wisnumurti, menyebutkan kakak iparnya itu menyukai olahraga berlayar. Ratmini dan Koko berkenalan di rumah Ali Budiardjo, ketua organisasi olahraga air itu. Ali adalah adik ipar Koko. “Mereka pernah berlayar bersama. Karena enggak punya pengalaman, Mas Koko kecebur di laut. Banyak yang menolongnya, termasuk Ibu Ratmini,” ucap Nugroho melalui sambungan telepon, Selasa, 24 Maret lalu.
Sebelum keduanya menikah, Koko meminta dua hal kepada Ratmini. Calon istrinya ini harus belajar menyetir mobil dan mempelajari bahasa Inggris agar bisa mandiri dan masuk ke “dunia Soedjatmoko”, yang kerap berurusan dengan hal-hal diplomatik. Putri sulung mereka, Kamala Chandrakirana alias Nana, mengatakan ibunya senang melukis dan bergabung ke organisasi perupa. Sejumlah lukisannya dipajang di kediaman mereka, tapi ada juga yang sudah dibeli orang. “Ayah enggak beli lukisan orang lain karena enggak punya duit,” kata Nana.
Peran Ratmini besar dalam keluarga, terlebih saat Soedjatmoko mengalami masa-masa sulit. Misalnya ketika Koko sulit mendapat pekerjaan karena menjadi persona non grata pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Waktu itu Ratmini menopang keuangan keluarga dengan membuka kursus menjahit di rumah. Begitu pun saat Koko dicegah keluar dari Indonesia hingga akhir Orde Lama. Putri kedua Koko, Isna Marifa, mengatakan kondisi dalam keluarganya ketika itu tegang. Koko mewanti-wanti keluarganya bahwa ia bisa ditangkap kapan saja. Keluarga juga diminta memantau jika ada orang aneh yang diam-diam mengawasi rumah mereka.
Soedjatmoko (kanan) bersama Sekretaris Jendral PBB Perez de Cuellar di kantor Universitas Persatuan Bangsa-Bangsa di Tokyo, Jepang, pada 1980-an. Dok. Keluarga
Dinamika kehidupan Soedjatmoko menempa ketiga putrinya. Menurut Isna, sang ayah mengajarkan hidup mandiri sejak kecil. Koko juga seorang demokratis dan dekat dengan keluarga. Mereka kerap duduk mendengarkan musik bersama. Di rumah, tutur Isna, mereka mengobrol dengan bahasa Indonesia dan Inggris. “Ayah tidak mau memakai bahasa Jawa di rumah karena menganggapnya simbol feodalisme,” ujarnya.
Alasan yang sama melatari pilihan Koko menanggalkan nama belakangnya, Mangoendiningrat. Untuk menebus rasa bersalah karena tak memakai nama pemberian sang bapak yang ia kagumi, Koko menggunakan nama Saleh untuk tanda tangan resminya. “Dia mengafirmasi kehadiran ayah dalam dirinya melalui itu,” tutur Isna.
Ketiga putrinya juga sering dimintai pendapat dalam diskusi dengan tamu-tamu penting yang datang ke rumah mereka, baik saat di Jepang maupun di Jakarta. “Rumah kami enggak pernah tutup. Selalu ada orang datang untuk berdiskusi dan makan bareng dengan keluarga,” tutur Isna. Bukan hanya kolega dari berbagai kalangan seperti Mochtar Lubis, Marsillam Simanjuntak, Adjie Damais, Umar Kayam, Aswab Mahasin, Rendra, Hamengku Buwono IX, dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tapi juga mahasiswa.
Koko juga sering memberi anak-anaknya komik dan berkas makalah yang ia tulis serta mengupayakan ketiga putrinya mendapat sekolah yang baik. Isna menyebut hal itu sebagai semacam cara ayahnya untuk berdamai dengan masa lalunya yang tak mengantongi ijazah pendidikan tinggi formal. Sang ayah juga yang mengenalkannya pada isu-isu lingkungan melalui banyak jurnal. Kata Koko kepada Isna saat itu, persoalan lingkungan akan menjadi isu besar di masa depan.
Pada masa tuanya, Koko tak berhenti menulis dan membawakan ceramah. Menurut Nugroho Wisnumurti, Koko meninggal saat menjadi pembicara di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 21 Desember 1989. Ketika itu Koko tampak memegang kepalanya, seperti sedang berpikir. Namun suasana mendadak hening. Tubuhnya roboh karena serangan jantung. Jenazah Soedjatmoko kemudian dibawa ke Jakarta dan dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. “Sebelumnya tidak ada keluhan soal jantungnya,” ujar Nugroho. Menjelang kepergiannya, Soedjatmoko sedang berbicara tentang pendidikan.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo