Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rahayu Oktaviani jatuh cinta kepada owa Jawa.
Marsya Christyanti Sibarani yang semula bercita-cita menjadi dokter memilih menjadi peneliti satwa liar.
Berangkat dari kecintaan terhadap binatang, Mikaela Clarissa Yempormase menjadi peneliti satwa.
PENELITIAN owa Jawa mengubah jalan hidup Rahayu Oktaviani. Bermula dari riset untuk menyelesaikan studinya di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, perempuan 35 tahun ini menggeluti bidang konservasi monyet kecil itu hingga kini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sewaktu kuliah di Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata IPB pada 2009, Rahayu sebenarnya mengajukan ide penelitian orang utan untuk skripsi. Namun masalah dana menghambat gagasannya karena ia harus meneliti hewan endemis Kalimantan itu di habitat asli. Di tengah kebingungan itu, seorang mahasiswa doktoral dari Korea Selatan menawarinya meneliti owa Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayu tak segera menyetujui tawaran itu. Ia ogah-ogahan karena topik owa Jawa kurang seksi. Owa Jawa bukan hewan yang mendapat perhatian besar, meskipun tergolong satwa langka. Juga lantaran area penelitiannya di Pulau Jawa. Bagi dia, area penelitian itu tak menantang. “Tapi, daripada tidak lulus, saya setujui tawaran itu,” kata Ayu di Bogor pada Selasa, 16 November lalu.
Topik penelitiannya adalah perilaku bersuara owa Jawa. Menurut literatur yang dibaca Ayu, setiap pagi owa Jawa akan mengeluarkan suara yang disebut morning call. Maka ia pun menyiapkan segala kebutuhan penelitian. Areanya di Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Bogor dan Sukabumi, Jawa Barat. Owa Jawa salah satu hewan penghuni hutan ini.
Ayu harus bersabar untuk berserobok dengan owa. Jangankan suara, wujudnya saja tak kunjung muncul. Ia dan satu tim peneliti harus sabar mendongakkan kepala berharap mereka bergelayutan di dahan. Owa adalah satwa brachiator atau hewan yang tak pernah menyentuh tanah karena keahliannya bergelantungan di dahan.
Marsya Christyanti Sibarani dan rekan kerjanya beristirahat ditengah perjalanan di dalam hutan, Way Canguk, Lampung, Juni 2015/Dok Pribadi
Ketika kesabarannya hampir habis, ketika ia merasa frustrasi memikirkan skripsi yang belum tentu terkumpul datanya untuk menjawab hipotesis, dari jauh terdengar suara berisik. Di telinga Ayu, suara itu seperti nyanyian. Dan benar, itu suara owa yang ia tunggu-tunggu. “Kami ikuti dan rekam sampai pada akhirnya owa itu bersuara mengalun indah,” ucapnya.
Sejak itu, Ayu jatuh cinta pada owa Jawa. Momen itu pula yang membuka jalannya mengupayakan konservasi satwa endemis Pulau Jawa tersebut melalui Javan Gibbon Research and Conservation Project (JGRCP). Proyek penelitian ini diinisiasi oleh Ewha Womans University, Seoul, Korea Selatan, yang bekerja sama dengan IPB. Di Ewha pula Ayu meneruskan studinya di program master dua tahun setelah lulus dari IPB.
Ayu mengajak pemuda sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak menjadi asistennya. Ia memfokuskan penelitian di Kampung Citalahab Sentral, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Mereka mengawasi perilaku harian dan ekologi owa Jawa, dari jadwal tidur, pergerakan, hingga wilayah jelajahnya.
Keterlibatan masyarakat membuat Ayu tak hanya mendedikasikan penelitian untuk proyek. Ia merasa harus memberikan kesimpulan-kesimpulannya kepada masyarakat sekitar agar mereka lebih memahami perilaku owa Jawa sehingga terdorong melindungi satwa ini. Ia membagi risetnya menjadi tiga program: penelitian, pendidikan konservasi, dan pendampingan masyarakat.
Untuk mencapai tiga tujuan itu, Ayu membentuk Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara yang mengelola JGRCP. Bersama teman-teman penelitinya, ia menggelar kelas konservasi lewat yayasan ini di dua sekolah dasar di kampung tersebut tiap Selasa. Sejak 2019, Ayu mengajak lembaga swadaya masyarakat membuat proyek percontohan kegiatan ekowisata.
Ayu dan para peneliti lain memberi pelatihan tentang pengamatan burung dan primata kepada anak-anak muda desa. Para pemuda akan menjadi pemandu bagi siapa pun yang datang tentang perilaku owa dan satwa lain di Halimun Salak, juga mengenai perlunya menjaga mereka demi keseimbangan ekosistem.
Dengan segala kesibukannya itu, dalam sebulan Ayu menginap satu-dua pekan di kampung. Ia harus rela meninggalkan anak laki-laki semata wayangnya di rumahnya di Bogor. Tahun ini, meski secara daring, Ayu mengajari para perempuan desa agar mereka mahir mengelola keuangan lembaga desa yang menjalankan ekowisata.
Untuk meluaskan pesan konservasi, Ayu meringkas hasil penelitiannya pada papan informasi di desa sehingga siapa pun yang datang ke Halimun Salak dapat secara sederhana mengetahui owa Jawa, hewan paling terlupakan di antara keluarga kera besar seperti orang utan, simpanse, bonobo, dan gorila. Ia juga menuliskannya menjadi buku cerita anak. Dua bukunya yang diterbitkan Penerbit Erlangga adalah Buku Harian Salwa, si Owa Jawa dan Buku Harian Luna, si Lutung Jawa.
Ayu makin mencintai owa ketika pembimbingnya, Dones Rinaldi, memintanya menonton film dokumenter BBC tentang upaya ahli primata Inggris, Jane Goodall dan Biruté Galdikas. Dari mereka Ayu belajar banyak tentang pentingnya konservasi satwa langka bagi hidup manusia. Sebab, ancaman terhadap owa Jawa bukan hanya kerusakan habitat karena konversi hutan dan lahan, tapi juga perburuan dan perdagangan satwa.
Berkat ketekunannya menggeluti konservasi owa Jawa, Ayu terpilih menjadi peserta 2020 Indonesia Grassroots Accelerator yang merupakan bagian dari Women’s Earth Alliance Indonesia 2020. Ayu juga menjadi satu dari 15 peserta program The National Geographic Society’s 2020-2021 Early Carrier Leadership Program.
Pada 2018, ia pun menyajikan presentasi tentang owa Jawa di National Geographic Society di Hong Kong. Dalam acara ini, ia bertemu dengan Jane Goodall dan memberi idolanya itu satu buku cerita anak karyanya. Goodall, Ayu mengungkapkan, berterima kasih karena ada anak muda Indonesia yang mendedikasikan waktu dan tenaga guna menjaga dunia gibbon.
Tak seperti Ayu yang sejak mahasiswa bergelut dengan dunia konservasi, Marsya Christyanti Sibarani tak bercita-cita menjadi peneliti. Lahir dalam keluarga dengan pekerjaan di bidang kesehatan, Marsya ingin menjadi dokter sejak kecil. Ibunya seorang perawat dan bibinya dokter gigi.
Karena itu, Marsya masuk jurusan biologi di Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Jakarta pada 2009. Rupanya, hampir separuh siswa yang mendaftar ke jurusan ini ingin menjadi dokter. Mereka punya alasan kuat untuk meraih cita-cita itu. “Sedangkan aku tak punya alasan fundamental menjadi dokter,” tutur perempuan 29 tahun ini pada Jumat, 5 November lalu.
Lulus SMA pada 2010, Marsya melanjutkan pendidikan ke Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Begitu lulus setelah empat tahun kuliah, ia bergabung dengan Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, sebuah lembaga penelitian swadaya masyarakat. Marsya kemudian mengambil program master ilmu konservasi di University of Queensland, Australia. Lulus pada 2017, ia kembali ke WCS pada tahun berikutnya.
Marsya bertugas di stasiun penelitian Way Canguk di Pesisir Barat, Lampung, yang berada di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Tugas utamanya mengolah dan menganalisis data keberagaman hayati. Marsya senang bertugas di Lampung karena taman nasional di provinsi ini dihuni hewan favoritnya: siamang.
Kecintaan pada siamang bermula dari penelitiannya untuk skripsi di balai konservasi di Bodogol, Cigombong, Kabupaten Bogor. Semasa kuliah, ia juga aktif mempelajari satwa liar lewat Kelompok Studi Hidupan Liar Comata. Di sinilah ia belajar mengembangkan data dan organisasi lebih jauh.
Bekerja di WCS, Marsya kian yakin memilih profesi peneliti satwa liar dan hutan. Menurut dia, tidak banyak orang yang tertarik menggeluti bidang ini. Di Australia, Marsya memfokuskan studi pada keberagaman hayati hujan tropis sehingga, bagi dia, kembali ke WCS setelah lulus adalah mempraktikkan ilmu dalam kerja. “Sekaligus liburan,” katanya. “Orang lain harus menunggu akhir pekan untuk liburan ke hutan, saya libur setiap hari di hutan.”
Dalam sebulan, Marsya bisa tinggal di dalam hutan selama tiga hari-sepekan. Saat ini ia lebih banyak bekerja di kantor untuk menganalisis data guna ditampilkan dalam jurnal penelitian ilmiah. Data lapangan diambil oleh tim lain. “Saya sinkronkan datanya di sini,” ujarnya. Melalui media sosial dan jaringan konservasionis muda Indonesia, Tambora, Marsya mengkampanyekan perlunya perlindungan satwa di habitat liar mereka.
Kecintaan pada hewan juga yang mengantarkan Mikaela Clarissa Yempormase menjadi peneliti satwa. Meski fokus studinya desain grafis di Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Industri Kreatif Telkom University di Bandung, ia menggeluti dunia konservasi dengan mendirikan Tamang Dugong.
Mikaela jatuh hati pada ikan duyung karena sejak kecil kerap mendengar cerita ayahnya tentang dugong Maluku Tenggara Barat. “Waktu sekolah dasar saya diajak ke Sea World dan melihat dugong,” kata perempuan 24 tahun ini. Saat kuliah di Bandung, ia acap mengikuti kegiatan relawan kampanye satwa yang dilindungi, termasuk dugong.
Tamang Dugong ia dirikan pada Mei 2020. Organisasi ini menjadi wadah untuk belajar, berdiskusi, dan berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lokal, khususnya di Alor, Nusa Tenggara Timur, guna membantu mengedukasi dan menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap lingkungan. Tamang Dugong juga berbagi informasi tentang eksistensi dugong di perairan Indonesia. Program pertamanya adalah #KawalDugong untuk menjaga dugong dari ancaman kepunahan.
Mikaela Clarissa Yempormase (kanan) dalam kegiatan mendokumentasikan dugong di Alor, NTT, Agustus 2021/Dok Pribadi
Keahliannya dalam desain grafis ia manfaatkan untuk mengkampanyekan perlindungan dugong melalui gambar. Setelah bergelut dengan dunia dugong dan masyarakat pesisir, Mikaela tahu banyak nelayan yang belum memahami kehidupan dugong sehingga mereka memburu satwa ini. “Mereka belum tahu cara melepaskan atau menangani dugong yang terdampar,” tuturnya.
Mikaela sedang menggarap film dokumenter di Alor tentang peran penting dugong dan padang lamun bagi masyarakat pesisir. Dari penelusuran informasi tentang dugong, Mikaela hanya menemukan sedikit bahan, terutama peran mereka bagi ekosistem padang lamun.
Padang lamun adalah ekosistem khas di laut dangkal yang tumbuh di wilayah perairan hangat dengan dasar pasir dan didominasi tumbuhan lamun. Padang lamun, Mikaela menjelaskan, mampu mengikat lebih banyak karbon ketimbang hutan tropis. Dengan potensi daya serap karbon yang tinggi, pesisir dan laut Indonesia memiliki peran sangat penting dalam mitigasi krisis iklim. “Dugong membantu penyerbukan padang lamun di sekitarnya,” ucap konsultan desain grafis yang tinggal di Bandung itu.
Ketelatenan mempromosikan konservasi dugong membuat Mikaela menjadi peserta Women’s Earth Alliance Indonesia 2021. Ia kerap menularkan pengetahuannya kepada para peneliti dan aktivis konservasi lain dengan bahasa sederhana. Dengan begitu, kata dia, perlindungan satwa dan habitatnya akan menjangkau khalayak yang lebih luas.
SITI HASANAH GUSTIYANI, HURRYYATI ALIYAH, MAHFUZULLOH AL MURTADHO (BOGOR)
Catatan: Berita ini telah diperbaiki pada Senin, 22 November 2021 pukul 13.35 karena ada sedikit kesalahan data. Terima kasih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo