Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Memeluk Ketenangan

Dalam beberapa tahun terakhir, orang kota beramai-ramai meditasi untuk mengatasi masalah mental dan fisik yang mendera. Bagaimana hasilnya?

 

6 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Orang kota beramai-ramai bermeditasi untuk mengatasi masalah mental dan fisik.

  • Banyak orang ingin mengenal dan mempelajari meditasi karena kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental meningkat.

  • Sebagian besar peserta punya motivasi penyembuhan psikologis.

DELAPAN belas orang bergeming dalam duduk bersila mereka di sebuah aula bambu yang dibangun di salah satu dinding bukit tertinggi di Cilember, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mata mereka terpejam. Napas teratur pelan. Mereka seolah-olah tak peduli akan dingin yang datang bersama kabut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ting…. Tepat pada pukul 9 malam, sebuah mangkuk kuningan diketuk. Tidak terlalu kencang, tapi bergema panjang. Perlahan, satu per satu mata terbuka, beradaptasi dengan cahaya temaram kekuningan. Pria berbadan langsing dan berambut sebahu yang mengetuk mangkuk itu mempersilakan 17 jiwa di depannya beristirahat di kamar masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denting tersebut mengakhiri meditasi sepanjang 12 jam hari itu. Ketujuh belas orang itu adalah peserta retret meditasi hening yang digelar di Eco Intercultural Camp (EIC), Cilember, pertengahan Oktober lalu. Kebanyakan dari mereka asal Jakarta, tapi ada juga yang terbang dari Manado, Yogyakarta, dan kota lain. 

Disebut meditasi hening karena selama enam hari penuh mereka tidak berbicara. Imbauan untuk tidak berbicara ini tak hanya berlaku di ruang meditasi, tapi juga saat makan, ketika di kamar, dan tatkala melakukan kegiatan lain. Mereka berbicara hanya saat berdiskusi tentang meditasi pada waktu-waktu tertentu. Untuk mengurangi gangguan, telepon seluler, arloji, dan barang berharga lain milik peserta, termasuk dompet, dikumpulkan ke panitia. 

Retret ini dipimpin oleh Romo Sudrijanta SJ, seorang pastor Katolik yang tidak membatasi wawasan spiritualnya, dari filsafat Barat hingga Timur. Ia juga kerap memakai khazanah kearifan agama lain, terutama Buddhisme. Karena itu, pesertanya datang dari berbagai agama. “Retret meditasi seperti ini dimulai pada 2008, setelah kepulangan saya dari Sri Lanka dan India untuk mendalami spiritualisme,” kata Romo Sudrijanta.

Awalnya, retret setahun sekali ini digelar berpindah-pindah. Setelah EIC selesai dibangun pada 2018, ia memusatkan semua kegiatan meditatif di sana. Tempat itu memang ideal untuk bermeditasi, terletak di salah satu bukit, dikelilingi hutan yang masih rapat, dan jauh dari keramaian. Udaranya pun sejuk. “Alam yang asri mengalirkan energi yang baik dan membantu ketenangan,” tutur Romo Sudrijanta.

Tentu bukan masalah keasrian tempat itu yang menjadi magnet. Jane Kurnadi, 48 tahun, rutin mengikuti retret meditasi ini sejak lima tahun lalu, sebelum EIC dibangun. Ketika ia pertama kali mengikuti retret, kondisi fisik dan mentalnya tak keruan. Tubuhnya didera lupus dan gangguan autoimun yang membuatnya harus keluar-masuk rumah sakit berkali-kali dalam setahun. Saat mengikuti retret pertama, dia baru sebulan keluar dari rumah sakit. Kondisi mentalnya pun terpuruk. Bertahun-tahun dia harus hidup dengan kenangan buruk sebagai penyintas kekerasan 1998. 

Di hari pertama retret, dia tak tahu harus berbuat apa. Saat memejamkan mata seperti peserta lain, ia justru tak mendapat ketenangan. Semua pikiran berseliweran di dalam kepalanya. Kenangan buruk muncul satu per satu dan menyengat seperti lebah. “Dalam hati saya berteriak sekencang-kencangnya,” ucap Jane. Ia hampir putus asa, ingin pulang, karena merasa meditasi tak membantunya.

Tapi, beberapa hari kemudian, ia tiba-tiba begitu saja memasuki ketenangan. Segala pikiran yang berseliweran mendadak senyap. Ia mendapat titik ketenangan yang luar biasa. Kadang ingatan buruk masih muncul, tapi tak lagi terlalu menyakitkan. 

Ia pun rajin bermeditasi setelah itu. “Setiap hari setidaknya tiga jam saya bermeditasi di tahun-tahun pertama,” ujarnya. Dampaknya sangat terasa. Bukan hanya kondisi mentalnya, kesehatannya juga berangsur pulih. Sepulang retret, dia mengecek kadar hemoglobin darahnya, yang ternyata masih normal, tak memerlukan transfusi seperti biasanya. Sejak saat itu Jane rajin mengikuti retret. Ia juga mengikuti meditasi di tempat lain. 

Manfaat yang sama dirasakan oleh aktris Sha Ine Febriyanti. Ine mulai ikut bermeditasi di Bali Usada, Denpasar, pada 2001, tapi baru pada 2008 dia mengikuti retret yang digelar selama seminggu atau bahkan dua minggu. “Setelah itu aku rajin retret setiap tahun, bahkan pernah setahun sampai tiga kali,” kata pemeran Nyai Ontosoroh dalam film Bumi Manusia ini. Sejak 2011, dia beralih ke teknik meditasi tanpa obyek bersama Romo Sudrijanta. 

Awalnya Ine bermeditasi untuk kebutuhan kesehatan, terutama saat kondisinya menurun ketika dia hamil anak ketiga. Belakangan, dia mendapat banyak manfaat, terutama bagi kesehatan mental. “Retret itu seperti recharge baterai, kita kembali ke kemurnian diri. Jiwa kita seperti gelas, kalau sudah penuh kan enggak bisa maksimal, mesti dikosongkan lagi. Meditasi adalah cara mengosongkannya,” kata ibu tiga anak ini. 

Selain merasakan manfaat secara personal, Ine mendapat benefit dari latihan ini untuk profesinya. “Meditasi itu penting buat pekerjaanku sebagai aktor, karena aktor kan bekerja dengan serat-serat yang halus, seperti perasaan, pikiran, dan imajinasi. Kalau enggak jernih, ya, kita enggak bisa melihat yang di bawah kasatmata,” tuturnya. 

Dalam catatan Romo Sudrijanta, peserta retret atau kelas meditasinya memiliki beragam motivasi. “Ada yang datang untuk healing atau penyembuhan (70 persen), belajar tentang meditasi dan perjalanan spiritual sekitar 13 persen, dan peserta lama yang ingin recharge sekitar 16 persen. Plus 1 persen motivasi lain,” ucapnya. Sebagian besar peserta dengan motivasi penyembuhan datang untuk penyembuhan psikologis (67 persen), sementara sisanya berpartisipasi karena punya masalah kesehatan fisik (17 persen) atau spiritual (13 persen).

Peserta retret melakukan walking meditation (meditasi dengan berjalan) di Eco Intercultural Camp, Cilember, Jawa Barat, Oktober 2021/Dok Eco Intercultural Camp

Kehidupan modern yang membuat kita kebanjiran informasi membuat otak tak pernah berhenti bekerja. Pikiran selalu bergerak dan perasaan naik-turun akibat unggahan yang berseliweran di media sosial. Belum lagi ada pandemi Covid-19 yang membuat kita kehilangan banyak hal dan memunculkan banyak kekhawatiran. Terlebih bekerja dari rumah tak mengenal batas waktu. Semua itu membuat kondisi mental dan tubuh rentan. Meditasi dianggap sebagai jawaban akan permasalahan itu.

Adjie Santosoputro, guru meditasi yang kerap menjadi rujukan anak-anak muda, juga melihat tren meditasi itu. “Sebatas dari yang saya rasakan dan saya lihat, minat orang untuk lebih tahu atau belajar atau memahami dan mengetahui kesehatan mental meningkat. Sebenarnya sejak sebelum pandemi sih meningkat, tapi sekarang lebih meningkat,” ujarnya, Rabu, 27 Oktober lalu.

Reza Gunawan, praktisi kesehatan holistik, melihat ada dua faktor yang menyebabkan makin banyak orang bermeditasi saat ini. “Pertama, ilmiah. Sekarang makin banyak penelitian yang menjelaskan manfaat meditasi secara ilmiah ataupun psikologis. Baik manfaat pada daya tahan tubuh, kesehatan fisik, kualitas hidup, kemampuan fokus dan konsentrasi, daya belajar, maupun produktivitas.”

Hal lain yang Reza lihat adalah naiknya kesadaran mental. “Kesadaran kita terhadap pentingnya kesehatan mental dalam tiga-empat tahun terakhir meningkat. Hal itulah yang mengantarkan banyak orang untuk mengenal dan mempelajari meditasi,” kata Reza, Ahad, 24 Oktober lalu. 

Itulah yang membuat meditasi kini tidak lagi dipandang mystical, bahkan kadang dianggap sebagai bagian dari aktivitas olahraga yang bisa kita temui di sejumlah gym dan fitness center

Akibatnya, kelas meditasi selalu penuh. Sebelum pandemi datang, setiap kelas meditasi yang digelar Adjie dihadiri 50-70 orang. Bahkan jumlah pesertanya bisa sampai 200 orang dalam kelas-kelas tak berbayar. Saat pandemi menyerang, Adjie lebih banyak menggelar kelas online. Adapun kelas bulanan yang digelar Reza diikuti 50-100 orang. 

Teknik yang dipakai pun sangat beragam. Adjie, misalnya, memakai teknik mindfulness. “Mindfulness itu melatih kesadaran kita agar lebih hadir di saat ini dan di sini. Sering kali perasaan kita terjebak dan kembali ke masa lalu atau berimajinasi ke masa depan. Nah, dengan metode ini, kita tidak mudah terseret ke memori masa lalu atau imajinasi masa depan,” ucapnya. Teknik yang sama diajarkan oleh Reza dalam kelas-kelasnya. 

Sedangkan Romo Sudrijanta memakai teknik meditasi tanpa obyek (MTO). Prinsipnya sangat mirip dengan apa yang dipraktikkan Adjie, tapi MTO lebih spiritual dengan kajian filosofis sangat mendalam. Disebut meditasi tanpa obyek, karena meditasi ini tidak memakai perantara apa pun, seperti mantra, musik (suara), atau gerakan tertentu.

Dalam praktik, kedua teknik ini—juga teknik meditasi Vipassana dan Zen—memiliki kemiripan, yaitu duduk, memejamkan mata, lalu bernapas dengan teratur. Selanjutnya, pikiran memperhatikan napas yang keluar-masuk. Perbedaan biasanya ada pada detailnya. Sejumlah teknik, seperti MTO, hanya menjadikan napas sebagai fokus awal, setelah itu pemeditasi akan membebaskan diri dari obyek apa pun, termasuk napas sendiri. 

Selain itu, khusus untuk meditasi yang bersifat emosional atau ihwal trauma atau luka batin, Reza juga mengajarkan metode Tapas Acupressure Technique (TAT). “TAT ini kombinasi antara teknik meditasi dan akupunktur, karena menggunakan tiga titik akupunktur yang disentuh di wajah sambil melakukan serangkaian langkah meditatif untuk menyembuhkan emosi pikiran dan trauma,” kata Reza. 

Bagi banyak orang, seperti Jane Kurnadi dan Sha Ine Febriyanti, meditasi memang menjadi solusi. “Dampaknya bisa dirasakan langsung,” tutur Romo Sudrijanta. Selain mendapat pengakuan langsung dari para peserta mengenai hasil yang mereka rasakan, ia melakukan muscle test guna melihat peningkatan ketenangan para peserta sebelum dan sesudah retret. 

Meski meditasi diyakini bisa membantu penyembuhan diri dari masalah mental, sebagian besar pemandu tidak menyarankan mereka yang dalam kondisi depresi berat langsung bermeditasi. “Meditasi bukan pengganti diagnosis psikiater, tapi meditasi bisa membantu mengatasinya,” ucap Adjie. Romo Sudrijanta bahkan tidak menyarankan mereka yang memiliki gangguan jiwa berat bermeditasi. “Karena mereka tidak bisa membedakan antara delusi dan realitas,” ujarnya.

Tepat pada pukul 4 pagi, ketika seluruh bukit masih diselimuti kabut tebal dan dedaunan basah, sebuah lonceng dibunyikan untuk membangunkan para peserta retret. Sebuah hari baru, sebuah kesadaran baru.

HAFSAH CHAIRUNNISA, SITI HASANAH GUSTIYANI 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus