Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setiap orang memiliki cara tersendiri dalam merespons berbagai masalah, salah satunya toxic positivity. Mengutip Verywell Mind, toxic positivity dianggap kondisi yang dilematis. Di satu sisi, berpikir positif membawa beberapa manfaat. Tapi, di sisi lain, selalu berpikir positif membuat seseorang tidak memiliki ruang untuk berbagai emosi lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang yang toxic positivity cenderung akan terus berusaha menghindari emosi negatif. Masalah dari toxic positivity, hidup tidak selalu positif. Itu sebabnya, toxic positivity merupakan tindakan yang berjarak dari realitas.
Apa itu toxic positivity?
Mengutip Medical News Today, toxic positivity rentan berdampak buruk. Misalnya, apabila seseorang yang telah kehilangan sosok berharga dalam hidupnya disuruh untuk berpikir positif. Kondisi itu menyebabkkan orang itu akan merasa kehilangannya tidak terlalu berharga.
Toxic positivity membuat berbagai emosi tertentu menjadi tidak dianggap. Merujuk Psychology Today, memungkinkan berbagai emosi lainnya meledak pada waktu tertentu. Akibatnya, kondisi emosional seseorang pun menjadi tidak stabil.
Toxic positivity juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain. Toxic positivity membuat seseorang sulit terhubung dengan orang lain. Sebab, orang itu hanya berfokus terhadap segala hal yang positif. Sedangkan orang lain menyadari kehidupan tidak melulu bersifat positif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap orang mengalami emosi negatif. Toxic positivity mencegah orang merasakan emosi negatif saat kesulitan nyata perlu dihadapi. "Manusia tak bisa hanya memilih emosi yang ingin dimiliki. Merasakan semua perasaan menyakitkan atau tidak, itu realistis,” kata ahli psikologi klinis Jaime Zuckerman, dilansir Healthline.
Orang yang merasakan tekanan untuk tersenyum dalam menghadapi kesulitan mungkin cenderung tidak mencari dukungan itu bisa saja menandakan toxic positivity. Menurut American Psychiatric Association, stigma juga menghalangi seseorang untuk mencari perawatan kesehatan mental.
Toxic positivity mendorong orang untuk mengabaikan fakta, setiap hubungan memiliki tantangan. Sebab, berfokus hal yang positif saja. Pendekatan itu rentan menghancurkan komunikasi dan kemampuan untuk memecahkan masalah dalam hubungan.
Baca: Bahaya Toxic Positivity, Sulit Berpikir Kritis Hingga Berujung KDRT
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.