Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Membaca merupakan aktivitas menarik bagi sejumlah orang. Mereka yang hobi membaca memiliki koleksi buku yang tidak sedikit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun ada pula sebagian orang yang rutin membeli buku namun tak kunjung dibaca. Akhirnya buku-buku tersebut sekadar menumpuk di rak koleksi. Perilaku seperti ini dikenal dengan nama tsundoku.
Istilah tersebut berasal dari bahasa Jepang yakni “Tsundoku” yang diketahui sudah ada sejak zaman Meiji 1868-1912. Kata ini berasal dari "tsunde" dan "dokusho".
Kata “tsunde” berasal dari tsumu yang artinya menumpuk dan meninggal. Sementara kata dokusho awalnya disebut “oku” seiring waktu menjadi “doku” artinya membaca. Maka arti kedua kata ini disebut sebagai kebiasaan membeli buku namun tidak membacanya.
Mengutip berbagai sumber, perilaku tsundoku muncul karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Misalnya mengikuti hal-hal yang sedang tren atau sekadar ingin menghias aktivitas beranda media.
Pada lain hal, perilaku tsundoku dipengaruhi oleh perilaku konsumtif, kondisi promosi buku, edisi cover terbaru dan lain sebagainya.
Aktivis Bahasa Indonesia, Ivan Lanin, dalam Twitternya @ivanlanin, mencuit kiat 5 menit menghindari "tsundoku":
- Jika buku sudah sampai di rumah, silahkan langsung membuka bungkus plastiknya
- Jangan lupa beri tanda tangan di bagian depan halaman awal, juga disertakan tanggal berapa dibeli, juga tempat pembelian buku
- Baca daftar isi & pindai (scan) tiap halaman buku dengan cepat.
TIKA AYU
Baca juga: