Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Panut Mulyono, kasus dugaan perundungan seksual yang menimpa salah satu mahasiswinya sudah kelar dan tak perlu diperpanjang. “Kami menyatakan kasus ini sudah selesai,” ujar Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu pada Kamis pekan lalu.
Tiga hari sebelumnya, bekas Dekan Fakultas Teknik itu mempertemukan korban, Agni—bukan nama sebenarnya—dan pelaku, Hardika Saputra, di sebuah ruangan rektorat kampus. Agni adalah mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM 2014, sedangkan Hardika mahasiswa Teknik Sipil UGM angkatan yang sama.
Dalam pertemuan itu, Hardika mengakui kesalahannya telah melakukan perundungan seksual kepada Agni dan meminta maaf atas tindakan tersebut. Disaksikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Erwan Agus Purwanto, Dekan Fakultas Teknik UGM Nizam, serta ayah Agni dan pengacaranya, Sukiratnasari, Hardika menuangkan permohonan maaf tertulis.
Bukan hanya permintaan maaf, dalam pertemuan tersebut, Rektor meminta keduanya membuat kesepakatan, di antaranya berisi kewajiban agar Hardika mengikuti mandatory counseling hingga lulus untuk memastikan agar dia tidak mengulangi perbuatan serupa. UGM akan menyediakan konseling untuk memulihkan kondisi psikologis Agni.
Peristiwa dugaan perundungan seksual ini terjadi ketika Agni dan Hardika sama-sama mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, akhir Juni 2017. Peristiwanya terjadi pada suatu malam, akhir Juli 2017. Ketika itu, Agni terpaksa menginap di rumah seorang warga Pulau Seram, yang juga posko KKN Hardika, karena kemalaman dan hujan deras. Saat itulah Hardika diduga melecehkan Agni dengan cara menggerayangi payudara dan kemaluannya.
Kabar soal kejadian ini sampai ke dosen pembimbing lapangan, lalu dilakukan penyelesaian secara diam-diam. Saat itu Hardika dikenai sanksi ditarik sebagai peserta KKN. Tapi alasannya bukan karena perundungan seksual, melainkan pertimbangan peserta KKN menolak keberadaan Hardika.
Lima bulan berselang, persoalan ini mengemuka lagi setelah Agni mengadu kepada pimpinan fakultas. Agni berkeberatan karena nilai kegiatan KKN dia adalah C. ”Menurut dosen pembimbing lapangan, nilai C itu sebagai hukuman atas kasus tersebut,” ujar Erwan Agus Purwanto, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM sekaligus dosen Agni.
Menurut Erwan, Agni berkeberatan karena ia adalah korban, tapi justru dihukum dengan diberi nilai rendah. Agni lantas meminta keadilan. Tapi kampus hanya menjatuhkan sanksi menunda kelulusan yudisium pelaku sampai diberi konseling yang cukup oleh unit konseling UGM. Faktanya, Hardika terdaftar sebagai peserta wisuda mahasiswa pada November tahun lalu.
Rencana wisuda itulah yang memicu perkara dugaan perundungan seksual di Maluku ini mengemuka lagi. Adalah Balairung, media kampus di UGM, yang mengulasnya, dua bulan lalu. Nasib Agni melecut kemarahan publik karena sikap pimpinan perguruan tinggi yang dijuluki Kampus Pancasila ini terkesan setengah hati. Massa yang mengatasnamakan diri “Kita Agni” berdemo menuntut ketegasan Rektor UGM.
Rektor Universitas Gadjah Mada Panut Mulyono (kedua dari kiri) setelah memenuhi panggilan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY
Atas tuntutan itu, Rektor membentuk tim Komite Etik, yang beranggotakan tujuh orang pada November-Desember 2018. Mereka terdiri atas dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Teknik, Kehutanan, Hukum, Farmasi, serta Filsafat, dan Pusat Studi Wanita.
Tim ini menyerahkan hasil rekomendasi kepada Rektor pada 31 Desember 2018. UGM merujuk pada Peraturan Rektor tentang Tata Perilaku Mahasiswa. Pasal 5 aturan itu menyebutkan setiap mahasiswa dilarang melakukan perbuatan asusila.
Keputusan Komite Etik secara mayoritas menunjukkan adanya perbuatan asusila. Tapi Komite Etik tidak menyatakan perbuatan asusila tersebut adalah perundungan seksual. “Komite Etik tidak mengkategorikan jenis pelanggaran dari perbuatan itu,” kata anggota Komite Etik, Sri Wiyanti Eddyono.
Sri Wiyanti adalah pengajar Fakultas Hukum UGM yang mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap keputusan mayoritas Komite Etik. Dia berkeberatan terhadap suara mayoritas. Ia menyatakan terjadi perundungan seksual kategori pelanggaran berat.
Beberapa hari sebelum rekomendasi diserahkan kepada Rektor, Sri Wiyanti mundur sebagai Ketua Komite Etik. Dia tidak puas atas hasil rekomendasi Komite Etik. Subagus Wahyuono dari Fakultas Farmasi kemudian menggantikan Sri Wiyanti.
Dosen Fakultas Filsafat, Rachmad Hidayat, juga mundur. Selain itu, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Linda Savirani, mundur sebagai anggota Komite Etik beberapa hari menjelang rekomendasi diserahkan kepada Rektor. Dia mundur karena merasa berseberangan dengan prinsip yang ia pegang sebagai perwakilan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Sedangkan empat orang anggota lain menyatakan tindakan asusila, tapi tanpa sanksi sesuai dengan peraturan rektor.
Ketua Komite Etik Subagus Wahyuono tidak menjawab alasan timnya menyatakan tidak ada perundungan seksual ketika dimintai konfirmasi Tempo melalui pesan WhatsApp. Sri Wiyanti, yang dikenal sebagai pengajar hukum pidana, hukum acara pidana, serta hukum perlindungan perempuan dan anak, mengaku sangat berat menyetujui keputusan yang diambil Komite Etik secara mayoritas. “Secara etik, tidaklah etis saya berlaku berbeda dengan keilmuan yang saya miliki dan saya ajarkan,” ucapnya.
Keputusan Komite Etik ini menjadi dasar keputusan rektor bahwa kasus itu sudah selesai dan berakhir dengan kesepakatan damai. Setelah adanya kesepakatan damai, pihak UGM berkirim surat kepada polisi untuk memberitahukan bahwa kasus tersebut sudah selesai di lingkup internal kampus. Ombudsman RI menduga ada maladministrasi UGM dalam penanganan perkara perundungan seksual Agni ini. Selasa pekan lalu, Ombudsman meminta keterangan Rektor Panut Mulyono mengenai hal tersebut. “Kami menjelaskan prosedur penanganan dari awal hingga akhir,” ujar Panut.
Pengacara Agni, Sukiratnasari, menyayangkan adanya laporan kasus Agni ke kepolisian. Sejak awal kasus ini mencuat, kata dia, Agni tidak ingin melaporkan kasusnya ke polisi. Dia hanya ingin UGM memberikan sanksi etik kepada terduga pelaku, yaitu dikeluarkan dari kampus. “Laporan UGM ke polisi itu tanpa persetujuan dan konsultasi dengan penyintas,” tuturnya.
Menurut Sukiratnasari, pemeriksaan Agni oleh polisi pada 19 November 2018 selama 12 jam membuat kliennya mengalami depresi. Agni, Sukiratnasari melanjutkan, mengalami depresi pasca-kasus itu sehingga dia harus mendapatkan penanganan khusus dari psikolog. “Kami menolak permintaan visum et repertum karena bekas luka fisik sudah hilang lantaran kejadian yang sudah berlangsung lama,” kata -Sukiratnasari.
Sebaliknya, Hardika Saputra melalui pengacaranya, Tommy Susanto, mendesak proses hukum harus terus berlanjut karena menyangkut nama baik kliennya. Menurut dia, Hardika mendapat dampak buruk dari tuduhan itu, misalnya, foto Hardika di media sosial digambari alat kelamin. Tommy meyakini kliennya tidak melakukan perundungan seksual seperti yang dituduhkan. “Tak ada ancaman dan paksaan,” ujarnya.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Yogyakarta Komisaris Besar Hadi Utomo, polisi tetap melanjutkan proses penyidikan kasus Agni. “Penyidikan lanjut bukan berdasarkan damai atau tidak damai. Selanjutnya akan ada gelar perkara,” katanya.
Polisi telah memeriksa 26 saksi dan mendatangkan saksi ahli dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Sejumlah bukti, di antaranya baju penyintas, telah dibawa polisi. Penyidikan tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan, menurut Komisaris Besar Hadi Utomo, tergolong delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa maksudnya adalah perkara bisa diproses tanpa persetujuan dari yang dirugikan atau korban.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo