Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Gebrakan Kuda Hitam Guaido

Juan Guaido muncul sebagai penantang utama Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Tokoh oposisi lapis kedua.

8 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua peti kemas biru dan sebuah tangki oranye besar teronggok merintangi tiga ruas jembatan Tienditas dekat Kota Cucuta di perbatasan Kolombia-Venezuela, Rabu pekan lalu. Sederet pagar besi terpasang di depannya. Tentara Venezuela memasang barikade itu untuk mencegah masuknya truk-truk bantuan kemanusiaan ke negeri yang sedang dilanda krisis ekonomi tersebut.

Tindakan militer itu membuat Ketua Majelis Nasional Juan Guaido gusar. Ia mendesak militer membuka akses persimpangan utama di tapal batas kedua negara dan mengizinkan bantuan makanan dan obat dari Kolombia masuk. “Izinkanlah bantuan kemanusiaan yang diperlukan untuk mengurus keluargamu, saudarimu, ibumu, dan istrimu,” kata Guaido.

Krisis mendera Venezuela setelah harga minyak jatuh sejak 2014. Perekonomian negara berpenduduk 32 juta jiwa ini amburadul karena sangat bergantung pada penjualan minyak. Negeri yang punya cadangan minyak mentah sebanyak 301 miliar barel—terbesar sejagat setelah Arab Saudi—itu tidak lagi menjadi negara terkaya di Amerika Latin. Sejak dibelit krisis ekonomi dan politik, lebih dari 3 juta warganya melakukan eksodus.

Guaido mengatakan blokade militer bakal mengancam jiwa 300 ribu orang di -Venezuela, mereka yang kelaparan karena tergencet resesi berkepanjangan. Militer memperparah situasi tersebut dengan merintangi bantuan kemanusiaan, yang menurut Guaido, “Reaksi absurd rezim yang tak peduli rakyat.”

Menurut ayah satu anak ini, Presiden Nicolas Maduro telah membawa rakyat -Venezuela makin terperosok ke jurang penderitaan. “Tentara harus memilih antara kediktatoran yang tidak manusiawi atau berpihak pada konstitusi,” ujarnya.

Lewat bantuan kemanusiaan yang dimintanya dari komunitas internasional, Guaido berupaya menekan Maduro. Bantuan terutama datang dari Amerika Serikat. Kini sedikitnya 40 negara, termasuk 19 negara Uni Eropa, berbaris di belakang Guaido.

Namun Maduro tidak gentar dan tegas menolak bantuan asing. “Kami bukan pengemis,” katanya. Dia menuding Guaido, yang mendapat dukungan penuh Amerika Serikat, memanfaatkan bantuan kemanusiaan sebagai kedok untuk melancarkan kudeta terhadapnya. “Di sini, di Venezuela, tidak ada yang akan masuk. Tidak seorang pun serdadu (asing) yang menyerbu,” ucap politikus penerus rezim sosialis Hugo Chavez itu.

Perseteruan Maduro dan Guaido pecah setelah Guaido mendeklarasikan diri sebagai presiden sementara Venezuela pada 23 Januari lalu. Pria 35 tahun ini menganggap kepemimpinan periode kedua Maduro tidak sah karena memenangi pemilihan umum dengan kecurangan. Atas dasar itulah Guaido menilai dia berhak menggantikan Maduro hingga digelar pemilihan ulang.

Sesuai dengan konstitusi, Guaido dapat ditunjuk sebagai presiden interim jika mengantongi restu dari mayoritas rakyat, komunitas internasional, dan militer. Guaido telah menggenggam dukungan Majelis Nasional selaku representasi rakyat dan puluhan negara. Sayangnya, militer masih loyal kepada Maduro.

Namun manuver politik Guaido terbilang mengejutkan. Sebelum mengumumkan diri sebagai presiden di depan ribuan pengunjuk rasa anti-pemerintah di Ibu Kota Karakas, nama Juan Gerardo Guaido Marquez tak begitu populer di negeri itu. Masyarakat hanya mengenalnya sebagai kader Partai Kehendak Rakyat, partai oposisi yang dibesutnya bersama mentor politiknya, Leopoldo Lopez, pada 2009.

Ketika Guaido pertama kali terpilih sebagai wakil rakyat di Majelis Nasional pada 2015, Presiden Maduro pernah mengejek dengan mengatakan bahwa banyak orang Venezuela tak tahu siapa Guaido. Maduro bahkan memelesetkan nama lawan politiknya itu. “Guaido atau Guaire?” kata Maduro, mengacu pada nama sungai yang sangat tercemar karena limbah di Karakas.

Dalam peta politik nasional, Guaido memimpin lembaga legislatif yang setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia. Ia orang terpenting ketiga setelah Maduro dan Delcy Rodriguez, perempuan 49 tahun yang menjabat wakil presiden. Sejak pemilihan legislatif pada 2015, koalisi partai-partai oposisi Persatuan Demokrasi menguasai mayoritas kursi Majelis Nasional—pertama kalinya dalam 16 tahun.

Bagi Guaido, hari deklarasi 23 Januari lalu merupakan buah perjuangannya selama bertahun-tahun. Semangat perlawanan pria kelahiran La Guaira, Negara Bagian Vargas, ini terhadap rezim sayap kiri di negaranya terpupuk sejak belia. Masa remajanya diselimuti memori kelam tragedi banjir Vargas pada 1999 yang menewaskan puluhan ribu orang dan menghancurkan rumah keluarga Guaido. Saat itu Presiden Hugo Chavez, yang belum satu tahun berkuasa, dengan arogan menolak tawaran bantuan dari Amerika untuk bencana tersebut.

Ibu Guaido, Norka Marquez, mengatakan bencana itu tak hanya membuat putranya ketakutan. Guaido, yang kehilangan beberapa temannya, merasa frustrasi terhadap pemerintah yang dianggapnya gagal menangani dampak bencana. “Dia tidak bisa menerima bahwa ada begitu banyak orang yang sangat menderita (di bawah Chavez),” ujar Norka. Sejak itu, sikap putranya terhadap pemerintah mengeras.

Guaido adalah satu dari lima putra pasangan Wilmer Guaido dan istri pertamanya, Norka. Guaido orang pertama di keluarganya yang berkecimpung di dunia politik. Ibunya seorang guru. Ayahnya bekas pilot maskapai penerbangan komersial yang pindah ke Tenerife, Kepulauan Canary, Spanyol, sejak 16 tahun lalu. Wilmer termasuk gelombang pertama imigran -Venezuela yang mencari penghidupan lebih baik ke negara lain. “Situasi politik era Chavez sangat buruk. Ide-idenya aneh dan ruang gerak bagi warga terbatas,” kata Wilmer.

Guaido dan ayahnya terus berhubungan baik, bahkan ketika Wilmer telah bercerai dengan Norka. “Kami sering berbincang lewat WhatsApp,” ujar Wilmer, yang terakhir kali mudik empat tahun silam. Pada Sabtu pekan lalu, ia ikut berdemonstrasi di ibu kota Tenerife untuk menunjukkan dukungan kepada putranya sebagai presiden interim. Spanyol adalah salah satu negara yang mengakui Guaido.

Guaido dan ayahnya sama-sama kritis terhadap rezim sosialis besutan Hugo Chavez yang mereka anggap diktator. Menurut CNN, ambisi politik Guaido menguat sewaktu mahasiswa, saat dia bergabung dengan kampanye yang gagal untuk mencegah pemerintah membredel jaringan media independen RCTV pada 2007.

Selama kuliah di Jurusan Teknik Industri Andres Bello Catholic University di Karakas, aktivitas politik Guaido menggebu. Pada 2007, ia bergabung dengan Freddy Guevara dan aktivis mahasiswa lain serta pendukung oposisi dalam kampanye menentang rencana Chavez merombak konstitusi dan menghapus batasan masa jabatan presiden. Upaya mereka sukses besar. “Saya percaya Chavez kalah dalam referendum berkat hasil kerja orang-orang seperti Juan,” kata Joao de Gouveia, dosen Guaido.

Selepas lulus kuliah, dia bergabung dengan Leopoldo Lopez dan turut membidani lahirnya Partai Kehendak Rakyat. Guaido bertahun-tahun mengikuti kiprah Lopez, tokoh oposisi paling kondang di -Venezuela. Lopez lawan politik tangguh bagi Chavez dan Maduro. Pada 2014, Lopez dibui setelah memimpin unjuk rasa anti-pemerintah skala besar yang berujung kisruh dan menjadi tahanan rumah sejak 2017.

Lopez tak ayal menjadi arsitek kemunculan Guaido. Status tahanan politik tak menghalanginya untuk mengatur strategi partai. Pada 2017, misalnya, saat Maduro membentuk badan legislatif tandingan yang pro-pemerintah, Majelis Konstituen, Lopez bermanuver dari balik layar dengan menempatkan Guaido sebagai pemimpin partai mereka. Guaido mengisi kekosongan kepemimpinan partai di Majelis Nasional setelah delapan politikus senior Partai Kehendak Rakyat diasingkan oleh rezim Maduro sejak 2014.

Strategi Lopez terbukti jitu. Sesuai dengan kesepakatan, partai-partai anggota koalisi oposisi bergantian memimpin Majelis Nasional. Ketika tiba giliran Partai Kehendak Rakyat memimpin, Guaido telah matang. Pria yang melek Internet dan cukup populer di media sosial ini dilantik pada 5 Januari lalu dan tak sampai tiga pekan kemudian langsung menggebrak kemapanan Maduro. “Dia bukan orang baru di politik,” ujar Dariela Sosa, bekas rekan aktivis Guaido. “Dia menjadi seperti sekarang karena tak pernah diperhitungkan.”

MAHARDIKA SATRIA HADI (CARACAS CHRONICLES, DAILY MAIL, WASHINGTON POST)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus