Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mudah bagi tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Bandung mendampingi 34 anak korban pencabulan seorang guru les privat, DRP. Selama tiga pekan seusai penangkapan pria 48 tahun itu oleh tim Kepolisian Resor Kota Besar Bandung, baru sembilan anak yang melakukan konsultasi dengan psikolog. “Kami sampai harus menciptakan game untuk mengetahui mana anak yang berani berbicara,” kata pelaksana tugas Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Bandung, Mita Rofianti, Jumat pekan lalu.
Para bocah yang rata-rata duduk di kelas IV sekolah dasar itu kebanyakan memilih diam. Mereka masih enggan menceritakan kronologi perbuatan sodomi yang dilakukan tersangka. Tak patah semangat, Mita dan timnya tetap membuka konseling bagi para korban di tengah keterbatasan waktu lantaran anak-anak itu harus bersekolah dan mengikuti ujian. “Kami berusaha menerangkan kepada orang tua agar mereka mau diberi konseling dan meyakinkan mereka bisa sembuh total,” ujar Mita.
Begitu juga saat pemeriksaan di kepolisian, anak-anak tersebut lebih banyak diam. Untungnya, polisi memiliki beberapa video adegan sodomi yang dilakukan DRP terhadap lima bocah. Video itu diperoleh penyidik Polres Kota Besar Bandung dari salah satu orang tua korban, Raffi—bukan nama sebenarnya—yang melaporkan tindakan asusila tersebut tiga pekan lalu.
Orang tua Raffi mengetahui anaknya telah disodomi guru les privat matematika yang juga tetangganya tersebut setelah tak sengaja melihat video asusila yang tersimpan di telepon seluler korban. Raffi kemudian dimintai konfirmasi orang tuanya dan mengakui kejadian suram yang telah dialaminya. Raffi juga mengaku perbuatan sodomi itu dilakukan lebih dari sekali.
Berbekal video dan pengakuan Raffi itu, polisi menangkap DRP di kediamannya di Jalan Mandala II Nomor 52 RT 11 RW 02, Kelurahan Jatihandap, Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung. Dari kediaman tersangka, polisi menyita barang bukti berupa flash disk, laptop, dan satu kamera digital. Di perangkat digital itu, polisi menemukan video sodomi yang dilakukan DRP terhadap empat bocah lain.
Tempat kejadian perkara dan kediaman pelaku pencabulan di Kota Bandung./google maps
Empat bocah itu lantas diperiksa dan membenarkan telah menjadi korban sodomi DRP. Anak-anak itu sebagian memang menjadi murid les privat DRP. Para murid tersebut bertandang ke kediaman DRP untuk mengikuti les privat matematika dan bahasa Inggris. Di sela-sela les, DRP mengajak bocah-bocah tersebut menonton film porno.
Rampung menonton film, DRP mulai mencium dan memegang-megang alat vital korbannya. Ia kemudian melakukan sodomi terhadap si target. “Para korbannya kerap ditontonkan film porno. Ada juga korbannya yang diberi uang untuk menutupi aksinya itu,” kata Kepala Polres Kota Besar Bandung Komisaris Besar Irman Sugema. DRP kerap memberikan duit kepada para korbannya saat mereka mengeluh tak dikasih uang saku oleh orang tua mereka.
DRP tinggal bersama orang tua dan kakak-kakaknya di rumah tersebut. Namun keluarga DRP lebih banyak beraktivitas di rumah bagian tengah dan belakang sehingga tak mengetahui perbuatan bejat DRP. Sedangkan DRP lebih banyak ber-aktivitas di rumah bagian depan.
Untuk menarik minat anak-anak lain, DRP kerap menebar recehan di teras rumahnya. Anak-anak yang mengambil uang itu lantas didekati dan diajak masuk ke rumah. Para bocah juga disuguhi makanan sembari diajak menonton video porno dari laptop. Namun tak semua anak-anak itu disodomi oleh DRP. “Pelaku pilih-pilih,” ujar Komisaris Besar Irman.
Hanya bocah yang bersih dan tampan yang diincar untuk disodomi. Sedangkan terhadap bocah-bocah yang dianggap kurang menarik, DRP melakukan perbuatan cabul seperti memegang alat vitalnya. Walaupun dicabuli, para bocah berusia 11-14 tahun itu tak kapok main ke kediaman DRP. Sebab, DRP rutin memberi mereka uang dan makanan.
Menurut Irman, DRP memiliki kelainan mencabuli bocah laki-laki karena pernah menjadi korban saat duduk di sekolah menengah pertama. Dari hasil pemeriksaan, kata dia, DRP juga tidak tertarik pada lawan jenis. Irman mengatakan perbuatan cabul DRP sudah dilakukan dua tahun belakangan. Atas perbuatannya itu, DRP terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Meski jumlah korban DRP ada puluhan dalam dua tahun terakhir, dari hasil konseling, hanya lima orang yang positif disetubuhi. “Lima orang ya dinyatakan menjadi korban total,” kata Mita Rofianti. Menurut dia, pendekatan konseling yang dilakukan tim psikolog tidak bisa cepat membuahkan hasil.
Pendampingan terhadap para korban ini tak hanya dilakukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan telah menerjunkan tim ke Bandung untuk melakukan investigasi atas kasus kekerasan seksual tersebut. “Kami akan memberi perlindungan apa saja yang mereka butuhkan, termasuk assessment kondisi medis dan psikologis para korban,” ujar Edwin.
Jika diperlukan, menurut dia, LPSK siap bekerja sama dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak setempat dalam pemberian bantuan rehabilitasi psikologis. “Kami juga akan memberi pendampingan langsung jika para korban melalui orang tua mengajukan restitusi,” ucapnya.
Edwin mengatakan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual ini menjadi prioritas lembaganya. Menurut dia, dalam setahun terakhir, jumlah korban kekerasan seksual yang ditangani lembaganya terus meningkat. Pada 2017, ada sekitar 104 bocah yang mengalami kekerasan seksual dan mendapat pendampingan LPSK. Setahun berikutnya, jumlah ini meningkat 150 persen, yakni 264 bocah. “Peningkatan itu barangkali karena kasus kekerasan seksual ini seperti gunung es. Yang tampak di permukaan sedikit. Lalu korban dan orang tua kini makin berani buka suara,” katanya.
Edwin mengatakan timnya yang telah terjun ke lapangan belum bertemu dengan keluarga korban lantaran mereka masih menutup diri. “Nanti kami reschedule,” ujarnya. Selain itu, bocah-bocah tersebut cenderung mulai menyalahkan Raffi karena videonya diketahui orang tuanya sehingga berbuntut laporan ke polisi. “Kami pelan-pelan akan memberi pemahaman kepada mereka.”
LINDA TRIANITA, AMINUDDIN A.S. (BANDUNG)
Jejak Asusila Pengasuh Asrama
Foto seorang istri pejabat pemerintah Bali dengan seorang kolega pria yang beredar di media sosial beberapa hari terakhir membuka kembali ingatan Siti Sapura. Mantan pendamping hukum Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) itu masih mengenali sosok pria di foto tersebut yang merupakan terduga pelaku pedofilia, Gus Indra Udayana.
Siti Sapura, yang biasa disapa Ipung, sempat menangani kasus dugaan perundungan seksual terhadap anak yang dilakukan pengasuh asrama Ashram Gandhi Puri Sevagram, Gus Indra Udayana, pada Maret 2015. Kala itu, Ipung diundang ke kediaman pakar gangguan jiwa, Ni Luh Ketut Suryani. “Saat itu ada seorang korban yang hadir, laki-laki, masih sekolah menengah atas,” kata Ipung, Kamis pekan lalu.
Saat pertemuan itu, korban—sebut saja Wisnu—bercerita mengenai pengalaman perundungan seksual oleh Gus Indra Udayana. Awalnya Wisnu diminta memijat Gus Indra. “Pijat dari kaki hingga ke paha, lantas terjadi seks oral. Selanjutnya sodomi,” ujar perempuan yang kini berprofesi sebagai advokat itu. Wisnu mengatakan ada tiga korban lain yang mengalami pola perundungan yang sama. Selama tiga tahun tinggal di asrama itu, Wisnu dan kawan-kawannya tak bisa berkutik.
Ashram Gandhi Puri Sevagram di Klungkung, Bali./ google maps
Ashram Gandhi Puri Sevagram di Kabupaten Klungkung memperbolehkan anak didiknya tinggal di luar asrama ketika akan memasuki perguruan tinggi. Kesempatan ini dimanfaatkan Wisnu dan tiga korban lain pada 2015. Rencana Wisnu keluar dari asrama dibantu seorang donor Ashram asal Amerika Serikat. “Seorang donatur Ashram asal Amerika ini tahu cerita soal empat anak tersebut,” ucap Ipung.
Donor ini kemudian mengajak Wisnu dan tiga temannya ke kediaman Ni Luh Ketut Suryani untuk mendapatkan perlindungan dan terapi. “Bahkan si donor siap menjadi saksi jika kasus ini dibawa ke polisi. Pernyataan itu ada di dokumen,” kata Ipung.
Duduk berhadapan dengan Suryani, Ipung sempat dimintai pendapat apakah kasus tersebut bisa dibawa ke ranah hukum. “Saya bilang sudah cukup bukti jika hendak dibawa ke polisi,” ujarnya. Ipung juga disodori empat dokumen. Salah satunya berisi permohonan maaf Gus Indra Udayana yang telah melakukan perundungan seksual terhadap anak. Namun Ipung tidak diperbolehkan mengambil foto dokumen tersebut oleh Ni Luh Ketut Suryani. “Katanya akan dikasih fotokopi.”
Hasil pertemuan itu juga menyepakati pengecekan ke rumah empat korban perundungan Gus Indra Udayana pada 2015 di wilayah Sidemen, Kabupaten Karangasem. “Namun, sehari sebelum jadwal keberangkatan, acara malah batal,” ucapnya.
Ipung belakangan baru mengetahui, sebelum jadwal keberangkatan ke Sidemen, ternyata ada pertemuan di rumah seorang tokoh Bali, I Gusti Ngurah Harta, di Jalan Tukad Citarum, Renon, Denpasar. “Saat pertemuan itu diperlihatkan video Gus Indra Udayana memohon kepada Ngurah Harta agar kasusnya tidak dibawa ke polisi,” ujar perempuan yang mengundurkan diri dari P2TP2A Kota Denpasar pada Januari 2017 itu.
Saat dimintai konfirmasi ihwal pertemuan itu, Ngurah Harta tak merespons pesan WhatsApp ataupun panggilan Tempo. Sedangkan Suryani membenarkan adanya pertemuan itu. “Hanya satu korban yang menjalani terapi dengan saya,” katanya.
Batalnya rencana ke Sidemen tidak membuat Ipung menyerah terhadap kasus ini. Ia lantas mengkonfirmasi Kepala Subdirektorat IV Direktorat Kriminal Umum Kepolisian Daerah Bali Ajun Komisaris Besar Sang Ayu Putu Alit Saparini. “Katanya tidak ada laporan atas kasus pelecehan anak yang dilakukan Gus Indra Udayana,” tutur Ipung.
Padahal Ipung mendengar kasus perundungan seksual yang dilakukan Gus Indra tidak hanya terjadi pada 2015, tapi juga pada 2008. Pada peristiwa sepuluh tahun lalu itu, korbannya lebih banyak, 12 anak. Para korban ini juga melarikan diri dari asrama hingga kemudian ditampung di kediaman salah satu politikus Bali. Menurut Ipung, kasus Gus Indra susah diungkap lantaran kedekatan aktivis di bidang sosial keagamaan itu dengan para pejabat. “Sejak saat itu, saya berharap suatu saat bisa mengungkap kasus ini,” ujarnya.
Ipung mendapatkan setitik harapan karena kasus dugaan perundungan anak 2015 kembali ramai. Saat itu ada unggahan istri seorang pejabat Bali di Facebook yang menuai banyak respons. Ramainya kembali dugaan perundungan seksual ini membuat tim Polda Bali turun tangan. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali Komisaris Besar Hengky Widjaja mengatakan tim Kepolisian RI masih melakukan pencarian saksi terkait dengan kasus tersebut. “Penyidik masih mencari dan mengumpulkan keterangan masyarakat,” kata Hengky.
Adapun Gus Indra Udayana belum diperiksa karena masih di India. Saat dimintai konfirmasi ihwal dugaan sodomi itu, Gus Indra membantahnya. “Selama itu tidak benar, saya yakin kebenaran yang benar,” ujarnya saat dimintai konfirmasi melalui pesan Facebook.
LINDA TRIANITA, MADE ARGAWA (BALI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo