Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Anak Tiri Aturan Ganti Rugi

Korban pelanggaran hak asasi manusia tak kunjung memperoleh kompensasi dari negara. Terganjal proses hukum yang mandek.

17 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Korban pelanggaran HAM berat tak jelas nasibnya dalam memperoleh kompensasi.

  • Proses pengajuannya berbelit dan harus sudah ada proses hukum.

  • Kasusnya mandek di Kejaksaan Agung.

TERBITNYA peraturan mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada saksi serta korban kejahatan sempat menyejukkan hati Bedjo Untung. Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 itu berharap, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018, negara akan mengganti kerugian yang diderita korban pelanggaran hak asasi manusia.

“Awalnya kami ikut senang. Ternyata, setelah kami lacak, itu hanya untuk perkara HAM yang diadili dan untuk korban terorisme,” kata Bedjo saat ditemui di kediamannya di Tangerang, Banten, pada Jumat, 16 Oktober lalu.

Bedjo menganggap aturan tersebut tidak adil. Meski sudah dinyatakan sebagai kejahatan kemanusiaan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kasus pembunuhan 1965-1966 hingga kini tak jelas kelanjutan proses hukumnya. Kasus macet di Kejaksaan Agung. Mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk membentuk pengadilan ad hoc tak pernah terwujud. “Kalau negara sungguh-sungguh, harusnya dibentuk pengadilan HAM ad hoc,” ujar pria yang dipenjara rezim Soeharto pada 1970-1979 tersebut.

Empat puluh tahun lalu, Bedjo ditangkap oleh tentara. Bedjo yang saat itu masih berusia 17 tahun dituding sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Bedjo muda langsung dijebloskan ke penjara Komando Daerah Militer Jayakarta selama satu tahun, kemudian dipindahkan ke Rumah Tahanan Khusus Salemba, Jakarta, dan dikurung di sana satu tahun juga. Ia dipindahkan lagi ke rumah tahanan Tangerang dan mendekam di sana selama tujuh tahun. Selama diterungku, Bedjo mengaku disiksa, diberi makan seadanya, dan menjalani kerja paksa. Semuanya tanpa proses hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) Bedjo Untung di kediamannya, Kota Tangerang, Banten. Jumat, 16 Oktober 2020./TEMPO/ Linda Trianita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bedjo menuduh pemerintah sengaja menggantung kelanjutan penanganan kasus 1965-1966. Proses hukum sampai ke pengadilan seperti yang diinginkan para korban, kata dia, bukan hanya untuk memperoleh kompensasi. Tapi ia dan para korban menginginkan ada penyelesaian kasus HAM yang adil sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo saat berkampanye dalam pemilihan presiden 2014. Bedjo mengirimkan berkas yang berisi temuan kuburan massal korban tragedi 1965-1966 di 356 lokasi kepada pemerintah pada Maret lalu. “Saya ingin membuktikan kejadian ini tidak main-main,” ucapnya. 

Dia mengatakan korban pelanggaran HAM berat memang sudah ada yang menerima layanan medis. Bedjo sendiri mendapat layanan tersebut dari LPSK pada 2012 selama dua tahun. Pendamping korban saat berobat juga mendapat uang makan dan transportasi. Belakangan, ia mendengar keluh-kesah dari para korban bahwa kualitas pelayanan kesehatan makin menurun.

Kini, korban hanya mendapatkan pelayanan medis selama enam bulan. Jika masih sakit, LPSK akan memperpanjang pelayanan untuk enam bulan berikutnya dan mengikutsertakan mereka dalam layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. LPSK hanya menanggung iuran itu pada tahun pertama. “Sesudah itu, korban yang harus melanjutkan iuran,” ujar Bedjo.

Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan kompensasi untuk korban pelanggaran HAM berat memang belum bisa diwujudkan karena terhambat aturan bahwa harus ada proses hukum di pengadilan. Dia mengatakan lembaganya baru bisa memberikan layanan medis, psikologis, dan rehabilitasi sosial sesuai dengan mandat Undang-Undang LPSK.

Sejak 2012 hingga September 2020, Hasto menyebutkan, LPSK telah memberikan layanan medis kepada 3.832 korban pelanggaran HAM. Rinciannya, sebanyak 3.718 korban peristiwa 1965-1966; 8 korban penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998; 11 korban kasus Talangsari, Lampung, pada 1989; 14 korban peristiwa Jambu Keupok di Aceh pada 2003; 46 korban peristiwa Rumoh Geudong, Aceh, pada 1989-1998; dan lainnya.

Hasto mengatakan bantuan medis untuk para korban memang hanya diberikan selama dua tahun. Dulu, layanan kesehatan itu sepenuhnya dibiayai oleh LPSK. Tapi aturan tersebut direvisi pada 2014. Perubahannya, satu tahun dibiayai LPSK, setahun berikutnya melalui BPJS kelas 1. “Ini karena keterbatasan anggaran,” ucap Hasto.

Pemberian layanan kesehatan ini, kata Hasto, sempat ditentang kelompok Islam dan Tentara Nasional Indonesia. “Sampai sekarang masih tarik-menarik dan harus dicarikan solusi,” tuturnya.

Hasto Atmojo Suroyo./TEMPO/STR Magang/ Wildan Aulia Rahman

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mohammad Choirul Anam, menyatakan lembaganya mendorong adanya kompensasi untuk korban meski belum ada putusan pengadilan. Hal ini penting karena kasus pelanggaran HAM berat sulit bergulir ke persidangan. Lagi pula, kata Anam, pelanggaran HAM tersebut buah dari kebijakan negara pada masa lalu. Jadi, negara wajib memberikan kompensasi kepada korban tanpa menunggu proses hukum di pengadilan.

Anam juga mengatakan pemberian kompensasi itu mesti disertai dengan pengakuan atas peristiwa kejahatan HAM berat tersebut dan rehabilitasi bagi korban. Hal tersebut diserap Komnas HAM dari para korban saat mendampingi mereka. “Ini menjadi permintaan serius,” kata Anam.

Dia pernah berjumpa dengan salah seorang korban peristiwa 1965 yang sudah renta. Menurut Anam, perempuan itu ingin nama baiknya dipulihkan sebelum ia meninggal. “Supaya tidak ada stigma terhadap keluarganya. Ia tidak pernah berbuat apa-apa, diambil di rumah, ditahan, dan tidak pernah diadili,” ujarnya.

Anam menilai, belakangan ini upaya untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu semakin suram. Ada kecenderungan penyelesaiannya hanya dilakukan dengan memenuhi hak korban, tapi tidak menyelesaikan kasusnya. Contohnya dalam penyelesaian peristiwa Talangsari. “Hak korban diberikan, lalu disampaikan kepada korban kasusnya tidak usah diteruskan, ditutup saja. Hak korban dijadikan instrumen untuk impunitas,” katanya.

Linda Trianita
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus