Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETERGANTUNGAN yang sangat tinggi pada bahan baku obat dari luar negeri mendorong pemerintah menetapkan pengembangan obat herbal sebagai salah satu Prioritas Riset Nasional 2020-2024. Meski Indonesia kaya akan potensi herba, jumlah obat yang berstatus fitofarmaka alias setara dengan obat kimia karena sudah lulus uji praklinis dan klinis baru 24. Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang P.S. Brodjonegoro menjelaskan kendala pengembangan fitofarmaka dan rencana pemerintah mendukung pengembangan obat herbal yang diberi nama Obat Modern Asli Indonesia. “Kalau pemerintah diam saja, memang susah sekali (pengembangannya),” kata pria 54 tahun itu dalam wawancara dengan Abdul Manan, Mahardika Satria Hadi, dan Zacharias Wuragil dari Tempo, Selasa, 6 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengembangan obat berbahan herba menjadi salah satu prioritas riset nasional. Apa urgensinya dan apa rencananya?
Bahan baku obat kita 95 persen impor, khususnya yang bahan baku kimia. Bahan baku ada dua, kimia dan herba. Yang harus kita impor yang kimia. Sebab, industri kimia kita belum bisa menghasilkan substansi yang dibutuhkan untuk bahan baku obat. Industri dasarnya ada, tapi industri turunannya yang belum ada. Nah, apa kita mau berinvestasi besar-besaran untuk industri turunan atau menggunakan apa yang ada di depan kita, milik kita, biodiversity? Itu sumber untuk obat herbal. Tinggal bagaimana penelitiannya. Prioritas kita menghasilkan sebanyak mungkin Obat Modern Asli Indonesia. Tapi kita akui obat ini memang risetnya butuh waktu lama, terutama uji klinisnya. Sebab, obat ini harus aman dan, yang paling penting, manjur. Otomatis riset obat ini tidak bisa instan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai sekarang baru ada 24 yang berstatus fitofarmaka. Apa kendalanya?
Kalau lihat pabrik-pabrik besar di luar negeri, mereka sudah mulai menggunakan herba. Kenapa di kita masih sedikit? Pertama, memang risetnya tidak mudah. Kedua, kalau di laboratorium dibuktikan berhasil, masih ada tahap uji klinis. Selain lama, mahal. Ini yang barangkali menjadi kendala. Karena itu, kami memasukkan Obat Modern Asli Indonesia ini sebagai prioritas riset nasional. Bantuan pemerintah ada bukan hanya saat riset, tapi sampai uji klinis, meski itu sebenarnya tanggung jawab perusahaan. Kalau bisa dibantu pemerintah, lebih baik. Kalau, misalnya, insentif berupa triple tax deduction (untuk perusahaan obat herbal) itu jalan, akan lebih bersemangat lagi.
Bagaimana mengatasi soal sedikitnya dokter yang meresepkan fitofarmaka? Angka permintaannya juga rendah karena tidak masuk Formularium Nasional dan belum dipakai oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan?
Ya, betul sekali. Ini langkah pertama yang akan kami lakukan. Soal ini kan di tangan Menteri Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Waktu itu yang sudah jadi instruksi presiden adalah segera masuk daftar BPJS Kesehatan. Karena itu jadi kunci dokter mau memakainya. Kedua, pengalaman kita saat bikin alat kesehatan dan obat, harus mulai mencari siapa penggunanya. Jadi jangan berharap akan langsung ada pengadaan di kementerian. Harus ada pendekatan langsung ke pemakai.
Apakah ada pengaruh dari baru masuknya fitofarmaka dalam pengajaran di universitas pada rendahnya angka peresepan obat herbal ini?
Tenaga farmasi kita sudah well-informed soal obat herbal. Yang harus mereka lakukan pertama adalah melakukan ekstraksi dari potensi herba yang ada, agar ketahuan ini bisa jadi calon obat. Tugas dokter pada pemakaian. Memang harus kita akui bukan masalah bagaimana (obat herbal) diajarkan di universitas, tapi soal kebiasaan. Sekali dokter pakai obat tertentu, perusahaan farmasi tinggal merem saja. Sebab, dia tahu kalau dokter ngasih obatnya, sekian unit pasti terbeli. Ini yang harus diperbaiki. Saya juga melihatnya ke strategi marketing. Memang harus ada gerakan di bidang kesehatan untuk memanfaatkan biodiversity untuk keperluan obat. Banyak orang mengatakan laut dalam merupakan sumber obat masa depan, bukan lagi tanaman di permukaan. Ini kesempatan besar lagi karena Indonesia negara dengan kekayaan biodiversity terbesar di dunia.
Bagaimana mengatasi soal harga jual yang masih lebih mahal dibanding obat kimia?
Kuncinya pada skala produksi. Karena itu, masuk BPJS Kesehatan itu penting. Supaya ada permintaan lumayan besar di awal. Kalau kita bicara inovasi di dunia, pihak pertama yang harus bisa melancarkan inovasi adalah pemerintah, melalui pengadaan di awal. Pengadaan di awal bertujuan menciptakan market yang lebih konsumtif. Setelah itu, baru bisa memproduksi dalam jumlah lebih besar karena permintaan meningkat. Kalau pemerintah diam saja, memang susah sekali.
Apa saja yang akan dilakukan pemerintah untuk membuat industri obat herbal lebih menarik?
Dari sisi pemerintah, kami akan fasilitasi agar peneliti dan industri farmasi bisa klop, sepakat tentang apa yang mau dihasilkan, diproduksi. Juga mengkolaborasikannya dengan Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kedua, membuat standar uji klinis yang barangkali tidak membuat orang patah semangat duluan karena terlalu mahal dan terlalu panjang. Tentu kita menyadari bahwa uji klinis sangat penting dan tetap harus diikuti.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo