Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Pada beberapa pekan yang lalu, Ferdinand Hutahean diduga melakukan ujaran kebencian dalam cuitannya di Twitter yang menyebut bahwa Allahmu Lemah.
Ferdinand dijerat dengan Pasal 14 ayat 1 dan 2 Peraturan Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Di samping itu, Ferdinand dijerat juga dengan Pasal 45 ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU ITE dengan ancaman hukum 10 tahun.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net), Nenden Sekar Ayu, menilai bahwa kasus dugaan ujaran kebenciaan yang dituduhkan kepada Ferdinand belum memenuhi unsur pidana pada UU ITE.
“Kalau mengacu ke pedoman implementasi UU ITE, cuitan dari Ferdinand itu belum bisa menggunakan pasal 28 ayat 2 UU ITE,” kata Nenden, Selasa, 11 Januari 2022.
Gaduh Rencana Ibu Kota Negara
Dengan konteks dan materi yang berbeda, soal ujaran kebencian kembali mencuat terkait pernyataan Edy Mulyadi soal pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur.
Warga Kalimantan disebut telah memaafkan Edy Mulyadi atas pernyataannya yang diduga mengandung ujaran kebencian.
"Secara kemanusiaan (sudah dimaafkan), tapi secara moral dan adat serta hukum negara harus tetap dilanjutkan prosesnya," kata Juru bicara Aliansi Borneo Bersatu, Rahmad Nasution Hamka di gedung DPR, Kamis, 27 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Rahmad, Edy mesti menjalani hukuman adat dan pidana atas tindakannya. Edy dalam video yang beredar diduga menyebut bahwa Kalimantan Timur merupakan tempat jin buang anak. Ia kemudian meminta maaf atas pernyataannya tersebut.
Selanjutnya : Edy pun menghadapi sejumlah pelaporan...
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edy pun menghadapi sejumlah laporan. Rahmad mengatakan masyarakat Kalimantan marah karena merasa direndahkan oleh pernyataan Edy.
Anatomi Ujaran Kebencian di UU ITE
Seperti diketahui, pasal yang berkaitan dengan ujaran kebencian dalam UU ITE diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UU ITE, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Tujuan dari pasal tersebut adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat adanya informasi negatif yang provokatif. Dalam lingkungan masyarakat, isu SARA adalah suatu isu yang cukup sensitif dan untuk hukuman dari setiap ujaran kebencian akan dibedakan.
Namun, Pasal 28 ayat 2 dalam UU ITE tersebut menjadi banyak sorotan bagi banyak pihak. Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menyebutkan bahwa pasal ujaran kebencian dalam UU ITE adalah suatu pasal yang bermasalah, baik perumusan maupun implementasinya.
Dalam perumusannya, pasal ujaran kebencian dalam UU ITE mengandung berbagai permasalahan, seperti absennya unsur “hasutan untuk membenci” dalam rumusan pasal, definisi “antargolongan” yang tidak jelas, ketidakjelasan unsur “menyebarkan”, dan 6 part threshold ujaran kebencian tidak dimuat.
Sedangkan dalam implementasinya, ICJR menilai bahwa pasal (aturan ujaran kebencian) ini mengandung berbagai permasalahan. Seperti bisa menimbulkan kriminalisasi penghinaan individu, kriminalisasi pendapat terhadap pemerintah, masalah penafsiran unsur antargolongan, tidak terpenuhinya unsur “hasutan kebencian”, dan adanya relasi kuasa.
EIBEN HEIZIER
Baca : Warga Kalimantan Maafkan Edy Mulyadi, Aliansi Borneo: Hukum Harus Tetap Lanjut