Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Nyanyi Sumbang Bupati Subang

Bupati nonaktif Subang, Ojang Sohandi, mengaku menyetorkan uang dan kendaraan sport kepada penyidik Polda Jawa Barat. Agar tak terseret perkara korupsi.

27 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAPORAN penyelewengan dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Subang yang masuk ke Kepolisian Daerah Jawa Barat itu mengusik Bupati Ojang Sohandi. Sang Bupati pun buru-buru mengontak kenalannya yang bertugas di Bagian Intel dan Pengamanan Polda, Ajun Komisaris Besar Teddi Kusnandar. Ia meminta bertemu untuk berkonsultasi.

Ojang mengenal Teddi sejak 2013. Kala itu, wilayah tugas Teddi antara lain meliputi kawasan Subang. Keduanya sepakat bertemu di Trans Studio Mall, Bandung. Dalam perjumpaan pada awal Januari 2015 itu, Teddi mengajak Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Polda Jawa Barat Ajun Komisaris Besar Yayat Popon Rukhiyat.

Kepada kedua perwira polisi itu, intinya Ojang mengatakan tak mau terseret kasus korupsi dana BPJS tahun anggaran 2014. Setelah menyampaikan keinginannya, Ojang melebarkan obrolan. Ia rupanya tahu betul hobi Teddi menunggang sepeda motor trail. Ojang pun menyarankan Teddi mengganti sepeda motornya dan menawari dia kendaraan baru. Kala itu Teddi setuju asalkan Yayat dibelikan trail juga. Beberapa hari kemudian, motor trail KTM 250 cc seharga Rp 120 juta, yang dipesan dari SND Racing Cimahi, tiba di rumah Teddi dan Yayat.

Ojang menyampaikan cerita itu ketika diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada Mei lalu. "Nyanyian" Ojang di kawasan Kuningan itu terdengar hingga Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo. Pada Selasa awal Juni lalu, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri memeriksa Ojang. "Pak Ojang memberi keterangan kepada Propam sesuai dengan berita acara pemeriksaan KPK," kata Rohman Hidayat, kuasa hukum Ojang, Senin pekan lalu.

Ojang sudah hampir tiga bulan menjadi tahanan KPK. Ia menyandang status tersangka dalam tiga perkara: suap kepada jaksa, gratifikasi, dan pencucian uang.

Di samping untuk Teddi dan Yayat, Ojang mengaku membelikan sepeda motor trail untuk Kepala Kepolisian Resor Subang Ajun Komisaris Besar Agus Nurpatria. Kepala Polres, kata Ojang kepada penyidik, juga sempat mengutarakan keinginan dia memiliki mobil Nissan Navara. Kebetulan, ketika berkunjung ke rumah Agus, Ojang pernah menunggang Nissan Navara.

Ojang telah meminta Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Besta Besuki mencari Nissan Navara bekas untuk Agus agar harganya lebih murah. Penyidik KPK memeriksa Besta pada Selasa pekan lalu. Seusai pemeriksaan, Besta bergegas pergi meninggalkan gedung kpk. Wartawan tak sempat memberondong dia dengan pertanyaan.

Kasus yang menyeret Ojang bermula dari penangkapan jaksa Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Deviyanti Rochaeni, pada April lalu. Tim KPK menangkap Devi setelah ia menerima uang suap dari Ojang, yang dikirim melalui Lenih Marliani. Menurut Ojang, ia menyerahkan uang besel agar namanya tak disebut dalam tuntutan perkara korupsi dana BPJS. Suap Rp 600 juta itu juga untuk meringankan tuntutan bagi dua terdakwa kasus ini, yakni bekas Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Subang Jajang Abdul Kholik dan bekas Kepala Dinas Kesehatan Subang Budi Subiantoro. Lenih adalah istri Jajang.

Bersama Ojang, ada empat tersangka lain dalam perkara suap ini. Mereka adalah Jajang, Lenih, dan dua jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat: Devianti dan Fahri Nurmalo. Seperti halnya Ojang, Jajang dan istrinya disangka sebagai pemberi suap. Sedangkan dua jaksa disangka sebagai penerima suap.

Dijerat pasal berlapis, Ojang mengajukan diri sebagai justice collaborator alias pelaku yang siap membantu penegak hukum membongkar kejahatan. Kepada penyidik KPK, Ojang telah bercerita panjang-lebar. Ojang juga membeberkan pernah membayar biaya perbaikan dan perakitan mobil off road untuk Yayat seharga Rp 200 juta. "Kuitansi pembayaran langsung dikirim ke rumah Pak Ojang, mau tidak mau harus dibayar," ujar Rohman.

Ojang pun mengaku telah mengeluarkan duit Rp 1,4 miliar untuk penyidik Polda Jawa Barat. Ceritanya, menurut Ojang kepada KPK, bermula dari tawaran penyidik agar Jajang dan Budi menggunakan jasa advokat Nur Kholim. Ojang menyetujui saran itu. Lewat Nur Kholim, pada September 2015, penyidik menyarankan agar Ojang "menitipkan" uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 1,4 miliar kepada Polda. Kala itu, total kerugian negara perkara ini masih dalam penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan. Belakangan, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyebut kerugian negara sekitar Rp 4,7 miliar, dari total dana pengembalian klaim BPJS sebesar Rp 41 miliar.

Jika Ojang mau "menitipkan" uang pengganti kerugian negara, Nur Kholim menjanjikan Ojang tak akan menjadi tersangka. Adapun dua pejabat dinas kesehatan yang telanjur jadi tersangka dijanjikan mendapat keringanan hukuman. Ojang sempat menanyakan alasan duit disetorkan ke penyidik Polda, bukan langsung ke kas negara. Kala itu Nur Kholim menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan penyidik. Selanjutnya, penyidik yang akan menyetorkan ke kas negara. Akhirnya Ojang pun setuju. Sampai tahap ini, Ojang masih aman. "Pak Ojang tak pernah dipanggil penyidik Polda untuk diperiksa," kata Rohman.

Duit Rp 1,4 miliar mengalir lewat Nur Kholim dalam dua termin. Pertama, Ojang menyerahkan uang Rp 1 miliar di Hotel Panghegar, Bandung, pada Oktober 2015. Penyerahan kedua, sebesar Rp 400 juta, berlangsung di Hotel Hyper Pascal, Bandung, pada 6 November 2015. Tak lama kemudian, Ojang mendapat laporan dari Nur Kholim bahwa duit sudah sampai ke tangan penyidik Polda. Namun kala itu Nur Kholim tak memberi tahu nama penyidiknya.

Sepekan setelah pemberian duit kedua, Kepala Polres Subang Ajun Komisaris Besar Agus Nurpatria memberi tahu Ojang soal operasi tangkap tangan KPK yang gagal. Target operasi itu adalah penyidik Polda Jawa Barat dan Nur Kholim. Ojang mendengar info yang sama dari Nur Kholim.

Beberapa hari kemudian, Ojang bertemu dengan Direktur Kriminal Khusus Polda Jawa Barat Komisaris Besar Wirdhan Denny di ruangan Kepala Polres Subang. Dalam pembicaraan itu, mereka semula membahas demonstrasi buruh. Belakangan, Wirdhan bertanya tentang kabar operasi tangkap tangan KPK yang gagal. Ojang menjawab sudah tahu hal itu. Ia pun menjelaskan duduk perkara duit Rp 1,4 miliar. Wirdhan lantas menyarankan Ojang mengambil kembali uang tersebut.

Ketika dimintai konfirmasi, Wirdhan malah balik bertanya. "Anda dapat info itu dari mana?" ujarnya Rabu pekan lalu. "Kalau tidak menyebutkan dari mana, saya tidak akan menjawab," tutur Wirdhan, yang kini menjabat Kepala Bagian Penyusunan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri.

Sepekan setelah Ojang bertemu dengan Wirdhan, ajudan Bupati dikontak seorang kepala puskesmas di Subang. Sang penelepon menyampaikan pesan bahwa sekretaris Nur Kholim, Idar, ingin berbicara tentang operasi KPK yang gagal. Hari itu juga Ojang bertemu dengan Idar. Ojang menanyakan uang Rp 1,4 miliar itu. Kala itu Idar hanya menyebut duit berada di tempat yang aman.

Ternyata, hingga Desember 2015, Ojang tak kunjung menerima uang tersebut. Baru pada Februari 2016, Ojang menerima uang titipan Nur Kholim melalui seorang kepala puskesmas. Itu pun jumlahnya hanya Rp 200 juta. Belum sempat menerima sisa uang dari Nur Kholim, pada April lalu Ojang keburu diciduk KPK. "Karena uang Rp 1 miliar sudah diterima penyidik Polda, saya tak berani meminta kembali," kata Ojang kepada penyidik KPK.

Menurut Rohman, Ojang tak hanya melontarkan tuduhan. Ia juga telah menyampaikan sejumlah bukti kepada KPK. Antara lain berupa faktur pembelian sepeda motor trail, biaya bengkel mobil off road, dan kuitansi penyerahan uang lewat Nur Kholim. "Semua itu sudah di tangan penyidik KPK," ujar Rohman.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang membenarkan adanya pengakuan Ojang kepada penyidik KPK. "Kami dalami dulu," kata Saut. Penyidik KPK masih menelusuri sisa duit Rp 1,2 miliar yang katanya telah disetorkan Ojang. "Yang saya pahami, uang untuk ganti rugi dan gratifikasi itu terpisah," tutur Saut. Adapun pengakuan Ojang mengenai sepeda motor trail untuk polisi, menurut Saut, sedang ditelusuri Propam Polri. "Kami masih mengkaji dan mendalami. Nanti bisa kami yang tangani atau selesai di institusinya," ucap Saut.

Penyidik Propam Polri, Komisaris Besar Wakiya, mengatakan pemeriksaan kasus ini masih berlangsung. Namun ia tak mau membeberkan secara detail. "Masih lanjut. Maaf, saya tak bisa berkomentar," kata Wakiya, Selasa pekan lalu.

Adapun Teddi Kusnandar tak membantah ataupun membenarkan ketika dimintai konfirmasi. "Maaf, langsung konfirmasi ke Krimsus yang menanganinya, ya," ujar Teddi melalui pesan elektronik, Rabu dua pekan lalu. Sementara itu, Yayat yang dimutasi ke Polres Lahat, Sumatera Selatan, sejak awal 2016 juga belum bisa dimintai tanggapan. Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Barat Komisaris Besar Yusri Yunus, Yayat sudah diberhentikan dari jabatan Kepala Polres Lahat. "Ia ditarik ke Mabes Polri dalam rangka pemeriksaan," tutur Yusri.

Nur Kholim juga belum bisa ditemui. Pekan lalu, Tempo dua kali menyambangi kantor Nur Kholim di bilangan Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Kantor itu tampak sepi. Pintunya selalu tertutup rapat. Seorang penjaga kantor bernama Boy mengatakan Nur Kholim sudah lama tak masuk kantor. "Dulu, setiap kali ada klien sidang selalu ngantor. Kalau tak salah sekarang dia di luar kota," ujar Boy. Ia mengaku tak tahu di kota mana Nur Kholim berada.

Kepala Polres Subang Agus Nurpatria juga belum bisa dimintai tanggapan. Tempo beberapa kali mendatangi kantor Agus. Namun beberapa anak buah dia selalu menyebut sang komandan tak ada di tempat. Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat Polres Subang Ajun Komisaris Darmono mengatakan tak tahu informasi bahwa komandannya pernah menerima motor trail dan meminta mobil kepada Ojang. "Itu ranah penyidik KPK," ujar Darmono.

Linda Trianita, Iqbal Tawakal Lazuardi (Bandung), Nanang Sutisna (Subang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus