Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Setelah Warakawuri Berpulang

Komando Daerah Militer Jakarta Raya mengosongkan 570 rumah negara di DKI Jakarta sejak 2015. Ada yang sudah berstatus hak milik.

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kodam Jaya gencar mengosongkan rumah negara bekas prajurit dalam lima tahun belakangan.

  • Pemerintah di masa lampau diklaim memotong gaji sebagian tentara untuk membayar rumah yang ditempatinya.

  • Anak-anak purnawirawan melawan Kodam Jaya.

DESI Atmanto memperhatikan sejumlah tentara yang sedang mengangkat perabot ke dalam truk. Ia bersiap meninggalkan rumahnya di Kompleks Perwira Angkatan Darat (KPAD) Jatiwaringin, Jakarta Timur, Kamis siang, 27 Februari lalu. “Sebelumnya saya berharap ada mukjizat agar bisa mempertahankan rumah ini,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu Komando Daerah Militer Jayakarta bermaksud mengosongkan sepuluh rumah di KPAD Jatiwaringin. Mereka mengirim puluhan personel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dan belasan truk untuk membantu penghuni lama mengeluarkan isi rumah. Tugas mereka menjadi lebih ringan karena tiga penghuni sudah beres-beres sendiri beberapa hari sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain dibantu tentara, Desi dibantu berkemas oleh sejumlah tetangganya. Rencananya ia akan menempati sebuah rumah di Cinere, Depok, Jawa Barat. Ia membawa serta seluruh barang dan perabot ke sana.

Desi menempati rumah di KPAD sejak 40 tahun lalu. Ayahnya seorang purnawirawan TNI Angkatan Darat berpangkat brigadir jenderal. Pada 2014, ayahnya meninggal. Desi dan keluarganya tetap menempati rumah itu bersama ibunya. Sementara itu, dua saudara kandungnya menempati rumah sendiri bersama keluarga masing-masing.

Ibunya wafat pada 2018. Beberapa bulan setelahnya, Desi menerima surat peringatan pertama dari Kodam Jaya agar segera meninggalkan rumah di atas tanah seluas 400 meter persegi itu. Ia menerima surat peringatan ketiga, dua bulan kemudian. Kodam berencana menyerahkan rumah itu kepada perwira lain. “Mereka tak berhak lagi tinggal di sana,” kata Kepala Urusan Opini Media Cetak Kodam Jaya Kapten Zulhamsah Siregar.

Proses eksekusi Rumah Cijantung 2, Februari 2017./twitter.com/Forum Cijantung 2

Desi menyesalkan penggusuran itu karena ia tengah menunggu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Sebanyak 47 penghuni KPAD menggugat kepemilikan dan ganti rugi penarikan rumah oleh Kodam Jaya. Mereka berharap tak ada upaya pengosongan rumah selama proses di pengadilan masih berlangsung. “Tapi kami bisa apa, yang dihadapi adalah penguasa,” ucapnya lirih.

Kodam Jaya tengah gencar “menertibkan” rumah negara bekas tentara, beberapa tahun belakangan. Sejak 2015, Kodam Jaya sudah mengosongkan sekitar 570 rumah negara di DKI Jakarta. “Sebanyak 45 di antaranya dikosongkan saat masih berstatus sengketa di pengadilan,” kata Ketua Umum Koalisi Anak Bangsa Peduli Jasa Pahlawan, Aa Auliasa Ariawan, Jumat, 28 Februari lalu.

Auliasa sedang mempertahankan rumahnya di Kompleks Pertahanan dan Keamanan Slipi, Jakarta Barat. Bersama sebelas warga kompleks lain, ia menggugat kepemilikan rumah ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Berbeda dengan Kodam Jaya, Markas Besar TNI belum memaksa Auliasa dan teman-temannya mengosongkan rumah. “Dalam hal ini, Mabes TNI lebih taat hukum ketimbang Kodam Jaya,” ujarnya.

Ia menyebutkan Kompleks Hankam Slipi berdiri sejak 1966. Saat itu, Panglima Angkatan Darat melarang perwira tinggal di hotel karena uang negara menipis. Mereka menerima dua pilihan: menerima uang pesangon agar keluar dari hotel atau pesangon untuk membangun rumah. Para purnawirawan penghuni Kompleks Hankam adalah prajurit yang memilih opsi kedua.

Auliasa menyebutkan orang tua mereka menerima pesangon Rp 750 ribu kala itu. Sebagian tentara, kata dia, menggunakan uang itu untuk membangun rumah di Kompleks Hankam. Ada 320 rumah di dalam kompleks. Mereka mengklaim memiliki bukti pembayaran dan pembangunan rumah. “Ini rumah hasil bekerja orang tua kami, bukan milik negara,” ujarnya.

Selain mengosongkan KPAD Jatiwaringin dan Kompleks Hankam Slipi, Kodam Jaya mengosongkan sepuluh rumah di Kompleks Kodam Jaya, Sumur Batu, Jakarta Pusat, pada Kamis, 30 Januari lalu. Seperti pengosongan di KPAD Jatiwaringin, Kodam Jaya mengerahkan puluhan tentara dan belasan truk untuk mengangkut harta benda para penghuni rumah lama.

Rencana pengosongan rumah di Sumur Batu sempat membuat penghuni kompleks tegang. Malam sebelum eksekusi, masyarakat menemukan tanda X warna merah dari cat semprot di pagar rumah yang akan dikosongkan. Walau begitu, pengosongan rumah berjalan lancar tanpa ada perlawanan dari warga kompleks.

Perlawanan paling keras muncul dari penghuni Kompleks Perumahan TNI di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Saat pengosongan pada 2017, Kepolisian Resor Jakarta Selatan menangkap empat orang yang dituduh sebagai provokator. Saat itu, warga kompleks berdemonstrasi dan sempat bentrok dengan sejumlah petugas yang akan mengeksekusi pengosongan.

Oper Huni Rumah Tentara/Tempo

Demonstrasi itu berulang pada awal Mei 2018. Warga perumahan TNI di Tanah Kusir menggelar unjuk rasa dan membakar ban di depan kompleks. Kodam Jaya sampai mengerahkan pasukan antihuru-hara untuk menghadapi pedemo. Meski metode perlawanan para penghuni kompleks tentara itu berbeda-beda, keyakinan mereka sama: rumah yang mereka huni berasal dari jerih payah orang tua masing-masing saat masih menjadi tentara.

Sejumlah penghuni Kompleks TNI di Tanah Kusir menunjuk Direktur Eksekutif Kantor Hukum Lokataru Haris Azhar untuk menghadapi Kodam Jaya. Haris dan timnya sedang berupaya membuktikan kepemilikan pribadi rumah di sana. Menurut dia, perumahan TNI di Tanah Kusir berdiri di atas tanah negara yang dikelola Badan Pertanahan Nasional.

Kesimpulan ini didapat setelah Haris menemukan delapan rumah yang memiliki sertifikat hak milik di kompleks tersebut. “Sertifikat mereka tertulis tanah di sana berasal dari tanah negara,” kata Haris. Karena itu, ia meyakini TNI tidak memiliki surat kepemilikan tanah di perumahan TNI di Tanah Kusir.

Haris juga mendampingi para penghuni perumahan sederhana TNI Angkatan Darat di Cijantung, Jakarta Timur. Berbeda dengan perumahan di Tanah Kusir, penghuni perumahan TNI Angkatan Darat di Cijantung memiliki bukti bahwa orang tua mereka sudah membayar rumah itu kepada negara. “Gaji tentara orang tua mereka dipotong tiap bulan untuk membayar rumah,” ucap Haris.

Namun Kodam Jaya tetap mengosongkan sepuluh rumah di sana pada November tahun lalu. Haris tengah menggugat pengosongan itu mewakili para penghuni perumahan.

Dalam berbagai kesempatan, Kodam Jakarta Raya menjelaskan bahwa pengosongan rumah negara itu berlandaskan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 39 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pembinaan Rumah Negara di Lingkungan Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Kapten Zulhamsah Siregar mengatakan mereka mengutamakan upaya persuasif untuk menghadapi keluarga bekas tentara. Menurut dia, hanya prajurit, purnawirawan, dan warakawuri--istri prajurit--yang boleh menempati rumah negara. “Anak-anak mereka tidak berhak,” ujarnya.

MUSTAFA SILALAHI, RIKY FERDIANTO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus