Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang pendeta di Intan Jaya tewas tertembak pada 19 September 2020, diduga dianiaya tentara Indonesia.
TNI dan Organisasi Papua Merdeka saling tuding soal pelaku penembakan atas masyarakat sipil yang terus bertambah.
Setahun terakhir, baku tembak antara pasukan TNI dan OPM terjadi nyaris setiap hari.
TIMOTIUS Miagoni terperenyak ketika mendapat kabar duka dari keluarga pendeta Yeremias Zanambani pada 19 September lalu. Hari itu dia mendapat kabar bahwa rekannya sesama pendeta tersebut tengah meregang nyawa dengan sejumlah luka tembak. Keesokan harinya, Yeremias dimakamkan di dekat rumahnya di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seusai pemakaman, Timotius, pendeta yang juga Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia Sugapa, bergerak cepat. Dia mengumpulkan informasi dari istri korban, Miriam Zoani, dan sejumlah saksi untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari nahas itu, Yeremias dan Miriam hendak memberi makan babi di kandang yang berjarak hanya sekitar 100 meter dari rumah mereka. Ketika hari beranjak petang, Miriam pulang lebih cepat karena harus memasak untuk anak-anak mereka. Yeremias menunggu di kandang lantaran dua babinya belum kembali. “Dia harus tunggu karena mau kasih makan,” ujar Timotius kepada Tempo pada Jumat, 2 Oktober lalu.
Saat berjalan pulang itulah Miriam berpapasan dengan empat personel Tentara Nasional Indonesia. Miriam mengenali salah satu prajurit TNI tersebut karena kerap menumpang makan dan mandi di rumahnya. Tentara ini, kata Timotius, sempat bertanya kepada Miriam apakah dia melihat ada pasukan Organisasi Papua Merdeka di dekat sana. Miriam menjawab tidak, lalu memberi tahu bahwa Yeremias masih berjaga di kandang menunggu dua babinya kembali. “Kemudian tentara berjalan ke arah kandang babi,” tuturnya.
Sejenak kemudian, cemas ketika langit mulai gelap dan suaminya belum pulang, Miriam menyusul Yeremias ke kandang babi. Di sana, dia terpekik: suaminya meregang nyawa dengan luka tembak di bagian betis dan luka tusuk di bagian leher.
Ketika itu, menurut keterangan Miriam kepada Timotius, Yeremias belum sepenuhnya kehilangan kesadaran. Kepada istrinya, Yeremias mengatakan pelaku penusukan dan penembakan terhadap dirinya adalah personel TNI yang sering mampir ke rumah mereka.
Bergegas mencari bantuan, Miriam pulang dan mendatangi sejumlah tetangga. Dengan panik, dia mengabarkan bahwa suaminya tertembak. Karena gelap, sebagian khawatir dan tidak berani menjemput Yeremias. Dua perempuan yang kebetulan ada di sekitar kandang babi, Yohana Bagubau dan Maria Maisini, menemani Yeremias. Mereka membersihkan luka dan darah yang mengalir di tubuh korban. Menurut Timotius, Yeremias meninggal pada pukul 12 malam.
Kepala Penerangan Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih, Letnan Kolonel Reza Nur Patria, mengatakan investigasi atas kasus penembakan Yeremias Zanambani masih berlangsung. Meski begitu, Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Kolonel Czi I G.N. Suriastawa, sudah memastikan pendeta Yeremias ditembak kelompok kriminal bersenjata pendukung Papua merdeka. Juru bicara Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Ahmad Mushtofa, juga menuding kelompok kriminal bersenjata mencari momen untuk menarik perhatian Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dua pekan simpang-siur, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan memutuskan membentuk tim pencari fakta untuk menyelidiki kasus ini. Tim ini dipimpin Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Benny Joshua Mamoto. Sejumlah tokoh masyarakat Papua ditunjuk menjadi anggota tim. “Kami akan mulai bekerja pada Senin mendatang,” kata Benny pada Jumat, 2 Oktober lalu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. membenarkan. Namun dia mengaku pemerintah kesulitan memeriksa jenazah Yeremias tersebab penolakan keluarga. Akibatnya, menurut Mahfud, sulit membuktikan tuduhan gereja bahwa Yeremias tewas di tangan aparat. Timotius Miagoni mengakui kabar penolakan keluarga untuk mengautopsi Yeremias. Namun keluarga akan mempertimbangkan jika autopsi dilakukan tim independen. “Kalau perlu melibatkan Majelis Rakyat Papua dan Komnas HAM,” ucap Timotius.
•••
PEMBUNUHAN terhadap pendeta Yeremias Zanambani menambah panjang daftar kekerasan di Papua. Tiga hari kemudian, di Nabire, seorang pendeta di Gereja Kemah Injil Klasis Wanggar Siloam SP2 bernama Alfred Gedei ditemukan meninggal dengan sejumlah luka di kepala. Sebelum ditemukan, Alfred menghilang ketika hendak mencari pakan ternak. Kepolisian menyatakan Alfred meninggal karena sakit epilepsi.
Di Kabupaten Nduga, konflik bersenjata juga terus terjadi dalam dua tahun terakhir. Akibat konflik ini, lebih dari 180 orang menjadi korban jiwa. Pada September 2019, kekerasan dan pembakaran juga meletus di Kabupaten Wamena. Akibat kejadian ini, 43 orang meninggal dan 6.784 orang mengungsi. Kasus ini bermula saat adanya salah dengar ujaran bernada rasial yang dilontarkan seorang guru kepada muridnya di Sekolah Menengah Atas PGRI 1 Wamena.
Kembali ke Kabupaten Intan Jaya, suasana terasa mencekam seusai insiden penembakan Yeremias Zanambani. Lima hari sebelum pembunuhan itu, dua tukang ojek bernama Anas Munawir dan Fathur Rahman diserang orang tak dikenal di Kampung Mamba, Distrik Sugapa. Tiga hari berselang, seorang anggota TNI, Serka Sahlan, ditembak di Kampung Bilogai, Distrik Sugapa, saat akan membawa logistik. Pada hari yang sama, seorang tukang ojek bernama Bahdawi juga ditembak kelompok tak dikenal.
Pagi hari sebelum pembunuhan terhadap Yeremias, terjadi baku tembak antara pasukan TNI dan kelompok pendukung Papua merdeka. Pertempuran itu terjadi di wilayah Pos Komando Rayon Militer Persiapan Distrik Hitadipa. Seorang anggota TNI, Pratu Dwi Akbar Utomo, tewas akibat luka tembak.
Mendiang pendeta Zanambani. istimewa
Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua, Frits Ramandey, menuturkan, Intan Jaya sebenarnya masuk kategori daerah hijau dalam konteks pertempuran antara TNI dan OPM. Namun situasi berubah sejak Oktober 2019. Pada 25 Oktober 2019, terjadi penembakan terhadap tiga tukang ojek bernama Rizal, 31 tahun; Herianto (31); dan La Soni (25). Pada 17 Desember 2019, dua personel TNI tewas setelah diserang kelompok bersenjata di Kampung Kulapa, Distrik Hitadipa.
Seusai rentetan kejadian ini, sejak Desember 2019 TNI menambah pasukan non-organik. Belum ada data yang jelas mengenai berapa jumlah anggota pasukan yang ditempatkan di kabupaten tersebut. Frits Ramandey mengatakan penambahan pasukan itu membuat suasana Hitadipa mencekam. “Masyarakat merayakan Natal dengan suasana yang tidak nyaman,” kata Frits. Kepala Penerangan Kodam Reza Nur Patria tidak menjawab pertanyaan Tempo soal jumlah pasukan non-organik TNI di Intan Jaya.
Seusai penambahan pasukan non-organik, kasus saling serang antara TNI dan OPM makin kerap terjadi. Pada 26 Januari lalu, terjadi kontak senjata yang menyebabkan satu orang pendukung Papua merdeka meninggal. Kontak senjata kembali terjadi pada 19 Februari di Kampung Gulanggama. Akibat baku tembak ini, seorang kepala suku bernama Kayus Sani, 51 tahun, dan seorang pelajar, Melki Tipagau, 11 tahun, tewas tertembak.
Kasus penembakan terhadap warga sipil kembali terjadi pada 23 Mei lalu. Dua tenaga kesehatan bernama Alemanek Bagau dan Heniko Somou ditembak kelompok tak dikenal. Heniko tewas akibat kejadian ini, sementara Alemanek menderita luka tembak. Menurut Frits, keduanya ditembak karena dituduh menjadi kurir TNI dan Badan Intelijen Negara.
Sepekan kemudian, seorang petani bernama Yunus Sani dibunuh kelompok bersenjata di Kampung Magataga. Penembakan kembali terjadi pada 15 Agustus lalu. Kali ini korbannya adalah seorang pedagang bernama Laode Zainudin di Kampung Bilogai, Distrik Sugapa. Akibat kejadian ini, Laode menderita luka di bagian bahu.
Timotius Miagoni, yang tinggal di Intan Jaya, mengatakan daerahnya kini seperti medan peperangan. Setiap hari personel TNI hilir-mudik di tengah kota. Nyaris sepanjang terang, selalu ada letusan tembakan dari arah pegunungan. Timotius mengatakan suasana mencekam mereka rasakan dalam setahun terakhir. “Setiap hari selalu ada baku tembak,” ujarnya.
WAYAN AGUS PURNOMO, AVIT HIDAYAT, BUDIARTI UTAMI PUTRI, ANDITA RAHMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo