Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cina berjanji akan menjadi negara bebas karbon sebelum 2060.
Ketergantungan Cina pada batu bara masih tinggi.
Transformasi ke energi bersih mutlak harus dilakukan.
AIR menetes-netes dari atap terowongan tambang batu bara Datai yang dingin di selatan Beijing pada Jumat, 2 Juli lalu. Wang Haijun berjalan menyusurinya. Laki-laki 40 tahun ini menengok kembali terowongan di belakangnya, air yang menetes, sebelum melanjutkan perjalanannya. Ini hari terakhir ia bekerja di sana setelah menghabiskan masa 18 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Datai menjadi tambang terakhir dari 270 tambang di Distrik Mentougou yang ditutup. Selama seratusan tahun, tambang itu menjadi nadi kehidupan penduduk Beijing. Lebih dari 30 persen batu bara yang dipakai ibu kota negara itu berasal dari Datai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pekerja kini punya pilihan pindah ke tambang lain atau keluar dari perusahaan tambang dengan pesangon. "Sangat sedikit yang mau pergi karena kami punya ikatan emosional dengan tambang ini," kata Wang kepada media Cina, CGTN.
Penutupan tambang ini merupakan bagian dari kebijakan Cina mengurangi polusi air dan udara akibat asap batu bara. Bank Dunia memperkirakan 16 dari 20 kota paling berpolusi di dunia ada di Cina. Pembakaran batu bara adalah sumber utama polusi udaranya.
Bank Dunia juga memperkirakan 40 persen sungai dan 90 persen air tanah Cina telah tercemar. Menurut studi Tsinghua University dan Health Effects Institute pada 2016, batu bara bertanggung jawab terhadap 40 persen materi partikulat (PM)2,5 di atmosfer Cina pada 2013. PM2,5 adalah partikel udara berukuran lebih kecil dari dua setengah mikrometer yang mengakibatkan gangguan kesehatan.
Pun soal krisis iklim. Cina menjadi negara paling polutif di dunia dengan produksi emisi 14,4 miliar ton setara CO2 pada 2020. Dalam pidatonya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 22 September 2020, Presiden Cina Xi Jinping berjanji meningkatkan komitmen dalam mengatasi perubahan iklim. Dia menyatakan negaranya akan mengambil kebijakan untuk mencapai puncak emisi karbon dioksida sebelum 2030 dan nol-bersih emisi sebelum 2060—meleset 10 tahun dari Kesepakatan Paris 2015.
Janji Presiden Xi ia tegaskan kembali saat bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada April lalu. "Keputusan strategis ini kami buat berdasarkan rasa tanggung jawab membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia dan kebutuhan kami untuk mengamankan pembangunan berkelanjutan," katanya.
Batu bara adalah "emas hitam" bagi negeri itu karena peran utamanya dalam memasok energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi selama 30 tahun terakhir. Menurut data Kementerian Ekologi dan Lingkungan Cina, pada 1950-an, batu bara memasok 90 persen energi dan terus bertahan di atas angka 60 persen hingga 2018.
Negeri itu menghasilkan 3,84 miliar ton batu bara pada 2020, terbesar sejak 2015. Hingga akhir tahun lalu, menurut kantor berita Cina Xinhua, sekitar 5.500 tambang batu bara tua ditutup. Pemerintah juga akan menutup sekitar 4.000 tambang secara bertahap hingga akhir 2025, sampai tersisa sekitar seribu tambang yang akan dilengkapi teknologi canggih untuk menekan polusi.
Pemerintah juga mendorong penggabungan perusahaan-perusahaan tambang batu bara menjadi 10 konglomerasi agar lebih efisien. Setiap perusahaan raksasa itu akan mampu memproduksi 100 juta ton batu bara per tahun, yang menyumbang sekitar 80 persen dari total produksi batu bara negara tersebut.
Jalan lain adalah memakai pembangkit listrik tenaga air, angin, dan matahari dalam skala besar. Pada 2019, menurut data Dewan Kelistrikan Cina (CEC), energi terbarukan menyumbang 54 persen dari total kapasitas energi Cina dan sisanya masih berbasis fosil.
Namun Cina masih sangat bergantung pada batu bara untuk menggerakkan 1.058 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), lebih dari separuh total kapasitas dunia. Bahkan, menurut Global Energy Monitor, negara itu kini sedang membangun PLTU baru dengan kapasitas 98.520 megawatt dan menyiapkan pembangkit lain berkapasitas 153.726 megawatt.
Menurut hitungan Reuters, konsumsi bahan bakar fosil Cina secara keseluruhan naik 0,6 persen pada 2020 dari tahun sebelumnya menjadi sekitar 4,04 miliar ton. Akibatnya, produksi emisi naik 1,7 persen pada 2020.
Tiongkok juga masih menjadi importir batu bara terbesar dunia. Asosiasi Batu Bara Nasional Cina mengumumkan konsumsi batu bara akan meningkat pada tahun ini. "Pemerintah pusat mengatakan akan terus menerapkan kebijakan fiskal proaktif dan kebijakan moneter yang hati-hati, dan sementara itu menawarkan dukungan yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi, yang akan mendorong permintaan batu bara pada 2021," demikian pernyataan asosiasi itu pada Maret lalu.
Untuk memenuhi kebutuhan, Cina menaikkan impor batu bara dari Rusia, Mongolia, dan Indonesia setelah Beijing menyetop kargo batu bara dari Australia sejak sekitar pertengahan tahun lalu. Impornya mencapai 303,99 juta ton pada tahun lalu, rekor tertinggi dalam seperempat abad terakhir.
Total konsumsi energi pada 2019 setara dengan 4,86 miliar ton batu bara, tujuh kali lipat dari 1980. Pada 2018, total energi yang berhubungan dengan emisi karbon mencapai 9,8 miliar ton. Pengurangan batu bara dalam skala besar akan berdampak pada perekonomian negeri berpenduduk hampir 1,4 miliar jiwa itu.
Menurut laporan World Resources Institute (WRI) pada Desember 2020, bila Cina konsisten mempertahankan tren emisi saat ini sesuai dengan Rencana Lima Tahun ke-14 (2021-2025), bukan tak mungkin janji Xi tercapai. Pada 2009, pemerintah Cina berjanji mengurangi 40–45 persen emisi karbon pada 2020 dari jumlah emisi karbon pada 2005.
Enam tahun kemudian, mereka berjanji menurunkan 60–65 persen emisi dibanding pada 2005. Data menunjukkan, intensitas karbon Cina turun 48,1 persen pada 2019 dibanding pada 2005, melebihi target 2020 dan lebih cepat dari jadwal. "Kemajuan ini meletakkan dasar yang kuat bagi Cina untuk mengusulkan dan mencapai tujuan iklim yang lebih ambisius," tulis WRI dalam laporannya.
"Berdasarkan pengalaman saya melihat target net-zero dari berbagai negara, target Cina sangat ambisius, kalau tidak bisa dikatakan hampir mustahil tercapai," kata Arief Wijaya, Manajer Senior untuk Iklim, Hutan, dan Lautan WRI Indonesia, kepada Tempo pada Jumat, 9 Juli lalu. "Untuk mencapai hal-hal yang mustahil ini kita juga perlu mencari solusi yang mustahil dan sangat ambisius."
Menurut Arief, sektor energi, termasuk transportasi, adalah faktor emisi terbesar Cina. Transformasi menuju energi bersih, efisiensi energi, dan transformasi radikal sektor transportasi menuju kendaraan listrik, kata Arif, menjadi sangat penting bagi Cina mencapai target nol-bersih emisi.
Kendala terbesar Cina dalam transformasi sektor energi, kata Arif, adalah aset mangkrak karena memensiunkan pembangkit listrik berbasis fosil. Dalam jangka pendek, hal ini akan menyebabkan penurunan pendapatan negara dan hilangnya lapangan pekerjaan.
Ini seperti halnya Wang Haijun yang bimbang apakah ia akan berhenti dari menambang batu bara atau mencari pekerjaan lain yang lebih ramah lingkungan. Air yang menetes di dalam terowongan batu bara itu mungkin akan makin banyak seiring dengan kebijakan Cina menghentikan konsumsi batu bara.
IWAN KURNIAWAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo