Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di bawah Presiden Xi Jinping, Cina menggenjot pembangunan infrastruktur besar-besaran
Cina juga berinvestasi dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dalam program Belt and Road Initiative.
Luberan barang modal Cina mengancam produsen lokal.
NOVI Basuki masih ingat kesigapan otoritas Cina memperbaiki jalan raya yang retak di depan kampusnya. Kandidat doktor dari Sun Yat-sen University, Guangzhou, Cina, tersebut melihat bagaimana jalan raya itu menjadi mulus kembali hanya sehari setelah laporan disampaikan. “Kerjanya memang cepat,” tutur pria asal Situbondo, Jawa Timur, itu kepada Tempo pada Kamis, 8 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecepatan memperbaiki jalan itu, menurut Novi, menggambarkan kemampuan dan sumber daya Cina dalam membangun infrastruktur. Jaringan jalan raya dan rel kereta api hingga ribuan gedung pencakar langit sudah mereka rampungkan. “Sekarang ibaratnya (mereka) sudah mentok mau bangun apa lagi. Akhirnya, mereka berekspansi ke investasi infrastruktur ke luar negeri,” ujar Novi, yang juga Pemimpin Redaksi Aseng.id, media daring atau online yang berfokus pada Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pidatonya pada perayaan 100 tahun berdirinya Partai Komunis Cina di Lapangan Tiananmen, Beijing, 1 Juli lalu, Presiden Cina Xi Jinping menyatakan akan terus mengembangkan pengaruh negaranya di dunia. Menurut Xi, Cina telah berada di jalur yang tepat dan bakal menentukan arah pembangunannya sendiri.
Xi memuji Partai Komunis Cina yang berhasil membantu warga negara itu keluar dari jurang kemiskinan dan penghinaan akibat intervensi negara Barat dan Jepang selama 100 tahun sebelum partai itu berdiri pada 1949. “Kita tidak akan pernah lagi dirisak, ditindas, atau dijajah negara lain,” ucap Xi, seperti dilaporkan media pemerintah Xinhua. “Siapa pun yang berani mencobanya bakal menabrak tembok baja yang ditempa 1,4 miliar orang.”
Di bawah komando Xi Jinping, yang juga menjabat sekretaris jenderal partai, Cina melesat dengan berbagai megaproyek infrastruktur dalam waktu cepat. Proyek kereta cepat menjadi salah satu simbol yang digunakan partai untuk menunjukkan kemampuan mereka mengintegrasikan wilayah yang tadinya sulit diakses, sekaligus memperluas pengaruh politik.
Olivia Cheung, peneliti dari School of Oriental and African Studies University of London, menyebut pembangunan itu juga menjadi bagian rencana Xi untuk “menyatukan pasar nasional yang besar” di Cina. “Sekaligus cerminan filosofinya dalam konsep pembangunan terkoordinasi,” ujarnya seperti dilaporkan CNN, akhir Mei lalu.
Kemampuan Cina membangun jaringan kereta cepat melampaui banyak negara yang sudah lebih dulu mengembangkan moda transportasi itu, seperti Jerman, Amerika Serikat, Jepang, dan Spanyol. Cina membangun kereta cepat pertama yang melayani rute Beijing-Tianjin pada 2008. Dalam 13 tahun terakhir, panjang jaringan rel kereta cepat sudah mencapai 38 ribu kilometer. Separuh dari total jalur itu bahkan dirampungkan dalam lima tahun terakhir.
Jalur kereta cepat sepanjang 180 kilometer dari Xuzhou ke Lianyungang yang dibuka pada Februari lalu bahkan menambah rute langsung sejauh hampir 3.500 kilometer, yang menghubungkan Provinsi Jiangsu dan Xinjiang. Proyek itu melengkapi jaringan jalur transportasi darat yang terdiri atas 5,1 juta kilometer jalan raya dan lebih dari 146 ribu kilometer rel kereta biasa.
Cina juga jor-joran membangun kota, apartemen, perumahan, dan fasilitas publik, terutama di kawasan pelosok atau berdekatan dengan kota yang sudah ramai dihuni. Targetnya adalah distribusi populasi, menyediakan hunian bagi penduduk, dan menjaga harga properti agar tidak melambung dimainkan para spekulan. Namun melimpahnya stok properti itu tidak diimbangi dengan kenaikan permintaan penduduk, meski harganya sudah rendah. “Banyak rumah dibangun tapi enggak ada yang mau beli,” kata ekonom Poltak Hotradero.
Lokasi kota-kota baru yang dirancang dapat menampung ratusan ribu penduduk itu akhirnya melompong hingga dijuluki “guicheng” alias “kota hantu”. Seperti dilaporkan Beijing Morning Post, lebih dari 64 juta unit apartemen sudah kosong dan tak lagi teraliri listrik setidaknya selama enam bulan. Pemerintah pun menjalankan berbagai strategi untuk “memancing” penduduk mengisi kota-kota baru itu, termasuk dengan memindahkan sekolah top ke sana.
Trik itu berhasil dilakukan di Kangbashi, kota baru di kawasan Ordos di dekat gurun Mongolia, setelah pemerintah memindahkan Sekolah Menengah Atas Nomor 1 Ordos. Sekolah ini menjadi favorit karena banyak lulusannya yang diterima di universitas papan atas di Beijing. Para guru pun dipindahkan dengan iming-iming potongan harga rumah baru hingga separuh. Harga apartemen yang tadinya jeblok mulai merangkak naik. “Ini bukan kota hantu lagi,” ujar seorang penjual properti, seperti dilaporkan Nikkei Asia pada April lalu.
Jejaring bisnis infrastruktur Cina meluas, termasuk lewat program Belt and Road Initiative (BRI) yang diinisiasi Xi pada 2013. Proyek ini adalah bagian dari rencana pemerintah menghidupkan kembali kemasyhuran rute perdagangan Jalur Sutra yang menghubungkan benua Asia, Eropa, dan Afrika. Cina mengucurkan investasi dan bantuan pembangunan infrastruktur di lebih dari 100 negara yang terkoneksi dengan rute ini.
Program jalur kereta cepat Jakarta-Bandung menjadi bagian dari kerja sama investasi Indonesia dan Cina dalam BRI. Pembangunan jalur kereta sejauh 142,3 kilometer itu dimulai pada 2015 dengan target memangkas waktu perjalanan dari tiga jam menjadi 40 menit. Proyek dengan nilai investasi mencapai US$ 6,07 miliar yang dikelola PT Kereta Cepat Indonesia China itu diperkirakan akan menjalani uji coba pada November 2022 dan beroperasi penuh pada 2023.
Pembangunan terowongan kereta cepat Jakarta Bandung di Sasaksaat, Kabupaten Bandung Barat, 3 Juni 2021. TEMPO/Prima Mulia
Pemerintah Indonesia telah menawarkan pengembangan BRI di empat koridor, yaitu di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan Indonesia bisa mendapatkan keuntungan besar dari BRI. “Indonesia dan Cina memiliki kepentingan yang sama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia,” tuturnya, seperti dilaporkan Antara.
Keputusan Cina berinvestasi di Afrika meningkatkan pengaruh ekonominya di kawasan tersebut. Novi Basuki menyebut Cina dan negara-negara di Afrika bisa cepat akrab karena kemudahan syarat dalam kerja sama dan investasi. Hal itu tidak didapat dalam kerja sama dengan negara Barat, yang umumnya mengajukan syarat ketat, terutama soal isu hak asasi manusia. “Cina masuk saja, enggak sampai membahas urusan hak asasi. Yang penting investasi dan kapitalnya mengalir,” ucap Novi.
Laporan Program Pembangunan Infrastruktur Afrika (PIDA) pada 2017 menyebutkan Cina telah mengucurkan hingga US$ 11 miliar untuk membangun jaringan jalan Trans-Maghreb di Afrika Utara. Jalur yang melintasi kawasan Sahara Barat hingga Libya itu menghubungkan 55 kota dengan populasi lebih dari 60 juta jiwa, 22 bandar udara internasional, universitas, dan rumah sakit. Jalur itu juga menghubungkan kawasan Afrika Utara dengan Eropa melalui pesisir Mediterania sehingga lalu lintas ekonomi kian terbuka.
Cina juga mendanai pembangunan jaringan jalan dan rel kereta senilai US$ 4 miliar yang menghubungkan dua negara di Afrika Timur, Ethiopia dan Djibouti, sejak 2018. Berkolaborasi dengan pemerintah Namibia dan Bank Pembangunan Afrika, Cina membangun pelabuhan dan memperluas terminal kontainer di kawasan Windhoek, yang menjadi akses strategis perdagangan ke Afrika bagian barat dan selatan. Seperti dilaporkan France24, proyek yang dikerjakan perusahaan Cina, China Harbour Engineering Company, itu menelan dana sekitar US$ 280 juta.
Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Yeremia Lalisang, menyebut benua Afrika merupakan wilayah penting bagi Cina, meski secara geografis jaraknya lebih jauh ketimbang Asia dan Eropa. Afrika ibarat pintu yang terbuka lebar bagi perusahaan Cina untuk memperluas jangkauannya. “Mereka mencari sumber daya dan pasar ke sana,” katanya.
Lokasi konstruksi sistem Transit Massal Rel Lagos yang dikerjakan bersama dengan Pemerintah Cina, di Lagos, Nigeria, Oktober 2013. REUTERS/Joe Penney
Dalam keterangan yang diterima Tempo, Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian menyatakan bahwa peran Cina di Asia dan Afrika adalah upaya untuk mendorong pengurangan kemiskinan global. Selama 2013-2018, Cina telah memberikan bantuan kepada 122 negara dan 20 organisasi multilateral internasional maupun regional dengan total bantuan sebesar 270,2 miliar yuan (Rp 594,4 triliun). Menurut prediksi Bank Dunia, inisiatif pembangunan pembangunan Belt and Road akan membantu 7,6 juta orang terangkat dari kemiskinan ekstrem dan 32 juta orang dari kemiskinan moderat.
Xiao Qian juga menegaskan bahwa Cina dan Indonesia adalah mitra dagang yang penting. Volume perdagangan kedua negara pada 2020 mencapai US$ 78,37 miliar dan impor dari Indonesia meningkat 10,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya. "Ini menunjukkan bahwa perdagangan kedua negara semakin seimbang," kata dia.
Pembangunan proyek-proyek infrastruktur berskala besar yang dilakukan Cina itu ternyata menimbulkan ekses. Cina membangun pabrik-pabrik barang modal seperti semen, aspal, dan baja untuk memenuhi kebutuhan proyek apa pun di dalam negeri. Ketika pembangunan selesai, barangnya masih melimpah. “Pabrik-pabrik itu harus terus beroperasi. Jadi produk-produknya dilimpahkan ke pasar luar negeri, termasuk mitra Cina dalam proyek infrastruktur,” tutur Poltak.
Menurut Poltak, Indonesia termasuk yang mendapatkan “guyuran” barang-barang seperti semen dan baja murah tersebut. Perusahaan-perusahaan semen Cina bahkan ikut berinvestasi dan membangun pabrik di Indonesia, yang membuat produsen semen lokal berhenti beroperasi karena kelebihan produksi dan harga produknya turun. Hal ini berdampak besar pada produsen barang serupa, tapi tak bisa mengimbangi strategi perusahaan Cina yang dapat memberikan harga lebih murah. “Mau jual rugi pun tak masalah buat mereka, daripada barangnya mubazir. Tapi produsen lokal kita teriak semua,” ujarnya.
Novi Basuki mengatakan Indonesia perlu berhati-hati atas masifnya investasi Cina yang masuk. Dia memahami bahwa Indonesia membutuhkan investasi dalam proyek pembangunan infrastruktur yang besar. Meski demikian, ekspansi produsen barang modal, seperti semen dan baja, dari Cina harus diawasi lebih ketat karena bisa mengganggu perusahaan dalam negeri yang membuat produk serupa. “Kualitas produk Cina itu lumayan, tapi harga jauh lebih murah. Siapa yang tahan ‘dihajar’ barang seperti itu?” katanya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, CNN, THE GUARDIAN, THE NEW YORK TIMES, GLOBAL TIMES, CHINA DAILY)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo