Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Perwakilan Rakyat baru saja mengesahkan usul untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Revisi ini mematahkan sendi-sendi penting pemberantasan korupsi oleh komisi antirasuah. Secara aturan, hanya Jokowi yang dapat menghentikannya.
Terdapat beberapa poin krusial dalam rancangan revisi itu. Di antaranya, pegawai KPK akan menjadi aparatur sipil negara, bukan lagi entitas independen yang terpisah dari eksekutif. Akibat aturan tersebut, KPK harus tunduk kepada struktur birokrasi. Wadah pegawai yang selama ini turut menjadi benteng moral tidak lagi memiliki hak untuk hidup.
RUU inisiatif DPR ini juga membatasi gerak komisi antirasuah. KPK nantinya harus merekrut hanya penyidik dari kepolisian. Selama ini, reserse polisi dianggap tak bisa serius menangani perkara yang menyangkut petinggi kepolisian atau mereka yang memiliki kaitan dengan markas besar polisi. Yang tak kalah meresahkan adalah rencana pembentukan dewan pengawas oleh DPR yang memiliki wewenang memutuskan apakah penyidik KPK boleh melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Kalau terlaksana, hal ini akan menempatkan KPK di dalam kerangkeng DPR. Mudah dipahami: anggota DPR dan DPRD saat ini merupakan pejabat publik yang paling banyak dijebloskan ke penjara selama KPK berdiri. Dari sekitar 1.000 perkara korupsi yang sudah ditangani, 225 di antaranya melibatkan legislator.
Sebenarnya RUU KPK belum mendapat persetujuan pemerintah untuk dimasukkan ke program legislasi nasional. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU itu semestinya tak boleh diajukan untuk dibahas. Nyatanya, DPR mengabaikan ketentuan penting tersebut. Tapi Jokowi memegang kartu truf. Konstitusi menyebutkan RUU inisiatif Dewan tidak bisa disahkan tanpa persetujuan Presiden. Jika Presiden menolak, rencana DPR merevisi Undang-Undang KPK tidak akan terlaksana.
Persoalannya, Jokowi sendiri tak menunjukkan sikap mendukung KPK. Dalam sejumlah kesempatan, ia mengecam Komisi, yang dia anggap terlampau berfokus pada unsur penindakan dan melupakan pencegahan—sikap yang sejalan dengan pendapat umumnya legislator. Tapi, alih-alih mendukung upaya pencegahan, Jokowi terkesan membiarkan komisi antirasuah diobok-obok. Jokowi, misalnya, tidak berada di depan ketika pada 2015 pemimpin KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dijadikan tersangka oleh polisi dalam kasus penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Jokowi juga tidak serius mengungkap penyerangan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Alih-alih membentuk tim gabungan pencari fakta independen, ia malah menyerahkan penyidikan kepada polisi—institusi yang ditengarai terkait dengan penyerangan.
Jokowi semestinya menyadari betapa pentingnya KPK yang independen—tidak di bawah kendali Presiden, tidak pula dalam ketiak DPR. Menggelar sejumlah proyek besar, dari infrastruktur, penyebaran triliunan dana desa, hingga perencanaan ibu kota baru, Presiden membutuhkan KPK sebagai pengawas. KPK yang lemah akan mengendurkan pengawasan pembangunan dan akhirnya memperkecil peluang keberhasilan rencana-rencana pemerintah. Sejarah mencatat: korupsi telah menghambat pembangunan dan merusak peluang mencapai masyarakat adil-makmur.
Presiden semestinya tak lupa: pembentukan KPK merupakan amanat reformasi. Tak kurang-kurang upaya Komisi dalam memberantas korupsi—betapapun terseok---seoknya langkah mereka. Ikhtiar KPK memecah kekuatan ekonomi-politik serta dominasi sumber-sumber kekuasaan oleh sejumlah elite dan pengusaha busuk harus dihargai. Tengoklah bagaimana Komisi menghajar mafia gula, bawang putih, dan impor daging selama ini. Pelemahan KPK karena itu mudah dibaca sebagai upaya mengembalikan dominasi ini.
Presiden bersama DPR mudah dicurigai berada di belakang rencana mengembalikan kekuatan jahat tersebut. Diloloskannya calon pemimpin Komisi yang bermasalah dan niat DPR merevisi Undang-Undang KPK merupakan manifestasi fusi ekonomi-politik kartel politik dan oligarki. Niat buruk tersebut mesti dicegah.
Keputusan kini sepenuhnya berada di tangan Jokowi. Ia bisa menyelamatkan Komisi, bisa pula tidak. Jika pilihan kedua yang diambil, kita tampaknya harus menyiapkan pusara buat KPK—juga kuburan bagi kepercayaan kita kepada Presiden Joko Widodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo