Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBANYAK 20 orang pengunjuk rasa berkumpul sambil meneriakkan kata-kata protes di luar kantor perwakilan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) di Yangoon, ibu kota Myanmar, Senin pekan lalu. Sembari menjunjung pamflet dan poster, mereka lantang mengaku mendukung pernyataan Presiden U Thein Sein dalam menyikapi keberadaan etnis Rohingya.
"Mereka bukan Myanmar. Kami tidak mau hidup berdampingan dengan Rohingya. Mereka bukan etnis kami," kata U Aung Naing Tun, salah seorang pengunjuk rasa, sambil terus mengacung-acungkan poster dengan penuh semangat. Dari sikap para pengunjuk rasa, kebencian dan diskriminasi terhadap etnis yang kini hidup tercerai-berai akibat kerusuhan itu tampaknya tidak akan pernah luntur.
Demonstrasi kebencian terhadap etnis Rohingya itu rupanya dipicu selebaran ajakan dukungan terhadap suku Rohingya di media sosial Facebook. Di dinding laman seorang warga Myanmar, tertulis ajakan bagi masyarakat muslim di negara itu untuk ikut berembuk di U Ottama Park, Sittwe, pada 29 Agustus mendatang, dalam upaya mencari solusi bagi penderitaan etnis Rohingya.
Etnis Rohingya sedang merana. Kerusuhan di Rakhine pada awal Juni lalu membuat mereka terusir dari tanah—di bagian barat Myanmar, menempel ke perbatasan Bangladesh—yang sudah mereka tinggali selama empat generasi. Berdasarkan perkiraan Human Rights Watch, sebanyak 80 ribu orang Rohingya dipaksa meninggalkan kampung halamannya dan terserak di berbagai negara tetangga, sampai ke Indonesia.
Membaca sejarah Rohingya seperti melihat untaian riwayat orang-orang yang lahir dan hidup di tanah yang salah. Mereka telah mengalami penyiksaan, pengabaian, dan penindasan di tempat yang mayoritas penduduknya memeluk agama Buddha sejak Myanmar merdeka pada 1948. Etnis itu tidak pernah dimasukkan ke daftar 137 etnis yang diakui di Myanmar.
Konstitusi Myanmar pun menutup semua celah bagi orang Rohingya untuk menjadi warga negara. Alasannya begitu sederhana: nenek moyang mereka tidak tinggal di sana saat negeri itu masih disebut Burma dan berada di bawah kekuasaan Inggris pada abad ke-19. Akibatnya, kini semua pihak, termasuk pemerintah, mencoba mengusir mereka. "Mereka itu benar-benar hanya imigran gelap yang siap menebar teror," kata Presiden U Thein Sein.
PADA 10 Oktober 2002, Kedutaan Amerika Serikat di Rangoon—ibu kota Myanmar, yang kini bernama Yangoon—mengirimkan sejumlah pesan kawat rahasia ke Washington, DC. Isinya informasi intelijen dari militer Myanmar tentang pertemuan rahasia antara anggota Arakan Rohingya National Organization (ARNO) dan Usamah bin Ladin. Mereka membahas rencana pendirian kamp pelatihan militer. Tak diceritakan detail pertemuan dan hasilnya, tapi beberapa tokoh Rohingya dicurigai diangkat sebagai orang kepercayaan Usamah, buron teroris nomor wahid Amerika. "Ini memperberat diskriminasi terhadap Rohingya," kata Benedict Rogers, aktivis kemanusiaan pengamat Myanmar, seperti dikutip surat kabar Kachin News.
Dengan adanya informasi itu, Rohingya mendapat predikat baru sebagai teroris. Sebelumnya, mereka mendapat stempel sebagai penjahat dan pengedar narkotik. Sejak saat itu, menurut catatan Lembaga Intelijen Stratfor, militer Myanmar dengan beking Abang Sam, yang sedang getol-getolnya menjalankan operasi War on Terror, giat menggelar operasi berkedok penumpasan terorisme di wilayah etnis Rohingya. Tak ada data pasti tentang warga etnis Rohingya yang hilang dalam operasi-operasi penumpasan gerakan Islam radikal di wilayah barat Myanmar.
Menanggapi tuduhan bahwa etnisnya adalah teroris, Salim Ullah, salah seorang pentolan ARNO, kala itu memprotes, "Karen, Kachin, dan orang lain yang berjuang melawan pemerintah karena membela etnis mereka disebut pejuang kemerdekaan, tapi ketika kami berjuang, kami malah dihadiahi stigma teroris."
Sementara itu, pemimpin oposisi Myanmar yang selama ini dipertanyakan sikapnya akhirnya buka mulut juga. Di depan parlemen, Aung San Suu Kyi kembali mempertegas sikap mendukung adanya undang-undang perlindungan etnis minoritas di Myanmar. Nantinya undang-undang itu dapat memastikan kelompok minoritas memperoleh hak-hak sebagai warga negara Myanmar. "Perang sudah banyak merenggut rasa kemanusiaan, sudah saatnya diakhiri," kata peraih Nobel Perdamaian ini.
Suu Kyi memang tak menyebut gamblang bahwa yang dia maksudkan adalah etnis Rohingya. Tapi upaya ini cukup memberi cahaya harapan, baik bagi Rohingya maupun bagi kaum minoritas lain yang ada di Myanmar. Namun, untuk bisa mewujudkan cita-cita itu, tampaknya kubu Suu Kyi harus bekerja ekstrakeras, karena suara mereka hanya minoritas di parlemen Myanmar. Kelompok Suu Kyi tak akan cukup kuat menggiring opini wakil rakyat mengamendemen konstitusi yang menurut dia tidak ramah terhadap etnis minoritas itu.
Sandy Indra Pratama (DVB, Myanmar Times, New York Times)
Diaspora Rohingya
Selama puluhan tahun etnis muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, menjadi korban rasialisme. Ratusan ribu orang terpaksa lari dari kampung halamannya karena ditindas etnis Arakan. Mereka tersebar di sejumlah negara, dari Bangladesh hingga Indonesia.
Etnis Rohingya
Jumlahnya sekitar sejuta jiwa. Orang Rohingya adalah anak-keturunan saudagar Arab yang menetap di Rakhine sejak abad kedelapan. Pada abad ke-14, datang orang-orang dari Bengali, yang kemudian tinggal di sana. Namun Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982 tak mengakui etnis Rohingya.
Kekerasan terhadap Rohingya
Persebaran Pengungsi
BANGLADESH
INDIA
PAKISTAN
MALAYSIA Urusan Muslim Minoritas (MMA), yang berafiliasi dengan Gerakan Muda Muslim Malaysia (ABIM), mencatat ada sepuluh ribuan orang Rohingya di negara itu.
JEPANG
ARAB SAUDI
INDONESIA
Sapto Yunus (The Irrawaddy, Radio Free Asia, Islamonline.net)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo