Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI balik kumis tebalnya, Fauzi Bowo tersenyum menerima bergabungnya Partai Keadilan Sejahtera ke barisan pendukungnya. Sabtu pekan lalu, di markasnya, Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, partai ini resmi mendeklarasikan suara untuk Fauzi pada pemilihan Gubernur Jakarta putaran kedua, 20 September. "Fauzi itu artinya kemenangan," kata sang Gubernur inkumben.
Sebelumnya, Fauzi mendapat sokongan dari dua partai lain. Partai Persatuan Pembangunan dan Golkar—keduanya pendukung Alex Noerdin-Nono Sampono, kandidat lain, yang hanya mendapat 4,9 persen suara dalam putaran pertama—masuk haribaan Fauzi. "Sejak awal, suara Golkar itu untuk Fauzi," ujar Agus Zakaria, Wakil Ketua Golkar Jakarta, yang dipecat pengurus partai itu karena mendukung Fauzi pada putaran pertama.
Dengan tambahan PKS, Fauzi-Nachrowi Ramli, yang diusung Partai Demokrat, mendapat sokongan sebagian besar partai pemilik kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Partai-partai gurem dengan perolehan suara satu persen pada Pemilihan Umum 2009 sejak awal mendukungnya. Adapun lawan di putaran dua, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, disoÂkong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Pada putaran pertama, koalisi gergasi hanya menempatkan Fauzi di urutan kedua dengan perolehan 34 persen suara. Jokowi-Basuki lebih tinggi sepuluh persen. Kalah di luar perhitungan dan prediksi semua lembaga survei membuat Fauzi mengenÂcangkan strategi. Sementara Jokowi hanya mengunjungi calon Gubernur Jakarta dari PKS, Hidayat Nur Wahid, seusai pencoblosan, Fauzi bersamuh langsung ke Presiden Luthfi Hasan Ishaaq dan Ketua Majelis Syura Hilmi Aminuddin.
Pertemuan awal itu baru berupa penjajakan. Belum ada lobi khusus membicarakan koalisi karena PKS juga terkejut oleh perolehan suara Hidayat, yang hanya 11,7 persen. Padahal suara partai ini dalam pemilihan legislatif 2009 untuk DPRD Jakarta mencapai 19 persen. "Waktu itu kami masih marah karena kalah," kata Selamat Nurdin, Ketua PKS Jakarta.
PKS juga meminta waktu sebulan untuk menjajaki pilihan di kalangan kadernya. Hasilnya, sebagian pendukung tak akan memilih Jokowi atau Fauzi di putaran kedua alias "golput". Sebagian lainnya akan memilih Fauzi, sementara sisanya memilih Jokowi. Pada akhirnya, elite PKS mengesampingkan survei itu untuk akhirnya mendukung Fauzi.
Lobi-lobi intensif terjalin sepekan terakhir sebelum mereka resmi mendukung. Fauzi menyambangi kantor pusat PKS itu Sabtu dua pekan lalu. Petinggi "partai kader" ini menanyai calon inkumben seputar komitmennya menjadi gubernur selama lima tahun jika terpilih kelak. Juga soal kesediaannya mengadopsi program "Ayo Beresin Jakarta" yang diusung Hidayat. Tanpa pikir panjang, Fauzi menyanggupi.
Menurut Selamat, berbeda dengan lawannya, Jokowi yang datang hari berikutnya meminta waktu dua hari untuk memikirkan menerima atau menolak syarat itu. "Kami tunggu hingga Kamis pekan lalu, tak ada kabar," kata Selamat. "Sementara itu, kami harus memutuskan segera soal dukungan ini."
Selamat mengatakan sikap Jokowi yang menyebabkannya tak mendapat dukungan PKS adalah ketika ditanyai apa yang akan dilakukannya dalam mengurus Ibu Kota jika kelak terpilih. "Jokowi bilang, 'Enggak tahu, Mas, saya juga bingung'," Selamat menuturkan.
Denny Iskandar, anggota tim sukses Jokowi yang hadir pada pertemuan, mengakui Selamat melontarkan pertanyaan tersebut kepada Wali Kota Solo, Jawa Tengah, itu. Tapi, menurut dia, Jokowi menjawab tangkas dengan menguraikan program-program di bidang kesehatan dan pendidikan serta cara mengatasi kemacetan. "Kok, yang keluar pernyataan Jokowi yang tak pernah diucapkan?" ujarnya.
Kepada Tempo, Jokowi bahkan menyatakan tak pernah ada pembicaraan menyangkut penggabungan program yang diusung calon PKS. "Jika memang benar syarat koalisi dengan PKS adalah memadukan dua program, langsung saya teken," katanya.
Menurut dia, PKS sejak awal selalu menghindari pembicaraan tentang kesepakatan politik. "Setiap saya tanya apa yang bisa saya lakukan untuk PKS, mereka menjawab belum ada karena mereka masih harus melakukan rapat internal," tuturnya. Pembahasan koalisi akhirnya diserahkan ke partainya, PDI Perjuangan.
Lobi-lobi antara PKS dan PDI Perjuangan berlangsung alot. Menurut Denny, tak ada kata sepakat di antara kedua pihak menyangkut program kerja jika Jokowi terpilih kelak. Alotnya itu karena PDI Perjuangan di banyak daerah selama ini tak punya pengalaman berkoalisi dengan PKS.
Sumber di tim Jokowi dan tim Fauzi mengatakan ketidaksepakatan itu menyangkut kontrak politik. PKS, kata mereka, meminta ongkos operasional untuk menggalang suara kadernya. "Besarnya Rp 25-50 miliar." PDI Perjuangan menolak permintaan ini.
Syarat "mahar" pernah diajukan sewaktu PKS menyorongkan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Triwisaksana sebagai wakil Fauzi Bowo. Di antaranya permintaan menentukan sejumlah kepala dinas. Fauzi menolak dan ketika itu menerima calon wakil gubernur yang juga diajukan Partai Demokrat, Nachrowi Ramli.
Baik Triwisaksana maupun Selamat membantah lobi politik ini ditunggangi transaksi uang. "Saya ikut semua lobi, tak ada yang menyebut uang tunai atau kepala dinas," kata Selamat. Menurut dia, Fauzi dipilih karena dianggap lebih mengenal Jakarta ketimbang Jokowi. "Ini dukungan sebagai sesama ahlussunnah wal jamaah, bukan wahabi, antitahlil, antimaulid," Luthfi Hasan menambahkan.
Padahal, saat kampanye, PKS menyerukan perubahan Jakarta dan menolak status quo. Namun partai ini memilih berdamai dan melupakan perseteruannya dengan Fauzi saat bertarung memperebutkan kursi gubernur 2007. Fauzi, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama, mengalahkan calon PKS, Adang Daradjatun. "Demi persatuan dan kesatuan umat, kami telah saling memaafkan," kata Luthfi.
Menurut dua anggota tim Fauzi, urusan mahar ini juga dibicarakan ketika membuat kontrak politik dengan PKS. "Tapi pembicaraannya justru karena PKS ditawari Rp 100 miliar dari pihak lawan." Fauzi, kata sumber ini, tak menyanggupi jika PKS meminta jumlah yang sama. Pembahasan tak mencapai titik temu hingga pemimpin tertinggi partai itu menengahi. Tawaran akhirnya turun hingga angka Rp 20 miliar.
Dari mahar ini, PKS menjanjikan 500 ribu suara. Menurut sumber lain, PKS berjanji, berdasarkan pengalaman, kadernya loyal kepada instruksi partai. Apalagi jika ada jaminan bantuan pendanaan dalam Pemilihan Umum 2014 bila Fauzi kembali terpilih. Soal ini, Triwisaksana mengatakan, "Tak ada itu soal dukung-dukungan. Soal pendanaan kami biasa sendiri."
Jokowi tak bisa memberi jaminan seperti itu. "Kami sudah berikhtiar, tapi mereka mendukung ke sana," katanya pasrah. Jokowi lebih memilih turun ke lapangan. Sehari setelah PKS mengumumkan dukungan, ia menemui sejumlah pensiunan pejabat Provinsi Jakarta yang cukup berpengaruh. Hasilnya, muncul deklarasi "Pensiunan Pemprov DKI Pendukung Jokowi".
Bagja Hidayat, Amandra Megarani (Jakarta), Ukky Primartantyo (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo