Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM bekapan hawa dingin, dua lelaki itu dipersilakan masuk ke ruang tamu Sekolah Pembentukan Perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di Sukabumi, Jawa Barat, Kamis malam pekan lalu. Menunggu beberapa menit, tamu dari Jakarta itu ditemui Brigadir Jenderal Ngadino, kepala lembaga sekolah calon perwira Kepolisian itu.
Kepada tuan rumah, pengacara Fredrich Yunadi, salah satu tamu, menunjukkan surat kuasa dari Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo. Isinya perintah kepada anggota tim penasihat hukum sang Jenderal untuk bertemu dengan dua siswa sekolah: Brigadir Kepala Benita Pratiwi dan Brigadir Kepala Ony. Brigjen Ngadino mengiyakan dengan syarat dua polisi wanita itu boleh ditemui jika ditemani sejumlah anggota stafnya.
Yunadi setuju. Ketika jarum jam di dinding bangunan peninggalan Belanda itu menunjukkan pukul 21.00, dua polwan diantar datang ditemani sejumlah anggota staf sekolah. Yunadi lalu mengajak bicara Benita Pratiwi alias Tiwi dan Ony seputar perkara korupsi pengadaan alat simulator kemudi yang diduga mereka ketahui. Kurang-lebih satu jam kemudian, Yunadi, yang ditemani asistennya, pamit.
Menurut sumber Tempo, kedatangan Yunadi itu untuk menyatukan keterangan para saksi perkara simulator. Dua calon perwira tersebut diduga menjadi kunci kasus suap kepada Inspektur Jenderal Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka bekas anggota staf pribadi sang tersangka.
Kepada Tempo, Fredrich Yunadi—yang uniknya juga merupakan anggota tim pengacara Djoko—membenarkan pertemuan di Sukabumi. Namun ia membantah berusaha menyatukan keterangan saksi. Menurut dia, kedatangannya dalam kapasitas sebagai anggota tim penasihat Kepala Kepolisian untuk "pelecehan Polri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi". "Yang saya lakukan merupakan persoalan nonlitigasi, tidak ada kaitan dengan penyidikan," ujarnya.
Juniver Girsang, juga pengacara Djoko Susilo, membantah ada pertemuan dengan Tiwi dan Ony. Begitu juga Hotma Sitompoel dari tim yang sama, yang mengatakan tak kenal dengan Tiwi. "Saya malah baru dengar nama itu. Memangnya dia siapa?" ujarnya. Ia mengakui Fredrich Yunadi sebagai anggota tim penasihat Djoko. "Tapi saya tak dekat dengan dia," tuturnya.
Nama Tiwi muncul dari pengakuan Sukotjo S. Bambang, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia, perusahaan subkontraktor proyek simulator. Ia mengaku pernah menyetor duit Rp 2 miliar dalam dus untuk Djoko Susilo, yang diterima Tiwi. Kata Sukotjo, duit diberikan atas permintaan Budi Susanto, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, pemenang tender proyek senilai Rp 196 miliar lebih itu.
Penetapan Djoko membuat gerah Trunojoyo, Markas Besar Kepolisian. Ia jenderal polisi aktif pertama yang menjadi tersangka KPK. Komisi antikorupsi telah menggeledah kantor Korps Lalu Lintas di Cawang, yang semakin memanaskan hubungan kedua lembaga. Kepolisian kemudian buru-buru menyidik perkara yang sama, menetapkan lima tersangka, dan segera menahan mereka. Padahal tiga tersangka polisi juga merupakan tersangka komisi antikorupsi: Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Budi Susanto, dan Sukotjo S. Bambang.
Polisi gencar memeriksa sejumlah saksi. Tiga tersangka diperiksa di tahanan Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis pagi pekan lalu. Mereka adalah Komisaris Legimo, Didik Purnomo, dan Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan sebagai ketua panitia lelang. Sukotjo diperiksa di penjara Kebon Waru, Bandung.
Setelah kedatangan Yunadi, pada Jumat pagi, giliran penyidik Kepolisian mendatangi Tiwi dan Ony. Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian, mengatakan Tiwi dan Ony merupakan saksi baru. Pemeriksaan itu untuk menyelidiki proses pengadaan barang dan jasa di Korps Lalu Lintas pada 2011. "Untuk mensinkronkan informasi yang diterima penyidik," ujar Boy.
Boy mengakui polisi lebih bergegas menyidik perkara ini. Tujuannya agar gambaran kasus ini bisa segera diungkap. Ia menampik anggapan bahwa pemeriksaan itu untuk mendahului Komisi Pemberantasan Korupsi. "Pasal yang kami pakai sama dengan KPK, yaitu korupsi. Lantas apa bedanya kami yang mengusut dan KPK yang mengusut?"
Strategi lain dipakai Trunojoyo untuk menelikung penyidikan komisi antikorupsi. Sejumlah opsi perlawanan disiapkan, termasuk jalan legal: proses hukum. Senin pekan lalu, Kepala Kepolisian menunjuk setidaknya 14 anggota tim penasihat hukum. Sebagian anggota tim juga merupakan pengacara Djoko Susilo, di antaranya Hotma Sitompoel, Juniver Girsang, Tommy Sihotang, dan Fredrich Yunadi. Yunadi membantah ada konflik kepentingan.
Langkah berikutnya adalah mengundang mantan Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan guru besar hukum pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita. "Kenapa mengundang mereka? Ya, kami mencari orang yang bisa mendukung kami," kata seorang perwira tinggi Kepolisian.
Pertemuan evaluasi dilakukan setiap pagi di Divisi Hukum Markas Besar Kepolisian. Banyak yang dibahas, antara lain opsi menggugat hukum acara Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan mempersoalkan barang bukti pemeriksaan. "Prinsipnya, yang dibahas adalah langkah KPK yang melecehkan Polri," ujar Yunadi.
Petinggi Kepolisian agaknya mati-matian membendung kasus ini. Seorang perwira tinggi menyebutkan kasus simulator menjadi bahasan utama dalam rapat yang digelar Jumat pekan lalu. Rapat yang dipimpin Jenderal Timur itu antara lain mendengarkan presentasi Badan Reserse Kriminal Kepolisian tentang penyidikan perkara simulator.
Dalam rapat, terlontar usul agar penyidikan perkara ini bisa segera dipercepat. Faktor ini, menurut sang perwira, sangat dimungkinkan karena penyidik Badan Reserse dalam kasus simulator pernah menjadi penyidik komisi antikorupsi. "Mereka lebih senior, jadi mengetahui betul bagaimana KPK bekerja," tuturnya.
Penyidikan diharapkan bisa selesai kurang dari satu bulan agar segera dapat diserahkan ke Kejaksaan, lalu ke pengadilan. "Tujuan utamanya membuat skenario perkara di KPK gugur karena prinsip nebis in idem, satu perkara tidak boleh diadili dua kali," ia menjelaskan. "Kalau polisi lebih dulu mengajukan, KPK tak bisa lagi bergerak menyidik."
Cara menghadang KPK di masa datang juga jadi bahan diskusi. Salah satunya usul membentuk satuan tugas antikorupsi kerja sama Kejaksaan dan Polri di tingkat kota madya dan kabupaten. Dengan cara ini, tak perlu lagi mengharapkan KPK sampai ke daerah. Kejaksaan kabarnya telah diajak berdiskusi. Namun Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto mengatakan belum mendengar. Ia mengaku baru ada satu kesepakatan kerja sama antara Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, dan Ketua KPK. "Untuk optimalisasi penanganan perkara," ujarnya.
Boy Rafli membenarkan rapat-rapat Kepala Kepolisian pada Jumat pekan lalu. Namun ia membantah ada pembahasan agar meloloskan para jenderal menggunakan prinsip nebis in idem. "Tak pernah ada materi seperti itu dalam rapat-rapat Kepala Polri," kata Boy. "Sudahlah, biarkan kami menuntaskan kasus ini."
Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, mengatakan sudah menduga bakal ada adu cepat dalam proses penyidikan demi mengejar prinsip nebis in idem. Jika dua berkas disidangkan dua majelis hakim yang berbeda, lalu salah satunya mengeluarkan putusan lebih dulu, perkara lainnya akan gugur. Ia berharap Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menyelesaikan penyidikan lebih dulu.
Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana, menilai skenario itu terlalu jauh. Apalagi, kata dia, Jaksa Agung Basrief Arief sempat menyatakan KPK lebih berwenang menangani kasus ini. Kata Gandjar, "Alat bukti dipegang KPK, sedangkan tersangka yang bisa menjadi saksi untuk Djoko masih ditahan Kepolisian."
Widiarsi Agustina, Fransisco Rosarians, Subkhan, Indra Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo