Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Sulitnya Menangkal Teror di Pekarangan Sendiri

Pasca-serangan 11 September, pemerintah Amerika mengembangkan penangkalan teroris di dalam negeri dengan dana ratusan miliar dolar. Bom Boston bukti mubazirnya sumber daya superjumbo untuk program ini?

28 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELASA pagi pekan lalu terasa istimewa bagi Ed Borash. Inilah hari pertama pria itu membuka kembali kantornya, Sir Speedy. Perusahaan periklanan dan desain grafis milik Borash itu harus tutup selama delapan hari menyusul ledakan bom saat lomba maraton Boston, Senin dua pekan lalu. Kantor yang terletak di Boylston Street, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, itu berada tepat di antara dua bom yang meledak.

Borash mengaku masih waswas. Ia bersama putranya hampir celaka akibat pecahan kaca yang beterbangan saat bom meledak. "Kami menjalani waktu yang sulit," katanya sembari menyebutkan bahwa insiden pekan lalu dan kembalinya dia beraktivitas adalah hal yang sangat emosional.

Dua bom panci yang menewaskan tiga orang dan melukai 264 orang itu memang membuat kegiatan Kota Boston mendadak terhenti. Penerbangan dibatalkan, warga dilarang ke luar rumah, sementara ribuan petugas dari Biro Penyelidik Federal Amerika (FBI) dan kepolisian Boston memburu pelaku. Hasilnya, Tamerlan Tsarnaev, 26 tahun, yang disebut sebagai otak utama pelaku pengeboman, tewas dihajar peluru polisi saat pengejaran di Watertown, Massachusetts, tiga hari setelah ledakan. Adiknya, Dzhokhar Tsarnaev, 19 tahun, tertangkap sehari kemudian saat menyuruk di bawah terpal kapal yang terparkir di belakang rumah warga setempat, David Henneberry, di kawasan yang sama. Saksi mata mengatakan mendengar 40 kali tembakan dan Dzhokhar berlumuran darah saat ditangkap.

Dzhokhar, yang kerap disapa Jahar oleh rekan-rekannya di kampus University of Massachusetts Dartmouth, masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit Beth Israel Deaconess Medical Center, Boston. CNN melaporkan, Dzhokhar sudah siuman dan berkomunikasi—meski sangat terbatas akibat luka tembak yang salah satunya memutus pita suaranya—dengan para penyidik. Hasil penyelidikan yang diklaim FBI menyebutkan Dzhokhar sudah mengaku. Ia mengatakan aksinya dilakukan sebagai balasan atas invasi Amerika ke Irak dan Afganistan. Dzhokhar juga menyatakan ia dan kakaknya bekerja sendiri dan tidak memiliki hubungan dengan kelompok teroris mana pun, termasuk Al-Qaidah, yang selama ini dianggap sebagai musuh utama.

Selesai? Tidak. Senat Amerika justru mendapat informasi baru yang membuat mereka meradang. Pemerintah Rusia ternyata sudah sejak Januari 2011 mengingatkan FBI akan kemungkinan rencana teror yang dilakukan Tamerlan. Rusia menyebut Tamerlan sebagai warga etnis Chechnya, penduduk Amerika yang legal, terkait dengan kelompok teroris Chechen, dan menjadi radikal sejak 2010.

FBI memang sempat menanyai Tamerlan dan keluarganya yang tinggal di Cambridge, Boston. Namun ketika itu FBI tidak mendapatkan indikasi Tamerlan akan melakukan rencana teror. Walhasil, Tamerlan bebas, termasuk pulang ke tanah kelahirannya di Dagestan, Rusia, selama enam bulan pada tahun lalu. "Itu benar-benar mengganggu saya. Bertahun-tahun setelah serangan terhadap negara kita pada 2001, kita tampaknya masih sulit berbagi informasi, bahkan di antara agen yang sama dalam sebuah kasus," kata senator wilayah Maine, Susan Collins, saat rapat tertutup dengan FBI.

Senator dari Partai Republik, Lindsey Graham, mempertanyakan kegagalan FBI melacak Tamerlan. Padahal jelas-jelas Tamerlan masuk daftar pengawasan FBI. "Saya diberi tahu FBI alasan kenapa namanya (Tamerlan) tidak muncul dalam sistem, yakni karena pengejaannya salah orang," ujarnya.

Saat memantau Tamerlan, FBI juga mendapat informasi bahwa ada seorang pria lain yang lebih berbahaya. Dia adalah Rezwan Ferdaus, lulusan Northeastern University yang tinggal di Boston. Ia pernah mengancam akan meledakkan Capitol Hill, gedung senat Amerika, menggunakan pesawat mainan dengan kendali jarak jauh. Sembilan bulan dikuntit, pada 28 September 2011, Ferdaus ditangkap. Lelaki itu dihukum 17 tahun penjara meski hingga kini tak pernah ada bukti ia bakal melakukan aksinya.

Lepasnya pantauan terhadap Tamerlan inilah yang membuat ia bebas bergerak. Pakar teroris Philip Mudd, mantan Wakil Direktur Departemen Keamanan Nasional, mengkategorikan Tsarnaev bersaudara sebagai home-grown atau lone-wolf, sebutan untuk teroris yang berada di dalam negeri.

Sejak tragedi serangan menara kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001, Amerika sebenarnya sudah mengantisipasi hal ini. Pemerintah negara itu menggenjot kinerja badan-badan kontrateroris. Presiden saat itu, George W. Bush, membentuk departemen eksklusif yang disebut Homeland Security atau Departemen Keamanan Dalam Negeri. Saat dibentuk, 1 Maret 2003, departemen ini memiliki sekitar 180 ribu pegawai. Salah satu tugas departemen yang kini dipimpin Janet Napolitano itu adalah melakukan pemantauan, pencegahan, dan penanggulangan ancaman apa pun yang berbau terorisme di dalam negeri.

Saking pentingnya lembaga tersebut, hasil investigasi National Priorities Project menyebutkan departemen itu mendapat guyuran dana luar biasa. Sejak serangan 11 September, tak kurang dari US$ 791 miliar atau sekitar Rp 7.700 triliun digelontorkan ke departemen ini. "Untuk apa dana itu digunakan? Entahlah," kata Chris Hellman, analis senior bidang keamanan National Priorities Project, di Northampton, Massachusetts. "Toh, tak akan ada yang menentang dana untuk lembaga yang mengamankan Amerika."

"Departemen ini seperti miniatur Pentagon," komentar Mattea Kramer, Direktur National Priorities Project, menyebut nama lain Departemen Pertahanan Amerika. Kekuasaan yang besar membuat departemen itu dituding membatasi gerak-gerik warga. Salah satunya memantau penggunaan Internet dan situs jejaring sosial. Situs Businessinsider melansir, departemen ini menyisir dan memantau penggunaan 377 kata yang dianggap rawan. Kata itu antara lain extremism, Somalia, Nigeria, radicals, Al-Shabaab, home-grown, plot, nationalist, recruitment, fundamentalism, dan Islamist.

Tugas yang sama dilakukan FBI. Sejak serangan 11 September, tugas utama biro ini adalah mengantisipasi terorisme. Setiap tahun, biro ini menghabiskan US$ 3,3 miliar, porsi terbesar dari anggaran rutinnya tiap tahun—sekitar US$ 8,2 miliar. Dengan uang itu, FBI memata-matai target yang dicurigai dengan menggunakan informan. Mother Jones pernah menulis biro ini merekrut ribuan orang—diperkirakan saat ini sekitar 15 ribu orang—untuk ditugasi sebagai mata-mata. Mereka disebar di berbagai komunitas, terutama muslim, di Amerika. Para informan ini bisa jadi dokter, tukang bersih-bersih, atau ibu rumah tangga.

Agen-agen federal juga melakukan pengawasan dunia maya. Para agen menganalisis kehadiran target online dan sejarah mereka serta mencari aktivitas di forum web, minat dalam video jihad militan, dan aktivitas lain yang mungkin menunjukkan simpati kepada organisasi teroris. Dalam sepuluh tahun, FBI mencokok lebih dari 175 orang yang diduga sebagai teroris. Namun mereka sempat juga kebobolan. Faisal Shahzad, 33 tahun, asal Pakistan, membawa mobil berisi bom di Times Square pada 1 Mei 2010. Shahzad lepas dari pantauan FBI hingga hari-H ketika seorang agen lapangan melaporkan ada sebuah kendaraan yang mencurigakan. Untung, bom gagal meledak.

Sebelumnya, pada 5 November 2009, Nidal Hasan, anggota korps medis Angkatan Darat Amerika, mengamuk dan menembak 13 orang di Fort Hood. Padahal saat itu FBI sudah menyelidiki 18 surat elektronik yang ia kirimkan kepada Anwar al-Awlaki, agen Al-Qaidah kelahiran Amerika, yang akhirnya tewas dibom pesawat tanpa awak atau drone di Yaman pada 2011. FBI terlambat menyadari berbahayanya Hasan hingga ia melakukan aksinya.

Aparat Amerika sepertinya terlelap dengan kata teroris yang selalu dihubungkan dengan kelompok semacam Al-Qaidah, pelaku serangan 11 September, sehingga tak awas terhadap ancaman radikalisme di pekarangan sendiri. Ini jelas kabar buruk bagi Abang Sam. "Sebab, tidak mungkin menjaga semua tempat, semua orang, menghadapi kemungkinan serangan," kata Mark Thiessen, analis American Enterprise Institute.

Raju Febrian (Reuters, CNN, Washington Post, Foreign Policy)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus