Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gerakan kampus ini membuka katup kerinduan akan fungsi dan tanggung jawab moral kaum intelektual kampus terhadap persoalan bangsa dan negara.
Sikap keprihatinan para civitas academica ini dipicu oleh beragam kondisi, terutama posisi kekuasaan.
Konsistensi dari prinsip pengabdiannya terhadap kemanusiaan harus terus dijaga, kewarasannya mesti terus dipelihara, dan keberpihakannya wajib dipertahankan.
Herdiansyah Hamzah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan ini ramai civitas academica dari berbagai kampus menyampaikan sikap keprihatinannya terhadap kondisi bangsa. Sikap dosen dan mahasiswa itu semakin masif dan meluas di berbagai daerah. Ibarat bola salju, gerakan kampus terus menggelinding dan membesar. Gerakan ini meletup, menjalar ke mana-mana, membuka katup kerinduan akan fungsi dan tanggung jawab moral kaum intelektual kampus terhadap persoalan bangsa dan negara.
Kaum intelektual kampus yang selama ini seperti diam membisu kini secara perlahan mencoba keluar dan berusaha mengambil peran di tengah situasi demokrasi yang kian memburuk. Tapi, ingat, publik tidak boleh bergembira terlalu dini menyambut gerakan para kaum intelektual kampus ini. Karena itu, euforia tidak boleh berlebih karena konsistensi gerakan ini mesti terus dijaga.
Sikap keprihatinan para civitas academica ini dipicu oleh beragam kondisi, terutama posisi kekuasaan, dalam hal ini rezim Presiden Joko Widodo, yang dianggap gagal menjaga muruah demokrasi. Mandat reformasi seolah-olah digerus oleh beragam sikap dan kebijakan kekuasaan. Dari kooptasi terhadap lembaga-lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Konstitusi; putusan MK yang memberikan jalan bagi putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden; politisasi penyaluran bantuan sosial; hingga pernyataan Jokowi yang dianggap menggadaikan netralitasnya karena menyebut presiden boleh memihak dan berkampanye untuk salah satu pasangan calon presiden.
Tanggung Jawab Intelektual Kampus
Sikap keprihatinan para civitas academica ini memberikan pesan bagaimana seharusnya kelompok intelektual kampus bersikap terhadap kondisi bangsa dan negara. Intelektual kampus tidak boleh mengurung diri dalam tembok kampus. Mereka harus keluar dan menyelami beragam persoalan masyarakat. Hanya dengan cara itulah kelompok intelektual kampus bisa mendapatkan tempat dalam panggung kemanusiaan. Panggung tempat mereka seharusnya berada.
Mohammad Hatta, dalam pidatonya yang berjudul “Tanggung Jawab Moral Kaum Inteligensia”, menegaskan bahwa kaum inteligensia Indonesia memiliki tanggung jawab moral terhadap perkembangan masyarakat. Sebab, berdiam diri bermakna khianat terhadap dasar kemanusiaan, yakni pangkal yang seharusnya menjadi pedoman hidup bagi kaum inteligensia umumnya[1].
Namun kelompok intelektual kampus juga harus tetap membumi, sembari berpikir untuk memilihara ritme gerakannya agar tetap memiliki napas panjang. Sebab, tidak ada perubahan yang bisa didapat hanya dengan sekali pukul. Perubahan itu menuntut keteguhan atas prinsip.
Karena itu, kelompok intelektual kampus setidaknya harus memastikan tiga hal penting. Pertama, konsistensi. Setiap gerakan selalu membutuhkan konsistensi. Tanpa itu, gerakan hanya akan berwujud aktivisme. Muncul sekali, lalu menghilang begitu saja. Kedua, soliditas. Karena berasal dari keresahan kolektif, seharusnya kesolidan mampu dijaga dengan baik. Tapi watak sektarian sering kali muncul. Watak yang cenderung merasa bangga kepada almamater masing-masing. Ini yang harus dikikis bersama. Dan ketiga, persatuan. Gerakan tentu tidak bisa dimonopoli hanya oleh kelompok intelektual kampus, melainkan harus bersenyawa dengan kelompok lain (buruh, petani, perempuan, dan masyarakat sipil lainnya). Hanya dengan persatuan, daya gedor kita jauh lebih besar, posisi tawar kita jauh lebih kuat.
Munculnya Kontra-Gerakan
Setiap aksi selalu memiliki reaksi. Setiap gerakan selalu ada kontra-gerakan. Dan umumnya kontra-gerakan ini diorkestrasi oleh kekuasaan. Kontra-gerakan ini bertujuan menginterupsi gerakan dan melumpuhkan semangat. Tapi, bagi orang yang memahami manajemen gerakan, orang yang lama bergelut dengan pembangunan gerakan, pasti paham bahwa semakin ditekan, gerakan akan semakin membesar. Tinggal bagaimana kita mengelolanya dengan baik.
Lantas siapa orang-orang yang kontra-gerakan itu? Pertama, tentu saja kekuasaan. Terlebih, jika kekuasaan itu bertelinga tipis dan bermuka tebal. Mereka akan selalu bereaksi negatif terhadap setiap kritik yang dialamatkan kepadanya, bahkan cenderung represif. Faktanya, cukup banyak upaya intimidasi dan serangan yang dialami oleh kelompok intelektual kampus ini. Kedua, para intelektual kampus “kelas kambing” penyokong kekuasaan. Intelektual kampus macam ini, merujuk pada istilah Romo Y.B. Mangunwijaya, ialah para intelektual yang menghitung 4 × 4 = 20 akibat dibutakan oleh kekuasaan[2].
Kita tidak boleh lupa juga, kontra-gerakan bisa saja lahir dan berkembang biak dalam diri para intelektual kampus sendiri. Penyakit ini muncul karena mereka gampang tergoda oleh kekuasaan. Betul kata Friedrich Nietzsche, “Siapa saja yang bertanding melawan monster harus bisa memastikan bahwa, dalam prosesnya, dia tidak akan berubah menjadi monster”. Inilah tantangan terbesar dari para intelektual kampus.
Konsistensi dari prinsip pengabdiannya terhadap kemanusiaan harus terus dijaga, kewarasannya mesti terus dipelihara, dan keberpihakannya wajib dipertahankan. Salah satu cara menjaga kewarasan itu adalah selalu berupaya hadir di setiap persoalan yang dihadapi rakyat banyak. Bukan hanya bereaksi saat menjelang pemilihan umum. Mereka harus belajar berempati dalam setiap persoalan yang tengah dihadapi rakyat, dari apa yang dialami oleh warga Desa Wadas di Jawa Tengah, Poco Leok di Nusa Tenggara Timur, Air Bangis di Sumatera Barat, Pulau Rempang di Kepulauan Riau, Pakel di Banyuwangi, dan warga lainnya yang mengalami penindasan serupa.
Saat rakyat dihajar oleh kebijakan kekuasaan yang menindas, kaum intelektual kampus harus menumpahkan solidaritasnya. Dengan cara inilah konsistensi para intelektual kampus ini mampu dipertahankan. Tidak cukup dengan bersikap saat momentum pemilu.
[1] Bagian III pidato Mohammad Hatta pada Hari Alumni I Universitas Indonesia, 11 Juni 1957, yang diberi tajuk “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia”. Artikel ini dapat dibaca melalui tautan: https://nalarpolitik.com/sekolah-tinggi-arena-latihan-bertanggung-jawab/. Diakses pada 5 Februari 2024 pukul 12.00 Wita.
[2] Sumber: https://pmb.lipi.go.id/kewajiban-kaum-intelektual/. Diakses pada 5 Oktober 2021, pukul 11.03 Wita.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.