Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUSAHAAN milik Hutomo Mandala Putra itu ternyata masih punya gigi di Pertamina. Dalam perkara menyewa tanker, misalnya, perusahaan minyak dan gas negara kita susah dipisahkan dari kehadiran PT Humpuss Intermoda Transportasi. Mereka bermitra sejak 1990, ketika ayah Tommy, Soeharto, masih berkuasa.
Syahdan, saat itu tanker raksasa pengangkut gas alam cair (LNG) berkapasitas 136 ribu meter kubik milik Humpuss bernama Ekaputra dikontrak Pertamina. Setiap tahun, selama dua dekade, Pertamina menyetorkan uang sewa US$ 26 juta. Padahal biaya pembuatan tanker itu di galangan Mitsubishi, Jepang, hanya US$ 160 juta. Humpuss mengutang ke belasan bank untuk membeli tanker jumbo itu.
Dengan nilai kontrak sebesar itu, sebenarnya Humpuss hanya butuh waktu tak sampai tujuh tahun untuk mendapatkan aset tanker terbesar yang pernah dimiliki perusahaan domestik ini. Biaya cicilan cukup diambil dari setoran tahunan Pertamina. Kelar kontrak yang saat itu memang ditetapkan tanpa tender, selain utangnya lunas dan punya tanker gede, Humpuss pun menangguk untung ratusan juta dolar.
Ketika kontrak panjang itu berakhir pada Desember 2009, Pertamina sebenarnya bisa menyatakan wassalam terhadap praktek pemerahan perusahaan negara warisan Orde Baru ini. Tapi petinggi Pertamina punya rencana lain. Dengan dalih bisa beruntung, mereka memilih opsi memperpanjang sewa si gaek Ekaputra selama lima tahun dengan harga supermiring, hanya US$ 3,2 juta per tahun.
Inilah awal kejanggalan kontrak Ekaputra. Tahun pertama perpanjangan kontrak, tanker jumbo itu malah menganggur, mengapung-apung saja di lepas pantai Bontang, Kalimantan Timur. Perhitungan bisnis Pertamina yang memplot Ekaputra untuk pengapalan gas dari Donggi-Senoro meleset. Lapangan gas di Sulawesi itu belum beroperasi sampai sekarang. Kalkulasi bisnis ternyata salah. Pertamina merugi.
Tak habis akal, sejumlah petinggi Business LNG Pertamina lalu menjajakan Ekaputra—dan tanker Dwiputra, kapal lain yang juga dikelola Humpuss—ke WBX, konsorsium perusahaan Jepang yang sudah lama berlangganan membeli gas kita di Blok Mahakam.
WBX setuju menyewa Ekaputra untuk mengirim LNG pesanannya ke Jepang selama 10 tahun sejak dua tahun lalu. Sesuai dengan perhitungan harga sewa tanker di pasaran, nilai sewa Ekaputra pun dibanderol lumayan tinggi: US$ 11 juta per tahun.
Pertamina bisa berkilah bahwa tindakan mereka semata demi optimalisasi bisnis. Ketimbang Ekaputra menganggur dan biaya sewanya menjebol kantong, lebih baik tanker itu disewakan lagi ke pihak ketiga—dengan harga lebih dari tiga kali lipat. Namun kenyataan di lapangan tak sesederhana itu. Investigasi Tempo menemukan bahwa bos Business LNG Pertamina diam-diam menegosiasikan kontrak baru Ekaputra dengan pimpinan Humpuss Intermoda.
Akrobat kontrak pun disusun, agar duit dari selisih nilai sewa tanker itu bisa dibagi dua. Kontrak kedua Ekaputra yang baru berusia setahun seolah-olah diputus dan diganti dengan kontrak baru. Di bawah meja, petinggi Humpuss dan Pertamina menandatangani mutual termination agreement yang mengatur pembagian keuntungan dari kontrak pengapalan LNG Ekaputra ke Jepang.
Dengan skema baru ini, memang Pertamina tak jadi rugi. Tapi Humpuss pun ketiban rezeki nomplok. Dari semula hanya memperoleh US$ 3,2 juta per tahun, perusahaan yang didirikan putra bungsu mantan presiden Soeharto itu mendapat US$ 4,84 juta per tahun. Pada lima tahun kedua—ketika sewa Ekaputra oleh Pertamina berakhir—Humpuss lebih diuntungkan lagi: total nilai sewa sebesar US$ 11 juta per tahun masuk langsung ke kas Humpuss.
Skema kontrak baru inilah yang menimbulkan tanda tanya. Kuat diduga, ada segelintir pejabat Pertamina yang bekerja untuk kepentingan Humpuss. Toh, kontrak yang disetujui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)—sebagai wakil pemerintah dalam urusan ekspor LNG—telanjur diteken. Badan ini harus ikut bertanggung jawab, meski bertindak taktis tanpa menyetujui secara eksplisit nilai sewa baru Ekaputra sebesar US$ 11 juta per tahun.
Bola kini ada di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak Juli tahun lalu, sejumlah pejabat Pertamina dan BP Migas sudah diperiksa. Semua dokumen, data, dan keterangan saksi sudah ada di Kuningan. Komisi kudu menyelidiki kasus ini secara intensif. Jika perlu, Badan Pemeriksa Keuangan diundang untuk melakukan audit atas perjanjian sewa tanker yang sarat patgulipat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo