Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYERBUAN disertai pembakaran terhadap pesantren sekte Syiah di Sampang, Madura, jelas merupakan tindakan kriminal. Sejumlah bangunan dan rumah penduduk rusak. Ada orang yang terluka, bahkan nyawa melayang. Aparat kepolisian harus segera menangkap para pelakunya. Perbuatan melawan hukum ini pantas jika diganjar maksimal untuk menimbulkan efek jera.
Republik ini tak boleh mendiamkan adanya kelompok minoritas yang tidak hanya tersisih, tapi juga dianiaya dan asetnya dimusnahkan hanya karena agama dan keyakinannya berbeda. Kelompok minoritas seperti Kristen, Ahmadiyah, Bantaqiyah, Syiah, dan penganut agama asli harus dilindungi negara. Mereka berhak hidup di negeri yang menjamin kebebasan individu dalam beragama dan berkeyakinan—seaneh apa pun aliran dan ajarannya.
Hak hidup untuk mereka sudah amat gamblang diatur dalam konstitusi kita yang telah diamendemen keempat kalinya. Pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan ihwal kebebasan warga negara untuk meyakini dan menjalankan keyakinan masing-masing. Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyebutkan bahwa hak untuk hidup dan tidak disiksa serta kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.
Perkara ini bahkan sudah menjadi perkara global, tak cuma menjadi urusan domestik. Pada 2005, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik—sudah dicetuskan sejak 1966—melalui UU Nomor 12/2005. Pasal 18 kovenan ini melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, termasuk hak memeluk kepercayaan. Ratifikasi ini menegaskan bahwa ketentuan dalam hukum internasional itu dipakai menjadi hukum nasional.
Kovenan ini sangat penting artinya. Setiap individu yang semula tunduk di bawah kuasa negara digeser menjadi individu yang memiliki hak dalam negara. Negara harus berkomitmen mengakui otonomi spiritual setiap individu. Karena itu, setiap orang harus dilepaskan dari paksaan atas dasar agama atau dari perlakuan sebagai obyek kepentingan ideologi penguasa. Manusia harus dihormati, apa pun orientasi ideologis dan spiritual yang diyakininya.
Komunitas internasional pernah pula mengatur hak-hak ini. Pada 25 November 1981, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi nomor 36/55/1981 tentang Declaration of the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief. Deklarasi ini mendukung kebebasan beragama secara luas, baik berbentuk keyakinan maupun ekspresi keyakinan, berupa ibadah, pendirian rumah ibadah, komunitas, dakwah, dan penyebaran gagasan melalui pelbagai media.
Walhasil, di kertas, hukum negara sudah mengatur ihwal kebebasan beragama dan berkeyakinan ini semakin baik. Konsekuensinya, negara wajib menggunakan sumber dayanya secara maksimal untuk menjamin terpenuhinya hak atas kebebasan beragama. Hak ini, sekali lagi, tak dapat dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apa pun, bahkan ketika negara dalam keadaan darurat. Negara, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat, yang meratifikasi kovenan tadi, seharusnya terikat untuk kemudian menjalankannya sepenuh hati.
Negara tak boleh diperalat untuk menginjak-injak kelompok mana pun yang berbeda keyakinan dengan kelompok mayoritas. Karena itu, sikap Menteri Agama Suryadharma Ali yang menyerahkan sepenuhnya keputusan sesat-tidaknya aliran Syiah kepada Majelis Ulama di Sampang dan Jawa Timur jelas keliru. Sebab, keyakinan tak bisa diadili. Juga, menyerahkan urusan ini kepada institusi fatwa berarti memaksakan masuknya hukum agama ke dalam hukum negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo