Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Aletheia

Aletheia

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebenaran? Hari ini ia tak ada lagi, kata orang. Kita hidup dalam keadaan “pasca-kebenaran”. Apa yang “benar” tak penting—mungkin tak perlu ada.

Dan bukan cuma hari ini, jika kita percaya kepada yang dikatakan Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century. Menurut sejarawan ini, “pasca-kebenaran” tak hanya terjadi sekarang. Ia bagian yang melekat pada manusia. “Homo sapiens itu spesies pasca-kebenaran,” tulisnya. “Kekuatannya bergantung pada mencipta dan percaya fiksi.” Dengan itu terbentuk jaringan sosial manusia, lewat “kisah tentang mukjizat, malaikat, setan, hantu, dan juru tenung.”

Agama? Ya, menurut Harari. Baginya agama adalah “sebuah kabar palsu” yang dipercaya “ratusan juta manusia selama seribu tahun”. Agama, seperti politik, berkepentingan menyatukan dan mengendalikan manusia, dan untuk itu diperlukan mithos, dongeng, dan propaganda.

Dalam hal itu agama berhasil: bisa dibuatnya manusia bekerja sama dalam skala besar untuk membangun rumah sakit, sekolah, jembatan, tentara, penjara. “Adam dan Hawa tak pernah ada,” tulis Harari, “tapi Katedral Chartres tetap indah.” Sebagian besar isi Injil mungkin fiksi, tapi tetap membawa kegembiraan kepada jutaan manusia, seperti novel Don Quixote dan kisah Harry Potter.

Kata-kata ini tentu tak menyenangkan banyak orang yang beriman, tapi Harari sejarawan Israel yang tiap hari melihat jejak lama agama-agama yang mengagumkan tapi sekaligus juga bentrokan bengis yang berkelanjutan. Ia tak mengikuti agama-agama Ibrahimi. Ia menjalankan meditasi Vipassana, termasuk 60 hari dalam setahun membisu. Tapi saya tak menganggapnya religius: meditasi itu, sebagaimana agama, baginya punya tujuan pragmatis, bukan spiritual: ia tak menampiknya selama ia punya tujuan yang berguna. Meditasinya, kata Harari, adalah untuk melatihnya memfokuskan diri.

Pemaparan Harari terang-benderang—dan itulah soalnya: kita bisa silau dan tak melihat apa yang sebenarnya tak terang-benderang. Harari meletakkan agama dan mithos sebagai bagian “pasca-kebenaran”, tapi ia tak menjelaskan apa gerangan “kebenaran” sebelum itu. Dan ketika ia menyebut “kabar palsu”, ia membawa kita untuk mengasumsikan ada kabar yang tak palsu. Tapi juga ia tak menegaskan apa itu.

Saya punya kesan ia seorang positivis abad ke-18 yang dilahirkan kembali—dan terlambat. Ia tak bermaksud menafikan adanya kebenaran. Tapi, kata Harari, “Kita harus berusaha lebih keras untuk mendapatkannya.” Caranya: dengan “membedakan realitas dari fiksi”.

Tapi apa yang dianggapnya “realitas”? Tampaknya, seperti yang umumnya diakui pelbagai varian Positivisme, Harari mengunggulkan ilmu sebagai sumber yang paling bisa dipercaya dalam menangkap realitas dan dengan itu menemukan kebenaran. Ilmu dipercayai karena bisa diuji dengan pembuktian empiris. Artinya, pembuktian yang bertolak dari “realitas”, dan “realitas” adalah wujud yang bisa ditangkap pancaindra.

Saya duga Harari tak kenal kritik Werner Heisenberg, pelopor fisika kuantum: “Kaum positivis punya satu solusi sederhana: dunia harus dibagi ke dalam apa yang bisa kita utarakan dengan jelas dan yang selebihnya—yang lebih baik kita diamkan.” Ada kecenderungan Harari untuk itu, sejak bukunya yang pertama kali menarik jutaan pembaca, Sapiens.

Dalam Sapiens, misalnya, ia anggap bahasa manusia unggul karena mampu “menyampaikan hal-hal yang tidak ada”, things that do not exist. Maksudnya, “seluruh jenis entitas yang tak pernah mereka lihat, sentuh, atau hidu”. Dengan kata lain: apa saja yang tak dapat ditangkap pancaindra berarti “tak ada”, atau “fiksi”. 

Ini kekeliruan elementer. Sebab dengan itu ia anggap “nol” adalah “fiksi”—padahal konsep tentang “nol” penting dalam matematika, dan matematika penting dalam fisika, dan fisika….

Kesalahan dasar Harari sesungguhnya tak perlu terjadi andai kata ia lebih mengenal dunia di mana “kebenaran” adalah proses yang berbeda dengan yang ia temukan dalam ilmu-ilmu: kebenaran dalam potret diri Affandi dan Frida Kahlo, dalam saat Romeo jatuh cinta kepada Juliet, dalam ekspresi Chairil Anwar yang selalu menyentuh, “Tuhanku, dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu....”

Kebenaran di situ berbeda dengan yang dirumuskan doktrin agama dan ilmu pengetahuan. Saya meminjam Alain Badiou untuk itu, yang membedakan “kebenaran” dengan “pengetahuan”.

“Pengetahuan” hanya sebuah repetisi, kata Badiou, atau modifikasi dari apa yang sudah diketahui. Ilmu berkembang dengan bertolak dari kesimpulan ilmiah sebelumnya. Kebenaran, kata Heidegger, tak demikian; ia muncul dalam “aletheia”, seperti saat kita terpesona pada novel Seratus Tahun Kesendirian Garcia Marquez: tak lazim, tapi di dalamnya kita tangkap sesuatu yang tak berbohong.

Kebenaran, dengan kata lain, punya proses dan kekuatan yang membuatnya terus-menerus melintasi ruang dan waktu. Hanya yang melihat hidup sebagai gerak mekanistis, seperti Harari, yang bisa mengatakan ada “pasca-kebenaran”.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus