Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menyiapkan peta jalan menuju endemi Covid-19.
Beberapa negara yang sudah menuju ke sana memiliki tingkat penularan rendah dan vaksinasi tinggi.
Saran WHO bisa menjadi rujukan Indonesia.
DUA tahun berjibaku melawan Covid-19 hendaknya tidak membuat pemerintah kehilangan kesabaran dan ingin cepat-cepat mengalihkan status wabah dari pandemi ke endemi. Ancang-ancang untuk itu telah diambil. Pekan lalu Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan pelonggaran aturan-aturan yang membatasi aktivitas publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo bahkan sudah melontarkan niat untuk meninggalkan fase pandemi sejak November 2021 saat meninjau vaksinasi di Bantul, Yogyakarta. Katanya, kita harus mulai menyiapkan transisi dari pandemi ke endemi dan juga mulai belajar hidup bersama dengan Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Status endemi memang didambakan karena secara lebih luas akan memberi ruang pada pergerakan roda perekonomian. Pandemi Covid-19 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi 2,07 persen dan lebih dari 2 juta orang kehilangan pekerjaan pada 2020—selain korban jiwa yang tak sedikit. Walau kurva telah kembali terungkit, tumbuh 3,9 persen pada tahun lalu, kondisi ekonomi belum membaik. Utang luar negeri masih tinggi untuk menutup segala pembiayaan.
Kementerian Kesehatan akan mengadopsi indikator Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam mempersiapkan peralihan status. Di antaranya angka rata-rata reproduksi atau R kurang dari 1—artinya setiap penderita Covid-19 hanya menularkan virus kepada kurang dari satu orang—dan laju penularan harian tidak lebih dari 5 persen. Sepekan terakhir angka rata-rata reproduksi Covid-19 di Indonesia masih di atas 1, dengan tingkat penularan harian 15,47 persen.
Persentase vaksinasi kita pun masih jauh dari memadai. Beberapa negara yang telah mengumumkan bersiap untuk beralih ke fase endemi rata-rata memiliki angka tinggi vaksinasi penuh dibanding total penduduk: Inggris 73,6 persen, Denmark 81,3 persen, dan Singapura 86,6 persen. Orang Indonesia yang telah divaksin dua kali, menurut data terakhir, baru 148,5 juta atau sekitar 54,9 persen.
Dengan data itu, peralihan status hendaknya tidak terburu-buru diambil. Status wabah hendaknya tidak sekadar menjadi stempel bagi kembalinya aktivitas sosial tanpa batasan.
Peta jalan menuju endemi meliputi perbaikan sistem vaksinasi dan pelayanan kesehatan harus disiapkan. Selain agar target vaksinasi segera tercapai—sedikitnya 208.265.720 orang divaksin penuh, atau sekitar 70 persen, untuk mencapai imunitas kelompok—perlu disiapkan sentra-sentra pelayanan vaksin yang luas untuk kegiatan revaksinasi dan antisipasi lain di masa depan. Patut diingat, antibodi yang terbentuk oleh vaksin ataupun pasca-infeksi Covid-19 tidak abadi. Publik perlu mengulang vaksinasi secara periodik.
Hidup bersama Covid-19 berarti pemerintah berkewajiban menyiapkan skema subsidi layanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu. Mereka tidak boleh menjadi rantai lemah dalam pertahanan masyarakat terhadap Covid-19 dan kemungkinan pandemi lain. Pemerintah harus menyiapkan skenario untuk merespons secara cepat jika muncul varian baru atau problem-problem krusial seperti ketersediaan tabung oksigen dan alat penunjang kesehatan lain.
Yang tidak kalah penting adalah merumuskan pengertian “hidup bersama Covid”. Kita barangkali sudah terbiasa dengan bekerja atau belajar dari rumah, berbelanja daring, atau mencuci tangan dengan sabun dan menyimpan oksimeter—alat pengukur kadar oksigen dalam darah—di rumah. Lebih dari itu, aktivitas luar rumah yang aman—termasuk mengumpulkan orang dalam jumlah besar—harus secepatnya dirumuskan. Patut diingat, sebentar lagi kita memasuki Ramadan dan Lebaran. Perihal protokol aman mudik dan aktivitas Idul Fitri hendaknya dirumuskan jauh-jauh hari.
Tentu saja, pada akhirnya, perubahan status wabah harus mengacu kepada WHO. Badan dunia itu sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda mencabut status pandemi. Argumentasi mereka: virus Covid-19 masih bermutasi dengan cepat dan banyak hal tentang virus itu belum diketahui dengan pasti.
Mesti tidak ada kewajiban hukum mematuhi keputusan WHO, Indonesia selayaknya menjadikan badan itu sebagai rujukan. Pandemi merupakan persoalan global sehingga penyelesaiannya mesti dilakukan bersama-sama warga bumi lain—bukan dengan pertimbangan yang sempit, lokal, apalagi jangka pendek.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo