Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada enam orang tewas dalam kerangkeng Bupati Langkat Terbit Rencana Peranginangin.
Selain korupsi ada pelanggaran hak asasi manusia dalam perkara ini.
Mengapa polisi Sumatera Utara terkesan lamban mengusutnya bahkan seolah melindungi Bupati Langkat?
KEPOLISIAN Daerah Sumatera Utara seharusnya tak mengulur-ulur penuntasan kasus perbudakan manusia yang diduga dilakukan oleh Bupati Langkat nonaktif, Terbit Peranginangin. Sikap polisi yang memperlambat penyidikan tak hanya mencederai rasa keadilan para korban dan keluarganya, tapi juga menumpulkan kepercayaan publik terhadap penegak hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga pekan lalu, polisi tak juga menetapkan Terbit sebagai tersangka kasus perbudakan dan penyiksaan. Padahal kerangkeng yang diklaim Terbit untuk merehabilitasi pecandu narkotik itu telah ditemukan pada 24 Januari lalu. Namun baru lima pekan kemudian polisi menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan. Itu pun tanpa satu orang disebutkan sebagai tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, Kepolisian Daerah Sumatera Utara memang terlihat ogah-ogahan membuka penyelidikan kasus tersebut. Seharusnya mereka bisa lebih cepat memasang garis pembatas polisi di kerangkeng yang berada di rumah pribadi Terbit. Namun, baru sembilan hari setelah sel ilegal itu ditemukan, polisi memasang pita kuning sebagai tanda tempat kejadian perkara.
Kepala Polda Sumatera Utara Inspektur Jenderal R.Z. Panca Putra juga ikut mencuci dosa Terbit dengan buru-buru mengatakan penjara itu berdiri atas niat baik Bupati Langkat untuk merehabilitasi pecandu narkotik. Pernyataan Panca bisa dibaca sebagai penegakan hukum yang berat sebelah, kompromistis, dan melindungi pelaku.
Kepala Polda Sumatera Utara juga tak mengusut anak buahnya yang bertahun-tahun mendiamkan praktik lancung tersebut. Jenderal Panca seolah-olah lupa bagaimana seharusnya pemimpin penegak hukum bertindak. Ia pun seharusnya mendisiplinkan anak buahnya yang menghambat penuntasan kasus Terbit alih-alih melindungi tindakan tercela mereka.
Kebiadaban yang dilakukan Terbit bersama kerabat dan anak buahnya sudah tak terbantahkan. Ia seenaknya mendirikan tempat rehabilitasi pecandu narkotik. Mereka yang ditahan di sana dipekerjakan tanpa dibayar dan tak mendapat libur. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun menemukan setidaknya ada enam korban tewas akibat disiksa.
Perbudakan era baru ala Terbit itu jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Bupati yang juga terjerat kasus suap dan kini ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi itu telah menjadi don mafia yang bertindak brutal terhadap siapa pun. Mahasiswa hukum semester awal pun tahu bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Langkat itu telah melakukan kejahatan dan layak diseret ke pengadilan.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus bertindak tegas. Ia perlu mencopot Kapolda Panca Putra yang tak bernyali dan tebang pilih mengusut kejahatan. Listyo bisa menugasi Badan Reserse Kriminal mengambil alih kasus itu untuk memberikan rasa keadilan bagi para korban dan keluarganya.
“Raja kecil” seperti Terbit Rencana Peranginangin yang tanpa malu melakukan kejahatan kemanusiaan itu tidak boleh dibiarkan terbebas dari jerat hukum. Kejahatan Terbit, kerabat, dan anak buahnya harus diusut tuntas. Para penegak hukum yang hanya diam atau tak menuntaskan kasus tersebut jelas lebih buruk ketimbang pelaku kejahatan itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo