Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1950-an, orkes RRI pimpinan komponis Ismail Marzuki melahirkan lagu “Hari Lebaran”. Liriknya berbunyi: “Setelah berpuasa satu bulan lamanya/Berzakat fitrah menurut perintah agama/Kini kita beridul fitri berbahagia/Mari kita berlebaran bersuka gembira.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata beridul fitri pada lirik lagu itu bergantian dengan berlebaran dengan makna yang jelas bahwa setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan selama satu bulan, umat Islam merayakan Lebaran sebagai hari raya. Farid Esack, intelektual muslim ternama Afrika Selatan, bercerita, ketika ia kecil pada 1970-an, kakek-neneknya yang berdarah Melayu sering mengatakan “Salamat Lebarang” kepada sanak-saudara dan kaum muslim di Cape Town.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Jawa, mungkin tidak semua orang menggunakan kata lebaran, meskipun, konon, tradisi ini sudah ada sejak abad ke-16. Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia II (1993) susunan Sri Nardiati dkk. mencantumkan riyaya sebagai sinonim Idul Fitri. Antropolog Clifford Geertz setidaknya menyebut tiga kali kata riyaya sebagai hari besar yang mengakhiri bulan puasa di Jawa (Geertz, 1960).
Di Malaysia, pelafalan Idul Fitri sedikit berbeda, yakni Aidil Fitri. Meskipun Siti Nurhaliza, penyanyi terkenal Malaysia, sudah mengeluarkan dua lagu religi berjudul “Sesuci Lebaran” dan “Nazam Lebaran”, dari dulu hingga kini istilah Lebaran di Malaysia adalah Aidil Fitri, Hari Raya Aidil Fitri, atau terkadang “raya” saja.
Yang juga menarik diselisik dari lagu Ismail Marzuki di atas adalah lirik berikutnya: “Minal aidin wal faidin/Maafkan lahir dan batin/Selamat para pemimpin/Rakyatnya makmur terjamin.” Vokalis lagu ini, Suyoso Karsono, melafalkan frasa minal aidin wal faidin. Kalimat ini tentu berasal dari kosakata bahasa Arab. Sebagian ulama mengatakan bahwa kalimat itu seharusnya minal aidin wa faizin. Menurut pakar tafsir Quraish Shihab, kata minal ’aidin berarti “semoga kita termasuk yang kembali” dan al-faizin, yang berasal dari kata fawz, berarti “keberuntungan, bukan materi, tetapi ampunan dan ridha Allah bagi mereka yang mempraktikkan Islam dengan benar” (Wiwoho, 2016).
Apa yang kita lihat sebagai ucapan selamat Lebaran yang proper baru muncul sekitar 1960-an melalui lagu “Lebaran” yang dinyanyikan Oslan Husein dan diiringi oleh Orkes Widjaja Kusuma pimpinan M. Jusuf. Lirik di bagian awalnya adalah: “Selamat hari lebaran/Minal aidin wal faizin/Mari bersalam-salaman/Saling bermaaf-maafan.”
Dalam tradisi Sunda di Jawa Barat, Lebaran punya arti yang beragam. Maman Sumantri dkk., dalam Kamus Sunda-Indonesia (1985), menyebutkan istilah lebaran berasal dari kata lebar, yang salah satu artinya adalah bebas, seperti dalam frasa lebaran puasa yang bermakna “bebas dari puasa”. Yang menarik, dalam penggunaan bahasa halus, istilah lebaran berubah bentuk menjadi boboran siam, seperti dalam ungkapan “Sarehing boboran siam, mugi kersa ngahampunten samudaya kalepatan” (Berhubung dengan hari raya Lebaran, sudi kiranya memaafkan segala kekhilafan).
Dari perspektif antropologi bahasa, dapat dilihat bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam mengkonsolidasikan dan memperkuat relasi sosial dalam konteks masyarakat. Perayaan Idul Fitri atau Lebaran memperlihatkan variasi dan perkembangan bahasa yang mencerminkan dinamika budaya dan nilai-nilai yang terus mengalami transformasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lebaran"