Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Redontena, Adonara, sebagaimana kebanyakan rumah di Flores Timur dan kawasan budaya lamaholot, yang hidup dan yang mati damai berdampingan. Makam-makam keluarga dan kerabat ada di sekitar rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Adonara, yang Katolik dan yang muslim juga hidup dan mati secara damai. Di sebuah rumah, di depan masjid kecil, ada makam sepasang suami-istri dikelilingi pagar pendek dan atap seng. Di sebelah kiri, pada makam sang istri dimahkotai nisan berlambang bintang dan bulan sabit. Di sisi kanan, pada makam sang suami, nisannya dimahkotai salib. Perbedaan agama tidak pernah menjadi masalah di keluarga-keluarga Adonara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tolonglah si Bobi, hari sudah gelap, ia belum juga pulang. Kunci mobilnya hilang di gosong pasir saat mengantarkan orang-orang berenang.” Mama Aran berdoa kepada arwah leluhur, bersujud menghadap sebuah lampu minyak dengan nyala kecil di meja sesaji. Di belakang lampu dan piring-piring sesaji itu, tegak berdiri dua foto kerabat yang sudah meninggal. Meja sesaji ada di setiap sudut rumah di pulau itu, dalam bahasa lamaholot disebut riu hikhu. Riu hikhu adalah sudut untuk yang hidup berdialog dengan leluhur.
Pagi saat menyantap sarapan, saya bertemu dengan Bobi yang menceritakan bahwa ia kemalaman karena mencari dukun untuk meminta petunjuk di mana kunci mobilnya. Adat dan leluhur mendasari perilaku dan mengatasi semua jenis perbedaan identitas di Adonara.
Dengan perahu motor, pulau di Flores Timur bisa dicapai dalam tempo 10 menit dari Kota Larantuka yang legendaris. Pelabuhan utama Adonara berhadapan dengan pulau-pulau dan pantai yang permai, di hadapannya berdiri tegak Gunung Ile Mandiri. Di belakang pantai, sekitar 30 menit perjalanan ke dalam pulau itu, kota dan kampung tumbuh. Pulau ini juga dipelihara oleh sebuah gunung api bernama Ile Boleng. Sayangnya, wajah pulau ini juga diselubungi oleh reputasi dan mistifikasi yang brutal.
Awalnya adalah tulisan antropolog Belanda, Ernst Vatter, di tahun 1932. Dalam Ata Kiwan, Vatter menulis:
Tidak ada wilayah di sebelah timur Hindia Belanda di mana banyak terjadi pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penggerebekan dan pelanggaran brutal yang diadili di Larantuka dilakukan oleh orang Adonara. Tidak ada pulau lain di sebelah timur kepulauan Hindia yang memiliki reputasi buruk baik di kalangan orang Eropa maupun penduduk wilayah tetangga selain pulau ini, yang secara alami diberkati dengan keindahan dan kesuburan dan yang penduduknya dibedakan dari tetangganya karena kecerdasannya yang luar biasa, usaha, kemampuan beradaptasi, dan vitalitas tanpa batas. Bukan hanya kutukan pertikaian darah yang membebani negeri ini dan hubungan yang fatal dari tahun ke tahun menuntut korban yang berulang-ulang.
Vatter menjuluki Adonara pulau para pembunuh, berdasarkan temuan dan pengalamannya bertemu dengan perang adat yang brutal dengan dendam maut yang turun-temurun dari generasi ke generasi. Menurut dia, a war would be fought after a harvest in order to return strength to the land (Vatter dalam Barnes, 2005). Temuan Vatter diperkuat insiden pada 1934, ketika dua kelompok saling membunuh, memenggal, dan memutilasi (Barnes, 2005). Sayangnya, temuan-temuan Vatter itu tidak secara jeli menjelaskan dimensi ideasional di belakang persoalan tanah dan kekerasan.
Perang dan penyelesaian adat bagi orang Adonara adalah instansi pertama sekaligus terakhir untuk menentukan yang adil dan yang benar. Mereka percaya bahwa yang benar menjadi yang terakhir hidup. Perang dengan kemungkinan hidup atau mati adalah sarana paling efisien menemukan kebenaran dan keadilan, bukan hanya dalam urusan tanah dan properti, tapi juga dalam sengketa sehari-hari di pulau itu.
Julukan Vatter bahwa Adonara adalah pulau para pembunuh merupakan label yang penuh mistifikasi, membubuhkan kesan brutal yang melekat dan dibawa ke mana-mana pada orangnya. Barnes yang meneliti Adonara di tahun 2000-an awal mematahkan secara halus label Vatter. Kekerasan komunal di Adonara, menurut dia, telah redup dimakan brutalitas negara Orde Baru.
Di tengah kampung Redontena, saya diajak melihat batu keramat yang di atasnya ditanam sebatang bambu dengan tujuh ruas. Batu itu disebut nubanara. Orang yang merasa diperlakukan tidak adil boleh mengadu ke batu itu. Mereka percaya keadilan akan datang untuk ia dan keturunannya, malapetaka akan turun untuk mereka yang menyakitinya. Di Adonara, negara ada di pinggiran, keseimbangan hukum dan tatanan lebih banyak dijamin adat.
Laporan BBC pada 7 Maret 2023 menyiarkan sepertiga warga Kecamatan Ile Boleng di Adonara merantau ke Malaysia timur, bekerja di perkebunan-perkebunan melalui jalur migrasi tradisional yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Kerja di Malaysia menghidupi kampung-kampung di Adonara.
Adonara bukan pulau para pembunuh. Ia pulau orang-orang sederhana yang meyakini kebenaran tersambung lurus dunia-akhirat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo