Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUNJUNGAN Paus Fransiskus ke Jakarta selama 3-6 September 2024 memunculkan kembali pertanyaan mengenai mengapa orang Indonesia menyebutnya “Paus”, tidak seperti media-media berbahasa Inggris yang menyebutnya Pope Francis. Kita mesti melihatnya dari tradisi penyerapan kata asing ke bahasa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjajahan Belanda tentu mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Banyak kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Belanda dan masih kita gunakan hingga kini, seperti kantor dari kata kantoor, aspal dari asfalt, bensin dari benzine, besuk dari bezoek, parlemen dari parlement, oranye dari oranje, dan bioskop dari bioscoop.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebiasaan ini juga berlaku dalam penyerapan sejumlah istilah dari khazanah Kristen, termasuk paus. Penutur bahasa Belanda menyebut Pope Francis sebagai Paus Franciscus. Media Belanda, NU.nl, pada 3 September 2024, misalnya, menulis, “Paus Franciscus is dinsdag aangekomen in de Indonesische hoofdstad Jakarta” (“Paus Fransiskus tiba di ibu kota Indonesia, Jakarta, pada hari Selasa”).
Penyebutan Paus Franciscus itulah yang diserap ke bahasa Indonesia menjadi Paus Fransiskus. Jadi kita sebenarnya menyerap istilah “paus” bukan dari bahasa Inggris, melainkan bahasa Belanda. Ini juga dipaparkan Valentinus Galih Vidia Putra dalam buku Alkitab dalam Paradigma Fisikawan Edisi 2: Mengenal Kekayaan Gereja Kristen Universal (Katolik) (2020). Adapun Fransiskus kita serap dari Franciscus memakai kaidah penyerapan yang mengubah “c” menjadi “k”, seperti dalam Benediktus dan Kanada.
Karena itu, penyerapan nama tersebut bukan hanya terjadi pada Fransiskus, melainkan juga pada paus-paus sebelumnya. Di antaranya Petrus, dari Petrus (bahasa Belanda) atau Peter (bahasa Inggris); Benediktus XVI, dari Benedictus XVI atau Benedict XVI; Yohanes Paulus II, dari Johannes Paulus II atau John Paul II; Paulus VI, dari Paulus VI atau Paul VI; serta Gregorius XVI, dari Gregorius XVI atau Gregory XVI. Dari contoh-contoh itu tampak jelas bahwa nama-nama paus yang kita gunakan merujuk pada penamaannya dalam bahasa Belanda, bukan bahasa Inggris.
Bahasa Latin adalah bahasa resmi Vatikan. Maka nama resmi Paus Fransiskus adalah Francis, seperti yang tercantum dalam Fratelli Tutti, ensiklik atau surat amanat paus ketiga Fransiskus yang terbit pada 3 Oktober 2020. Namun Vatikan juga mengakui penyebutan nama Fransiskus dalam bahasa lain, yang tecermin dalam beberapa versi terjemahan dokumen tersebut, seperti Franciscus (bahasa Belanda), Francis (Inggris), François (Prancis), Francesco (Italia), dan Franziskus (Jerman).
Masalahnya, mengapa kita juga menyebut paus untuk mamalia laut besar seperti paus biru (Balaenoptera). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga (2008) ataupun Kamus Umum Bahasa Indonesia (1954) karya W.J.S. Poerwadarminta sama-sama mencantumkan makna paus sebagai pemimpin tertinggi Katolik dan mamalia laut besar, yang juga disebut ikan gajah mina dan ikan lodan—penyebutan yang keliru karena paus bukan ikan.
Lodan sebutan bagi ikan raksasa dalam bahasa Jawa. Adapun gajah mina sebutan makhluk mitologis Hindu berwujud ikan raksasa berkepala gajah. Dua nama alternatif ini kalah populer dibandingkan dengan paus. Makna kedua itu jelas bukan bersumber dari bahasa Belanda, yang menyebutnya dengan nama walvis, serumpun dengan whale dalam bahasa Inggris.
Hanya dua negara yang menyebut hewan laut itu sebagai paus, yakni Indonesia dan Malaysia. Kamus Dewan Edisi Keempat (2005), kamus bahasa Melayu Malaysia, mencantumkan lema paus dengan dua definisi yang mirip dengan KBBI, termasuk penyebutan ikan gajah mina dan ikan lodan sebagai nama lain paus sebagai mamalia laut.
Tampaknya kata paus untuk binatang laut ini berasal dari khazanah bahasa Melayu dan sudah lama digunakan masyarakat penuturnya. Nicholas Belfield Dennys, dalam A Descriptive Dictionary of British Malaya (1894), mencatat orang Melayu sudah menyebut whale sebagai “ikan paus”. Dia juga menyatakan mereka menyebut ikan pari manta sebagai pari paus.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dua Paus"