Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Lingkungan dan kepolisian membongkar perdagangan cula badak senilai Rp 245 miliar.
Badak jawa dan badak sumatera masuk daftar merah IUCN karena populasinya terancam punah.
Pemerintah perlu mengoreksi kebijakan pelindungan badak dengan pelibatan lembaga konservasi yang lebih luas.
KABAR tentang penangkapan pelaku perdagangan cula badak tersiar hampir setiap tahun. Apakah itu pertanda keberhasilan? Jelas bukan. Berulangnya perdagangan ilegal cula badak justru mengingatkan kita pada kenyataan pahit bahwa populasi satwa langka tersebut makin berkurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus terbaru terjadi pada 27 Agustus 2024, ketika Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bersama Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, menggagalkan penjualan delapan cula badak senilai Rp 245 miliar di Palembang. Sebelumnya, pada April 2024, Polda Banten menangkap pelaku transaksi cula badak senilai Rp 525 juta yang melibatkan pembeli asal Cina dan penjual dari Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia terdapat dua spesies badak, yaitu badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) dan badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Berdasarkan catatan Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), kedua spesies ini termasuk kategori satwa yang menghadapi risiko kepunahan sangat tinggi alias critically endangered. Populasi badak jawa kini hanya tersisa 68 individu, sementara badak sumatera diperkirakan kurang dari 100 ekor.
Maraknya kasus perdagangan ilegal cula badak menunjukkan bahwa, bahkan di kawasan konservasi seperti taman nasional, mamalia besar itu masih rentan terhadap perburuan. Badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, dan badak sumatera di beberapa taman nasional di Sumatera menghadapi ancaman yang sama.
Pemerintah memang telah berupaya memperkuat aspek hukum, termasuk melalui revisi Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menaikkan hukuman bagi pelaku kejahatan terhadap satwa liar menjadi maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp 5 miliar. Undang-undang ini juga menyediakan pasal pidana dan denda untuk korporasi. Namun pelindungan badak tidak selesai dengan revisi undang-undang, terutama jika pelaksanaannya masih setengah hati.
Baca liputannya:
Konservasi juga tidak cukup hanya dengan menghukum pelaku kejahatan. Inti konservasi adalah menjaga satwa tetap aman di habitatnya. Dengan masih terjadinya perburuan dan perdagangan cula, jelas ada celah dalam sistem pelindungan yang perlu diperbaiki. Pemerintah harus memastikan habitat badak terlindungi sehingga populasinya tidak berkurang atau bahkan bisa bertambah.
Usaha konservasi juga membutuhkan biaya besar dan keahlian yang mumpuni, baik untuk merawat habitat maupun mengawasi keamanan satwa dengan teknologi seperti kamera jebak. Karena itu, dukungan dari lembaga nonpemerintah, seperti World Wildlife Fund for Nature atau WWF, sebelumnya sangat membantu. Sayangnya, karena alasan yang terkesan politis, pemerintah malah menghentikan kerja sama tersebut pada 2020.
Badak perlu dilindungi bukan hanya karena perintah undang-undang, melainkan juga karena perannya yang vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka membantu menyebarkan benih dan merangsang pertumbuhan vegetasi baru yang esensial untuk menyerap karbon dioksida.
Walhasil, dengan populasi badak yang terus berkurang, upaya konservasi perlu berfokus pada pelindungan dan pengawasan habitat badak, bukan hanya penindakan hukum yang sporadis dan reaktif. Juga, lebih penting, konservasi mesti demokratis: pemerintah tak bisa jemawa sendiri melindungi kekayaan alam tanpa melibatkan masyarakat sipil.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Konservasi Lemah di Habitat Badak"