Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP kali ada orang yang berpindah agama atau keyakinan, kita acap mendengar istilah mualaf. Kita bisa mendaftar beberapa contoh penggunaannya yang muncul dalam berita, seperti “Setahun Mualaf, Marcella Simon Mantap Berhijab” (Tempo.co, 30 Agustus 2020), “Kata Sophia Mueller, Ia Sudah Jadi Mualaf” (Kompas.com, 29 April 2014), dan “Kisah Mualaf Nikolas Anelka Alias Abdul Salam Bilal” (Tirto.id, 20 Mei 2020). Ada pula kata murtad, yang merujuk pada orang yang keluar dari keyakinannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mula-mula mencatat lema mualaf ini dengan makna tunggal, yakni “orang yang baru masuk Islam”. Ini tercatat setidaknya sampai KBBI edisi kedua tahun 1989. Setelah itu mulai ada perubahan pada KBBI edisi keempat tahun 2008, yang menyebut artinya sebagai “orang yang baru masuk Islam, orang yang imannya belum kukuh karena baru masuk Islam” dan “penerbitan atau buku”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika kita selisik muasalnya, kata mualaf berasal dari bahasa Arab. Lebih spesifik sebetulnya berasal dari istilah yang digunakan Islam untuk merujuk pada sebuah golongan yang diperkenankan menerima zakat. Golongan itu adalah orang-orang yang tergolong pemeluk Islam baru yang harus dibahagiakan agar betah beragama Islam. Istilah lengkapnya disebut dengan muallafah qulubuhum, “yang ditenteramkan atau dinyamankan hatinya”.
Lalu bagaimana ceritanya lema ini kemudian diserap menjadi mualaf dalam bahasa Indonesia? Belum ada rujukan yang pasti. Menurut informasi etimologis yang dicantumkan KBBI dalam jaringan, lema tersebut berasal dari bahasa Arab, muallaf. Padahal, dalam kamus-kamus Arab, lema muallaf yang berdiri sendiri diartikan sebagai buku atau karangan. Jika mualaf diartikan—meskipun kurang tepat—sebagai orang yang baru masuk Islam, dalam kamus bahasa Arab yang tercantum adalah frasa muallafah qulubuhum.
Muallafah qulubuhum adalah frasa yang digunakan untuk menyebut orang yang perlu dorongan dan motivasi agar betah memeluk agama Islam. Beberapa sumber menyatakan bahwa istilah ini digunakan sebagai bagian dari taktik untuk memperbanyak pemeluk Islam atau islamisasi. Maka, jika umat Islam sudah menjadi mayoritas di suatu daerah atau negara, keringanan dan fasilitas yang diterima golongan ini (muallafah qulubuhum) seharusnya hilang.
Dalam konteks Indonesia, sebelum bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa persatuan, jumlah orang Islam sudah paling banyak di antara penganut agama lain. Dalam kondisi seperti ini, relevansi mualaf jadi patut dipertanyakan.
Lema mualaf, yang didatangkan dari bahasa Arab, bisa dikatakan telah dipinjam secara kurang tepat dalam bahasa Indonesia. Sebab, lema ini dicomot dari makna kontekstual-temporalnya, bukan makna leksikal. Makna kontekstual-temporal artinya makna yang digali berdasarkan fakta sejarah dan konteks yang meliputinya bersifat temporal.
Jika kita menggunakan lema mualaf dalam arti orang yang baru masuk Islam, kita akan kesulitan dengan pertanyaan seperti apa istilah yang digunakan untuk menyebut orang yang baru masuk Kristen, Buddha, Hindu, atau agama lain? Apakah tidak ada celah yang memungkinkan jika, misalnya, lema mualaf itu bisa digunakan juga untuk menyebut mereka yang baru masuk agama selain Islam?
Masalah yang mendera dalam kata mualaf ini sama peliknya dengan kata murtad. KBBI mengelompokkan kata terakhir ini sebagai kelas kata verba dengan arti “berbalik belakang, berbalik kafir, membuang iman, berganti menjadi ingkar”. Padahal, jika kita merujuk ke bahasa asalnya (Arab), lema murtad lebih cocok dimasukkan ke kelas kata adjektiva.
Andai kita berdisiplin dalam merujuk pada makna yang diberikan KBBI, istilah murtad bisa disematkan kepada siapa saja yang keluar dari agama asalnya. Jika orang yang keluar dari Islam disebut murtad, semukabalah dengan itu orang yang keluar dari Kristen dan agama lain juga disebut murtad. Jadi istilah murtad bukan monopoli agama Islam. Dalam konteks Indonesia, kata ini harus dimaknai secara lebih netral dan progresif bahwa ia berlaku bagi siapa saja yang keluar dari keyakinan atau agama asalnya.
Dengan begitu, nuansa egalitarianisme akan lebih terasa, sebagaimana upaya Nahdlatul Ulama yang belakangan ini memperjuangkan kata “kafir” agar tidak digunakan dalam konteks kewarganegaraan. Semangat untuk mendudukkan satu sama lain sesuai dengan proporsinya dalam bingkai kesetaraan saya rasa harus dimulai dari hal-hal yang paling mendasar. Bahasa adalah salah satunya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mualaf dan Murtad"