Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM gelar wicara literasi di stasiun radio K-Lite, Bandung, jurnalis senior Adi Raksanegara menyebutkan bahwa majalah lawas Aktuil pernah mempopulerkan kata “blantika”. Saya tidak tahu dari bahasa apa kata tersebut dipungut. Setahu saya, kata “blantika” bermakna dunia atau jagat dan biasanya digunakan di kalangan musik, misalnya pada frasa blantika musik Indonesia. Sayang, Kang Adi pun tidak tahu asal kata tersebut. Yang jelas, pada gelar wicara Komunitas Bilik Literasi (Bee-Lit) itu, dua narasumber—Adi Raksanegara dan Kin Sanubary—menceritakan kreativitas pers baheula.
Seusai gelar wicara itu, masih ada yang mengganjal dalam pikiran saya. Dari manakah kata “blantika” berasal? Apakah dari bahasa asing? Belanda? Inggris? Italia? Rasa penasaran itu saya sampaikan kepada Kin Sanubary, sang kolektor media lawas dan pemerhati media. Di media sosial Facebook, Kin punya banyak teman artis ataupun jurnalis senior, termasuk di antaranya Kang Odang Danaatmadja, salah seorang penggawa Aktuil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebetulan Kang Odang mengomentari ulasan Kin tentang acara gelar wicara di akun Facebook-nya. Inilah kesempatan bagi saya untuk menanyakan asal kata “blantika” itu. Saya coba tanya secara langsung, apakah ada hubungan kata “blantika” dengan “balantik” dari bahasa Sunda? Kang Odang menjawab, ya! Memang, kata “blantika” merupakan hasil modifikasi Kang Sonny Suriaatmadja (jurnalis senior Aktuil) dari kata “balantik” (bahasa Sunda) yang berarti rajin usaha atau berniaga. Blantika dibuat sebagai padanan kata asing showbiz (show business) atau bisnis pertunjukan. Jadi sebenarnya “blantika musik Indonesia” berarti bisnis (pertunjukan) musik Indonesia, bukan dunia atau jagat seperti yang tertera di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai istilah musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tidak bisa menyalahkan KBBI yang disusun berdasarkan data di masyarakat. Sebelum mendapat keterangan dari Kang Odang, saya pun sepemahaman dengan KBBI. Makna sebuah kata memang bisa melebar atau menyempit di masyarakat, bahkan bisa berubah sama sekali. Misalnya, kata acuh yang artinya peduli, di masyarakat bisa berubah menjadi kebalikannya—tidak peduli. Pada kasus acuh ini terjadi proses penghilangan karena bentuk asalnya, acuh tak acuh, dipandang bertele-tele.
Terlepas dari perubahan makna itu, saya terkesan oleh kreativitas jurnalis tempo dulu dalam menciptakan istilah. Seolah-olah mereka tidak pernah puas terhadap apa yang ada dan ingin beda dengan yang lain. Contoh kreativitas jurnalis senior yang membahana hingga kini adalah kata “dangdut” ciptaan Putu Wijaya ketika menjadi jurnalis majalah Tempo (Siniar Celetuk Bahasa Tempo, “Dangdut dan Amerika”). Selain dua kata itu, masih banyak kata yang dipopulerkan melalui media massa, seperti Anda, asyik, sekira, dan petahana.
Sayang, kreativitas berbahasa sebagian jurnalis kini melempem, seakan-akan terberangus saat media memasuki era digital. Para jurnalis seolah-olah menjadi hamba sistem optimasi mesin pencari di media daring dan hanya mengikuti tren. Misalnya, pada saat tren bentuk terikat pasca-, bermunculan judul berita ber-pasca secara serampangan. Ada yang menulisnya dengan cara terpisah seperti pasca perceraian dan pasca pelatihan. Ada juga yang menulisnya menjadi paska karena menganggap kata tersebut berasal dari bahasa Inggris.
Begitu pun saat tren kata usai menggantikan pasca-, berjajarlah judul berita ber-usai secara serampangan juga. Saya katakan secara serampangan karena mereka menggunakan kata usai tanpa mengindahkan fungsi dan makna. Kata usai sebagai verba memang bersinonim dengan selesai, tapi hanya pada kondisi tertentu, yakni dari suatu kondisi atau peristiwa yang tertata, seperti usai rapat, usai pertunjukan, dan usai upacara. Pada makna selesai yang lain—teratur rapi; tidak kusut (tentang rambut), di KBBI—kata usai malah menjadi antonim.
Yang lebih parah, kebanyakan jurnalis menulis usai sebagai sinonim kata setelah yang berkelas kata adjektiva, misalnya pada judul berita “Respons ‘Dewan Kolonel’ Usai Disebut DPP PDIP Kreatif Cari Muka” atau “Usai Ditahan Polisi, Bambang Tri Cabut Gugatan Ijazah Palsu Jokowi”.
Jadi, jangankan berusaha menciptakan istilah atau kata baru, sekadar menggunakan kosakata yang sudah ada pun mereka abai. Pada saat seperti ini, saya jadi teringat mendiang Profesor Sudjoko dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. “Terus terang saja–yang miskin itu bahasa…, atau akal?” katanya dalam makalah yang disampaikan dalam diskusi bahasa Forum Bahasa Media Massa, Januari 2003. Kalimat itu disampaikannya sebagai ungkapan rasa kesal karena masyarakat malas mencari padanan kata asing dan menuduh bahasa Nusantara sebagai bahasa yang miskin.
Andai saja Prof. Sudjoko melihat kondisi media massa saat ini, khususnya media massa daring, tentu makin masygul hatinya. Media massa yang diharapkannya dapat menggali dan mencipta kata-kata baru untuk dijadikan padanan malah membuat gaya yang sangat seragam demi mengejar cuan. Muncul kekhawatiran, bagaimana nasib bahasa Indonesia dalam blantika pers Indonesia mendatang?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo