Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKSEKUSI hukuman mati terakhir kali terjadi di Indonesia pada 29 Juli 2016. Empat orang yang dieksekusi itu menambah jumlah terpidana yang dicabut nyawanya di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi 18. Setelah itu, tak ada lagi eksekusi hukuman mati walau pengadilan masih menjatuhkan pidana mati kepada para pelaku kejahatan, terutama narkotik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang terakhir yang dijatuhi pidana mati adalah perwira tinggi polisi Ferdy Sambo, yang dituduh melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir Yosua Hutabarat. Kasus ini telah menyita perhatian publik berbulan-bulan sehingga mendorong kembali pertanyaan tentang pidana mati. Apalagi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru sudah disahkan dengan masih mencantumkan hukuman mati, walau tidak lagi masuk kategori wajib atau “mandatory”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pro-kontra hukuman mati akan selalu ada karena hukuman ini adalah hukum paling kejam dan tak bisa diubah kembali (irreversible). Dalam berbagai penelitian tentang hukuman mati, hampir semua kesimpulannya menunjukkan bahwa hukuman ini tak mengakibatkan efek jera (deterrent) kepada siapa pun. Perdagangan narkotik makin marak meski pelakunya banyak yang dieksekusi. Pembunuhan kejam dan terorisme juga tak pernah berhenti.
Selain itu, banyak kasus salah hukum (wrongful judgment) dalam hukuman mati. Orang yang dieksekusi ternyata bukan pelakunya, sementara dia sudah tak bisa lagi mengajukan pembelaan secara hukum karena nyawanya telah dicabut. Bukti baru kasus Sengkon dan Karta, misalnya, atau teknologi pembuktian DNA yang diakui di pengadilan sehingga pelaku kejahatan bisa dilacak secara presisi.
Jaksa dan hakim adalah manusia biasa yang bisa saja salah karena alat bukti yang tidak sempurna atau karena ada rekayasa alat bukti. Belum lagi soal independensi hakim dalam memutus perkara, yang bisa terjadi di negara dengan tradisi penegakan hukum (rule of law) lemah atau di negara yang pemerintahannya otoriter.
Alasan lain hukuman mati sebagai hukuman yang riskan dan tidak adil adalah bahwa seseorang seyogianya punya kesempatan untuk bertobat, untuk memperbaiki diri, untuk membayar kesalahannya kepada masyarakat. Sebab, tujuan pemidanaan bukan lagi retributif. Filosofi pemidanaan adalah untuk mendidik, mensosialisasi, dan merehabilitasi pelaku kejahatan. Presiden B.J. Habibie, suatu kali ketika saya tanya pendapatnya tentang hukuman mati, mengatakan bahwa hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa seseorang.
Masalahnya, polemik hukuman mati tampaknya sulit menemukan titik temu. Seperti kita saksikan, hukuman mati tetap dijatuhkan oleh pengadilan karena hakim juga bagian dari masyarakat yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam polemik tersebut. Hakim menjatuhkan sebuah vonis tak hanya berdasarkan alat bukti dan hukum yang berlaku, tapi juga atas dasar keyakinannya. Di sini keyakinan itu tidak kebal (immune) terhadap pengaruh polemik yang terjadi.
Sulit mengetahui berapa banyak terpidana yang sudah dieksekusi mati di Indonesia. Saya duga jumlahnya tidak sedikit. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan angka 71 dari 1997 sampai 2016. Saya ragu terhadap angka ini karena kurang rapinya arsip di pemerintahan. Yang saya tahu, eksekusi itu sudah terjadi pada tahun-tahun awal kemerdekaan.
Pada 1951, seorang yang bernama Sachjani (Kutil) dijatuhi hukuman mati karena dituduh terlibat Peristiwa Tiga Daerah. Pada 1979, seorang tukang jagal, Oesin Bestari, mendapat vonis mati karena membunuh enam orang di sekitar Mojokerto, Jawa Timur. Setahun kemudian, Kusni Kasdut dan Hengky Tupanwael juga dieksekusi mati.
Kusni Kasdut sangat terkenal karena membunuh dan merampok benda bersejarah di Museum Nasional dan Museum Gajah, Jakarta, sementara Hengky membunuh dan merampok sebuah bank. Sebelum dan sesudah mereka, banyak terpidana yang dieksekusi mati. Sidang mahkamah luar biasa setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) juga menyisakan banyak cerita tentang eksekusi hukuman mati mereka yang dituduh melakukan makar.
Berubahnya posisi hukuman mati dalam KUHP adalah sebuah langkah maju meski tak ideal. Semestinya hukuman mati dihapus sama sekali. Namun KUHP sudah lebih baik karena hukuman mati mempertimbangkan beberapa argumen pendukung penghapusan hukuman ini.
Pasal 100 KUHP memberikan waktu 10 tahun bagi terpidana mati untuk bertobat, berkelakuan baik, dan membantu sesama terpidana. Apabila dalam waktu 10 tahun terpidana mati itu menunjukkan pertobatan dan berkelakuan baik berdasarkan penilaian, hukuman matinya bisa dikonversi menjadi hukuman seumur hidup atau hukuman penjara.
Pasal ini sebuah kemajuan. Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dua terpidana narkotik asal Australia yang divonis mati dan saya bela, tak terpapar oleh pasal ini. Padahal mereka sudah menjalani hukuman selama 10 tahun serta bertobat, berbuat baik dengan membuat pelatihan melukis untuk sesama terpidana, mengajari terpidana lain mengoperasikan program komputer, dan memberikan ceramah agama setiap Minggu. Permohonan grasi mereka ditolak presiden.
Pasal 100 KUHP muncul dalam persidangan uji materi pasal hukuman mati di Mahkamah Konstitusi. Ahli hukum Profesor Mardjono Reksodiputro, yang menjadi saksi, berusul bahwa seseorang punya hak hidup sejauh dia menyesal atas perbuatannya dan berkelakuan baik serta berjanji tak melakukan tindak pidana lagi. Usul Profesor Mardjono ini mengakomodasi keberatan penentang hukuman mati sekaligus pendukung hukuman ini.
KUHP baru ternyata mengadopsi usul Profesor Mardjono dan bisa menjadi langkah awal untuk menghapuskan hukuman mati ketika kelak kondisi politik, sosial, dan budaya kita cukup siap menerimanya. Saya memandang masa depan dengan optimistis karena sejak 2016 tak pernah lagi ada eksekusi hukuman mati.
Presiden Jokowi pada awal pemerintahannya menggebu-gebu menjatuhkan hukuman mati dan meluluskan eksekusi dengan menolak semua permohonan grasi, tapi sejak 2016 berubah haluan. Badan Narkotika Nasional, yang juga menggebu-gebu mengkampanyekan hukuman mati, sekarang memilih mempertimbangkan rehabilitasi. Jaksa Agung juga tak menyuarakan perlunya eksekusi hukuman mati.
Saya menduga mulai ada pemahaman bahwa hukuman mati tidak menyelesaikan persoalan kejahatan. Pemerintah juga mulai menyadari mayoritas negara di dunia sudah menghapus hukuman mati. Negara tetangga kita, Malaysia, baru-baru ini menghapuskan sifat “mandatory” hukuman mati dan memberikan peluang bagi terpidana mati untuk diubah hukumannya menjadi hukuman penjara 30-40 tahun. Hukuman penjara seumur hidup (natural life sentence) juga sudah dihapuskan. Kita masih menerapkannya.
Di negara seperti Norwegia, hukuman mati sudah dihapuskan. Hukuman terberat yang ada adalah hukuman penjara selama 22 tahun. Bayangkan, aktivis politik ultra-kanan Andrew Brevik, yang membunuh 77 aktivis Partai Buruh dan menggemparkan dunia, dihukum hanya 21 tahun penjara. Terasa tidak adil? Bisa jadi. Tapi sistem hukum pidana di Norwegia sudah sedemikian rupa mengadopsi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan tak lagi bersifat balas dendam (retributif).
Saya tak mengatakan kita harus mengadopsi sistem hukum Norwegia. Apa yang dianut dalam sistem hukum pidana Norwegia adalah sebuah model yang ideal. Indonesia tak harus mengikuti Norwegia. Tapi melangkah ke arah sistem pidana dan pemidanaan yang lebih manusiawi merupakan pilihan hukum dan kemanusiaan untuk Indonesia yang lebih baik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo