Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
27 September 1945. Sebulan sepuluh hari setelah Proklamasi. Seorang pria Prancis di Jakarta menulis surat kepada wanita Amerika di Washington, DC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria Prancis itu Charles-Louis Damais. Perempuan itu Claire Holt, sosok yang romantis, pencinta seni yang berkelana ke Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Louis mengabarkan kematian W.F. Stutterheim, lelaki Belanda kekasih Claire. Louis dan Stutterheim adalah dua nama besar di dunia arkeologi Nusantara.
Surat-menyurat Louis dan Claire akan terbit Agustus nanti. Kita bisa membayangkannya, seperti film Eropa atau Amerika, tentang akhir perang dunia. Tokoh utama film itu adalah tiga orang kulit putih (tak ada yang salah dengan itu) yang pernah dekat tapi kini terpisah oleh jarak, perang, dan maut.
Enigmanya adalah koper—atau dokumen, atau benda—yang ditinggalkan di hotel oleh Stutt, arkeolog yang wafat tak lama setelah diambil dari kamp internir Jepang. Ia menulis di secarik kertas bahwa ia memberikan barang-barang itu kepada Claire. Tapi ternyata tak semudah itu. Stutt belum bercerai resmi dengan istrinya—ada kendala legal yang tak bisa ia abaikan.
Kisah dalam korespondensi ini memenuhi syarat sebagai ide film. Kita—setidaknya saya—adalah penonton, yang kadang larut kadang tidak. Ketika berjarak, saya memperhatikan latar cerita, yaitu terbentuknya Indonesia. Persisnya, negara merdeka Indonesia. Kali ini, melalui kacamata sarjana Prancis yang pro-kemerdekaan dan tidak suka Belanda. Tapi setiap keterangan adalah penyederhanaan. Sebab, bagaimana mungkin ia tak suka Belanda sementara ia bersahabat dengan Stutt dan banyak orang Belanda, bekerja di lembaga Kerajaan Kincir Angin?
Bagi saya, misterinya bukan pada koper Stutt—sebenarnya bukan koper, melainkan benda-benda yang ditinggalkan di hotel Benvenuto Cellini, Gambir Kulon. Misteri sesungguhnya ada pada bagaimana pengertian terbentuk: bagaimana identitas terbentuk. Dalam kasus ini: bagaimana Indonesia terbentuk.
Dalam Marginalia lalu, saya menulis bahwa nama bagi identitas—seperti “Barat” dan “Timur”—merupakan fakta bahasa, bukan esensi. Demikian pula kata-kata, atau segala nama, bagi pelbagai identitas—seperti Prancis, Belanda, Indonesia, Amerika, orang, manusia, humanisme, dan seterusnya. Yang misteri adalah bagaimana nama, atau kata, bisa terbentuk, dipercaya, dan berdaya guna.
Charles-Louis Damais tidak menggunakan istilah “Barat” atau “Timur”, setidaknya dalam surat-suratnya yang disunting oleh Jean-Pascal Elbaz ini. Pada saat itu, Sutan Takdir Alisjahbana—yang membantu Louis menyusun kamus Melayu-Prancis—menyerukan agar Indonesia meniru Barat. Para intelektual Indonesia sedang berpolemik tentang Barat dan Timur.
Louis menyebut Belanda, Prancis, Indonesia, Jepang tanpa mengelompokkan mereka dalam kategori Barat atau Timur. Yang ia ingin: Belanda tidak kembali (tentu ia juga ingin agar Claire mendapatkan “koper” Stutt). Ia percaya kepada Indonesia, tapi ia menolak buta.
Louis menulis: “Orang Indonesia tak banyak memiliki prasangka. Sedikit prasangka yang mereka miliki bisa hilang dengan sistem pendidikan yang baru, yang benar-benar demokratis, terbuka untuk semua orang yang ingin belajar.”
Dalam masyarakat baru, dengan kewarganegaraan penuh bagi orang Indonesia dan dengan pendidikan yang makin demokratis, Louis melanjutkan, semua perbedaan rasial akan kehilangan 90% kekuatan dalam waktu singkat. Semua perubahan yang diperlukan ini hanya bisa dilakukan jika Belanda keluar dari kancah politik.
Apakah Louis merumuskan “esensi” ketika menulis “orang Indonesia tak banyak memiliki prasangka”? Saya kira tidak. Ia sedang bereaksi pada angin opini internasional yang ragu terhadap kemampuan Indonesia untuk mandiri. Angin itu akan berpengaruh pada dukungan PBB. Ia tahu Indonesia bisa berubah ke arah baik ataupun buruk, tapi akan jadi baik jika Belanda tak berkuasa lagi.
Saya kira, Louis tidak sedang mendeskripsikan orang Indonesia seperti ilmuwan positivistis. Ia juga tidak meromantisasi Indonesia seperti kaum romantis.
Ia sedang bertaruh. Ia sedang memasang taruhan. Taruhan itu pernah membuatnya dipanggil Departemen Pendidikan—ketika Belanda kembali menguasai Batavia. Bahkan ada orang yang melaporkan ia sebagai anti-Belanda.
Kita banyak tak sadar bahwa setiap kali kita berbahasa, kita sebenarnya sedang bertaruh. Seperti perundingan Indonesia-Belanda, kita sedang memelihara atau mengubah demarkasi. Diam-diam, di balik pertaruhan itu ada kepercayaan, nilai, dan harapan—ini yang mungkin kini ditentang atau dicemooh oleh pemikiran posthumanism.
Ada apa di balik taruhan Louis? Ia menulis kepada Claire, “Saya hanya mencoba menjadi manusia, dan akibatnya saya anti-Belanda, anti-Prancis, atau anti-apa pun jika itu menyerupai penjajahan atau pembedaan ras dalam bentuk apa pun.”
“Koper” Stutt mungkin bukan koper. Ia hanya sebuah kata yang memudahkan percakapan. Sesuatu yang meringkas kompleksitas agar bisa dibawa oleh pikiran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo