Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buzzer pemerintah kian menjadi ancaman serius bagi demokrasi.
Hasil penelitian LP3ES mengkonfirmasi keberadaan pendengung yang disewa oleh lingkaran elite politik.
Pendengung politik merajalela karena aparat hukum pun melindungi mereka.
BUZZER kian menjadi ancaman serius bagi demokrasi yang tengah merosot di negeri ini. Memanfaatkan ruang siber yang tanpa batas, para pendengung itu merekayasa informasi serta memanipulasi opini publik demi kepentingan penguasa. Berkedok kebebasan berekspresi, mereka tak segan mengumbar fitnah untuk menyerang balik pengkritik pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengkonfirmasi keberadaan buzzer yang mendapat order dari lingkaran pejabat pemerintah dan elite politik lain. Bekerja demi uang, pasukan buzzer bekerja secara terorganisasi untuk memanipulasi opini publik. Mereka direkrut para koordinator untuk berkomplot dengan pembuat konten dan sejumlah influencer (pemengaruh) di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian yang sama mengungkap, para buzzer menggarap isu-isu yang ditentang publik, seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan pembahasan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Menjelang revisi Undang-Undang KPK, misalnya, para pendengung menghasut warganet bahwa lembaga itu telah dikuasai kelompok Islam radikal yang mereka sebut “Taliban”.
Di ranah komersial, buzzer awalnya banyak disewa untuk mempromosikan produk atau jasa tertentu. Sampai di sini, meski bisa menyesatkan konsumen, buzzer belum begitu meresahkan. Namun, ketika merambah dunia politik, daya rusak pasukan siber itu lebih besar, terutama ketika mereka menjadi agen propaganda hitam untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan.
Pada pemilihan presiden 2019, misalnya, kubu Joko Widodo dan kubu Prabowo Subianto tak hanya menggunakan buzzer untuk memoles citra jagoan masing-masing. Pendengung juga saling serang menggunakan kabar bohong untuk menjatuhkan lawan. Akibatnya, secara politik, masyarakat terbelah demikian tajam, sehingga sulit untuk direkatkan kembali.
Setelah Jokowi memenangi pemilihan presiden, barisan buzzer terus mendapat panggung. Mereka kian sering menjadi bagian dari permainan politik untuk kepentingan jangka pendek. Tak hanya memanipulasi opini untuk mendukung kebijakan pemerintah yang keliru, buzzer siap menghajar balik siapa pun yang lantang mengkritik pemerintah.
Pendengung politik merajalela karena aparat hukum melindungi mereka. Aparat begitu gandrung memakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mengkriminalkan pengkritik pemerintah. Namun undang-undang tersebut tak pernah dipakai untuk menjerat buzzer yang merisak, memfitnah, dan menyerang kehidupan pribadi (doxing) pengkritik penguasa.
Bila dibiarkan beranak-pinak, jaringan buzzer seperti itu sangat berbahaya. Demokrasi mensyaratkan adanya percakapan publik yang kritis mengenai kebijakan apa pun yang diambil pemerintah. Kritik publik ibarat rem pengaman untuk mencegah penguasa dari kecenderungan berbuat sewenang-wenang. Ketika elite politik makin anti terhadap kritik, demokrasi pelan-pelan akan bergerak mundur. Penggunaan buzzer untuk menghantam balik kritik publik akan mempercepat pembusukan demokrasi sekaligus menjadi penanda kemunculan otoritarianisme.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo