Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jokowi mengklaim Indonesia punya komitmen kuat mencegah krisis iklim.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan langsung membantahnya.
Deklarasi Galsgow tak akan nol deforestasi.
PEMERINTAH Indonesia tanpa rasa malu memamerkan kebohongan tentang laju penurunan kerusakan hutan atau deforestasi kepada dunia internasional. Klaim sesat ini disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Iklim Ke-26 atau Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia. Menurut Jokowi, laju deforestasi di Indonesia mencapai titik terendah dalam dua dekade terakhir dan angka kebakaran hutan turun 89 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenyataannya, hutan Indonesia terus digunduli tanpa rehabilitasi yang setimpal. Data resmi pemerintah pada 2019-2020 menyebutkan deforestasi seluas 115.460 hektare, tapi rehabilitasi lahan hanya 3.100 hektare. Data sejumlah organisasi pemantau hutan menyebutkan deforestasi Indonesia masih lebih besar dari angka pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal kebakaran hutan, klaim Jokowi juga janggal sebagai komitmen Indonesia terhadap mitigasi krisis iklim. Tahun lalu angka kebakaran hutan turun dari 1,6 juta hektare menjadi 300 ribu hektare. Tapi itu karena pandemi dan curah hujan yang tinggi, bukan usaha pemerintah. Pelbagai bencana hidrometeorologi di Indonesia telah membantah klaim Jokowi soal komitmen melindungi lingkungan.
Investigasi majalah Tempo di Papua menunjukkan beberapa perusahaan yang mengantongi hak pengusahaan hutan melanggar sejumlah aturan dan ketentuan dalam manajemen hutan lestari. Dari menebang di luar rencana kerja, memotong pohon di luar konsesi, hingga pengingkaran pajak. Semua pelanggaran ini bermuara dari bolong besar Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang digadang-gadang pemerintah sebagai sistem unggul mencegah kayu ilegal.
Jika tata kelola SVLK kuat, kayu bermasalah dari Papua tak akan bisa keluar dari Indonesia hingga ke luar negeri. Di atas kertas, sistem ini mampu melacak kayu yang ditebang dengan pelanggaran-pelanggaran itu sehingga sertifikat legalnya tak akan bisa terbit. Belum lagi problem lingkungan dan konflik dengan masyarakat adat karena konsesi menyerobot tanah ulayat.
Pangkal soal bolong SVLK adalah masalah menahun yang tak kunjung diperbaiki: independensi lembaga sertifikasi. SVLK membiarkan lembaga sertifikasi bekerja mengaudit dengan mendapat bayaran dari perusahaan kayu. Akibatnya, alih-alih jadi filter mencegah kayu ilegal, SVLK menjadi sistem yang mencuci kayu ilegal di hutan-hutan Indonesia.
Maka, ketimbang mengklaim capaian kosong yang membuat kita malu di depan dunia internasional, seharusnya Jokowi menunjukkan komitmennya pada perbaikan tata kelola kehutanan. Hutan Indonesia rusak akibat ketiadaan komitmen negara pada perlindungan lingkungan yang akuntabel.
Namun permintaan ini juga akan menggantang asap. Sehari setelah Jokowi menandatangani janji menghentikan deforestasi 2030 dalam Deklarasi Glasgow, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar membantah klaim Jokowi di Glasgow.
Di Twitter ia menulis bahwa “pembangunan besar-besaran di era Jokowi tak akan berhenti atas nama emisi dan deforestasi”. Alih-alih berpikir menyetop deforestasi untuk mengendalikan pembangunan, pemerintah Indonesia berpikir sebaliknya. Pernyataan Menteri Siti menjadi bukti klaim kosong Jokowi dalam komitmen turut serta mencegah pemanasan global.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo