Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA bukan Betawi. Jutaan manusia yang hidup selama puluhan tahun di dalamnya, seperti saya, merasa kota ini sebuah dunia tanpa asal-usul. Ia tumbuh, pelan atau cepat, dalam diri saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada umur 9 tahun saya membaca Si Doel Anak Betawi di kota kelahiran saya di Jawa Tengah utara. Dari dalam buku cerita itu saya tak hanya mendapat gambaran yang mengasyikkan tentang anak-anak sebaya saya, tapi juga perkenalan dengan bahasa mereka, “Betawi”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahasa itu saya serap cepat. Bagi saya ia hanya salah satu versi bahasa Indonesia. Transisi linguistik antara “Betawi” dan “Melayu/Indonesia” begitu mulus, hingga tak aneh jika kini “dialek Jakarta”—tak lagi disebut “logat Betawi”—dipakai di mana-mana, meluas deras berkat media massa.
Bersama itu, apa yang “Betawi” di sana tak terasa jauh “lokal” dan eksklusif. Saya lebih mudah menirukan bahasa si Doel ketimbang bahasa Banyumas, wilayah yang tak jauh dari kota masa kecil saya. Bahasa Betawi: satu contoh “heteroglossia”.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan Mikhail Bakhtin, theoretikus kesusastraan Rusia yang terkenal itu. Ia hendak menunjukkan keistimewaan bentuk karya yang menampung percakapan sehari-hari: dialek daerah, bahasa khas satu kelompok sosial, bahasa dengan istilah profesional, bahkan bahasa birokrasi.
Bahasa Betawi demikian pula: tak dibangun dari sebuah sistem. Ia sebuah proses dialogis, yang tak dibentuk oleh “wacana otoritatif” yang tegak di luar dirinya. Dalam pengalaman sosial Betawi tak ada keraton dan tata kramanya yang mapan. Tak ada kitab-kitab paramasastra. Yang ada hanya percakapan dalam hidup sehari-hari. Dan hidup, di masyarakat, dalam sejarah, sesungguhnya bergerak sentrifugal, berlangsung dalam benturan dan geser-menggeser. Tak ada bentuk yang sah secara final, tak ada “asal-usul”.
Maka Betawi tak bisa disebut sebagai sumber yang primordial. Nama “Betawi” sendiri bukan berasal dari sejarah “pribumi” yang purba. Ia baru bermula sejak Jakarta, yang dulu disebut “Jacatra”, diubah penguasa Belanda yang datang bercokol jadi “Batavia”. Pada gilirannya nama itu diucapkan lidah lokal yang tak kenal “v”—dan “Betawi” pun lahir. Penduduk yang sudah ada ketika Jan Pieterszoon Coen dan VOC-nya mengambil alih kekuasaan menyesuaikan diri dengan logat penduduk “baru” yang masih “asing”.
Pada masa itu, sejak 1619, orang Sunda tersingkir atau kabur. Coen menaklukkan Jacatra sembari menghancurkan “pusat”-nya: kabupaten dan masjid. Sebagai pusat baru ia dirikan benteng bertembok. Dalam Social World of Batavia, Jean Gelman Taylor menyebut, penduduk Batavia, baik orang Asia maupun Eropa, adalah penduduk yang “diimpor”. Mereka makin berjarak dari tanah asal—dan dalam batas tertentu melupakannya.
Bukan kebetulan jika Jakarta—yang mewarisi sejarah demografi dan kebudayaan sejak abad ke-17 itu—kemudian jadi kota nasionalisme yang bertekad “melupakan” ikatan yang primordial. Sebelum identitas agama dan daerah jadi riuh seperti sekarang, Jakarta adalah ruang bagi “Sumpah Pemuda” 1928: “kami…berbangsa satu…”.
Si Doel dalam arti tertentu adalah anasir dalam proses itu. Ia anak Bidaracina yang menjajakan nasi ulam dari lorong ke lorong, tapi ingin mengubah dirinya dengan masuk sekolah, tak hanya mengaji. Pada suatu hari Lebaran, dengan bangga—dengan bantuan ibunya—ia mengenakan pakaian padvinder: bercelana pendek (bukan sarung), memakai topi pandu (bukan songkok), bersepatu (bukan bersandal). Tapi sebuah antiklimaks yang tak terlupakan muncul di ujung cerita: engkong si Doel mendamprat dan mengusir cucunya yang datang berhalalbihalal dengan berpakaian “belanda” di hari Idul Fitri.
Sedih, kaget, dan kecewa, si Doel menangis dalam pelukan ibunya.
Dari sini kita tahu di mana buku ini berpihak: seperti novel-novel Balai Pustaka yang lain, Si Doel Anak Betawi yang terbit di tahun 1932 mengikuti semangat yang dikumandangkan badan penerbitan ini, yang didirikan sebagai Kantoor voor de Volkslectuur pada 1917: mengarahkan rakyat Hindia Belanda ke dunia modern, dengan melukiskan gelapnya kekolotan. Kita ingat Sitti Nurbaya Marah Rusli yang terbit satu dasawarsa sebelumnya: seorang perempuan muda yang bahagia dan penuh cita-cita dimatikan kekuatan “kuno” Datuk Maringgih.
Dalam kasus si Doel, bangku sekolah dan seragam padvinder menandai percobaannya melampaui tembok yang kuno dan lokal juga. Penulisnya, Aman Datuk Mojoindo, lahir di Supayong, Solok, Sumatera Barat, di tahun 1896. Ia pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai penerjemah buku anak-anak, khususnya dari Negeri Belanda.
Generasi Aman menunjukkan Betawi dalam pengalaman si Doel adalah sebuah negosiasi: di satu pihak ada engkongnya yang berwibawa, di lain pihak impian padvinder-nya yang bersemangat.
Pada gilirannya, Jakarta bukan lagi Betawi sebagai sesuatu yang dibayangkan dengan menengok ke belakang. Kita tak bisa menyikapinya dengan nostalgia yang dibikin-bikin, misalnya dengan mengubah nama jalan jadi “Betawi”. Sebab sejak mula Betawi adalah Betawi yang tak “asli”; ia ruang hidup yang mengadopsi pelbagai ragam suara yang terus-menerus berdatangan—dari mana bangsa Indonesia terbentuk.
Kita bersyukur punya Jakarta: sebuah hibrida.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo