Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Asumsi

Peyorasi “asumsi” merupakan fenomena kebahasaan yang unik. KBBI menempatkan asumsi dalam medan makna yang positif.

23 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA “asumsi” mengalami peminggiran yang sistematis. Kata ini mengalami peyorasi terus-menerus sehingga maknanya menjadi negatif. Padahal asumsi adalah produk pikiran yang secara akademis berharga. Bahkan asumsi adalah landasan logis bagi hampir semua pernyataan, baik pernyataan sehari-hari, akademik, maupun hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bentuk peminggiran terhadap kata “asumsi” dapat dilihat dari relasi kolokasinya dalam kalimat. Dalam korpus yang dihimpun Corpora Universitas Leipzig ditemukan bahwa penggunaan kata “asumsi” sering kali didahului kata “hanya”, “sekadar”, dan “cuma”. Kata “asumsi” juga kerap diikuti kata “sumir”, “saja”, dan “semata”. Dua relasi kolokasi tersebut jelas menempatkan asumsi sebagai sesuatu yang rendah nilainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecenderungan untuk memarginalkan “asumsi” merupakan fenomena kebahasaan yang unik karena Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menempatkan asumsi dalam medan makna yang positif. Dalam KBBI, “asumsi” dicatat maknanya sebagai (1) dugaan yang diterima sebagai dasar dan (2) landasan berpikir karena dianggap benar.

Makna cenderung positif juga dapat ditemukan dalam kajian tentang ilmu (epistemologi). Menurut Ahimsa-Putra (2009), asumsi adalah landasan paling fundamental dalam paradigma ilmu pengetahuan. Asumsi diposisikan demikian penting karena menjadi dasar pandangan mengenai segala sesuatu. Asumsi menjadi dasar pandangan karena kebenarannya tidak dipertanyakan lagi.

Situasi di atas menunjukkan bahwa makna “asumsi” sedang menjadi obyek rebutan. Masyarakat awam berhadapan dengan dua pemegang otoritas sekaligus, yaitu kamus sebagai pemegang otoritas makna leksikal dan lembaga akademik sebagai pemegang makna akademis dan filosofis. Tiap pihak memiliki rasionalitas yang digunakan untuk mengungguli rasionalitas pihak lain.

Rasionalitas publik adalah rasionalitas praktis. Masyarakat umum cenderung memaknai kata sepraktis mungkin agar dapat digunakan secara praktis pula dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip kepraktisan membuat makna kata bisa sangat dinamis, personal, bahkan sesuka-suka pengguna.

Kamus cenderung menggunakan kelaziman sebagai rasionalitasnya. Lazim berarti sudah biasa, sudah umum, atau paling sering digunakan. Rasionalitas kelaziman inilah yang membuat kamus cenderung mengakomodasi makna yang paling menonjol, paling sering digunakan, atau setidak-tidaknya paling mudah dijangkau oleh penyusun kamus.

Sementara itu, lembaga akademik cenderung menggunakan rasionalitas genealogis. Dalam rasionalitas ini, makna kata dicoba dijaga agar sesuai dengan asal mula keberadaannya, sejarah perubahannya, dan konteks keilmuan penggunaannya. Makna didudukkan sebagai sesuatu yang menyejarah karena memiliki leluhur, keluarga, dan masyarakat pengguna yang membentuk karakternya.

Bourdieu (2020) menggunakan analogi pasar untuk menjelaskan proses perebutan makna kata oleh subyek-subyek yang berbeda. Sebagaimana pasar dalam arti sebenarnya, perebutan makna adalah proses pertukaran yang berlangsung melalui kontestasi. “Komoditas” berupa makna dianggap memiliki nilai jual tinggi jika sesuai dengan struktur atau aturan-aturan yang berlaku di pasar tersebut.

“Asumsi” adalah kata yang maknanya sedang dinegosiasikan dalam “pasar bahasa”. Negosiasi ini berlangsung panjang karena tiap pihak bertahan dengan sikap dan “harganya”. Makna yang memiliki dukungan sosial dan kultural lebih besar akan cenderung bertahan, sedangkan makna lain akan tersisih, asing, bahkan kemudian hilang.

Makna yang dipahami masyarakat umum punya dukungan sosial lebih besar berupa pendukung berjumlah besar. Namun dukungan sosial tersebut tidak solid karena tidak terkoordinasi. Makna dalam kamus memiliki dukungan infrastruktur karena terdokumentasi. Kamus juga merupakan sarana distribusi yang efektif karena kini dapat diakses khalayak secara gratis. Namun makna akademis adalah yang memiliki dukungan simbolik paling besar karena didukung oleh figur dan lembaga yang lebih berwibawa secara kultural. Proses peyorasi yang kini dialami kata “asumsi” adalah konfigurasi dari tiga macam makna yang sedang bersaing tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus