Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DELAPAN tahun lalu publik sempat berharap Joko Widodo bisa menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang mengganduli sejarah Indonesia. Harapan ini wajar muncul karena kala itu Jokowi bukan bagian dari status quo. Dia juga orang sipil yang jauh dari militerisme. Namun, hingga menjelang akhir periode kedua jabatan presidennya, Jokowi ternyata bukan orang yang layak menjadi tumpuan harapan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komisi Nasional HAM. Peristiwa paling tua adalah pembunuhan massal anggota Partai Komunis Indonesia pada 1965. Lalu kerusuhan Mei 1998; penembakan mahasiswa 1998; pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib; hingga pembunuhan penduduk Paniai, Papua, oleh tentara pada 2014. Sejauh ini, hanya kasus Paniai yang masuk pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih mendorong Kejaksaan Agung meneruskan hasil penyelidikan Komnas HAM ke pengadilan, Jokowi malah membentuk tim penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dalam pidato kenegaraan pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 18 Agustus 2022, Jokowi mengumumkan bahwa dia sudah meneken keputusan presiden tentang tim penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.
Jalan non-yudisial memang tidak dengan sendirinya buruk. Tapi cara Jokowi menempuhnya menunjukkan ia memilih berkompromi dengan kekuatan politik dan militer lama yang tak ingin kejahatan di masa lalu itu terungkap dengan benderang. Jokowi ibarat memberi kado mesin pencuci dosa bagi aktor-aktor yang pernah berada di pusaran kasus kejahatan HAM.
Sejumlah tokoh militer di sekitar Jokowi paling diuntungkan oleh keputusan presiden itu. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang akan maju lagi dalam pemilihan presiden 2024, misalnya, diduga terlibat kasus penculikan aktivis menjelang Reformasi 1998. Tokoh militer lain diduga terlibat pembunuhan Munir pada 2004.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga memungkinkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalan non-yudisial. Tapi, syaratnya, harus ada payung hukum berupa Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Setelah Undang-Undang KKR lama dibatalkan Mahkamah Konstitusi, Rancangan Undang-Undang KKR baru masih dalam pembahasan di Kementerian Hukum dan HAM.
Undang-Undang KKR, jika kembali terbit, mengatur empat tahap penyelesaian pelanggaran HAM berat. Tahap pertama adalah pencarian kebenaran atas tiap peristiwa pelanggaran HAM. Berikutnya pengakuan dari pelaku dan negara jika ada institusi formal yang terlibat. Lalu tahap rekonsiliasi. Adapun pemberian kompensasi kepada korban dan keluarganya adalah tahap terakhir.
Dengan melompat ke tahap keempat, Jokowi jelas menempuh cara pragmatis dalam menyelesaikan kejahatan HAM. Jokowi pun memilih penyelesaian berbau transaksional. Seolah-olah nyawa dan penderitaan manusia bisa ditukar begitu saja dengan santunan. Yang lebih berbahaya, tanpa pengungkapan kebenaran, para pelaku kejahatan HAM akan menikmati impunitas alias tak tersentuh hukum. Kejahatan atas HAM pun bisa berulang di kemudian hari.
Bila berkukuh pada keputusannya, apa boleh buat, Jokowi bukanlah presiden yang layak dicatat dalam lembar putih sejarah penegakan HAM di Indonesia.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo