Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOAL ganja, kita harus belajar kepada Thailand. Pemerintah Negeri Gajah Putih itu berani mengeluarkan kanabis dari daftar narkotik dan obat berbahaya pada awal Juni lalu. Sementara itu, di Indonesia, Kementerian Kesehatan dan Badan Narkotika Nasional masih belum juga menyepakati rumusan aturan yang tepat untuk legalisasi ganja medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada majalah ini, Menteri Kesehatan Thailand menjelaskan bahwa kebijakan mereka didorong oleh pertimbangan medis, kesehatan, dan ekonomi. Selain punya data hasil riset yang menunjukkan manfaat ganja untuk penderita penyakit kronis seperti parkinson dan alzheimer, pemerintah Thailand berhitung keputusan mereka bakal mendatangkan devisa sampai US$ 3 miliar dalam lima tahun mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, desakan untuk melegalkan ganja buat kebutuhan kesehatan sebenarnya sudah terdengar lama. Sejak dua tahun lalu, para aktivis legalisasi ganja bahkan sudah mengajukan gugatan judicial review atas Undang-Undang Narkotika ke Mahkamah Konstitusi. Jika dikabulkan, ganja tak lagi dikategorikan sebagai narkotik dan penggunanya pun tak lagi diburu penegak hukum.
Pada akhir Juni lalu, salah satu penggugat dalam judicial review itu, Santi Warastuti, menggelar demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Dia menuntut pertanggungjawaban negara karena putrinya yang menderita cerebral palsy tak bisa memperoleh terapi minyak biji ganja (cannabidiol oil) di Indonesia. Aksinya ikut memicu debat publik soal legalisasi kanabis di Indonesia. Semua pendapat, baik pro maupun kontra, tentu bisa dipakai pemerintah untuk menyiapkan formula kebijakan yang paling pas dalam polemik ini.
Di Thailand sendiri kebijakan legalisasi ganja dilakukan secara bertahap. Pada 2018, pemerintah Thai mulai memperbolehkan penggunaan ganja secara medis. Kini, empat tahun setelah aturan perdana itu, pemerintah Thailand menilai warganya siap menghadapi kebijakan baru yang lebih drastis, yakni legalisasi kepemilikan dan budi daya ganja. Reportase reporter Tempo di Bangkok dan Chiang Mai menemukan maraknya kafe dan toko yang menjual lintingan ganja, obat herbal dari ganja, hingga aneka makanan dan minuman dari ganja. Pemerintah membagikan ribuan bibit ganja untuk ditanam di perkebunan rakyat.
Langkah Thailand sebenarnya tidak unik. Di seluruh dunia, ada lebih dari 30 negara yang sudah mengizinkan pasien menggunakan terapi medis berbasiskan mariyuana, di antaranya Australia, Brasil, Jerman, dan Norwegia. Di beberapa negara, penggunaan ganja medis juga dibatasi hanya untuk pasien yang sudah tidak bisa disembuhkan (terminally ill patients), terutama buat mengurangi rasa sakit yang mereka derita. Jumlah negara yang mengizinkan penggunaan ganja untuk rekreasi juga terus bertambah.
Ketimbang terus melarang penggunaan ganja yang membuat semua kegiatan budi daya, produksi, dan distribusinya menjadi ilegal, akan lebih baik jika pemerintah mengaturnya dengan cermat. Selain biaya penegakan hukum menjadi lebih rendah, pemerintah bisa mendapat manfaat ganja dari pajak dan devisa komoditas ini. Kepadatan penjara-penjara kita yang sesak oleh pengguna ganja bisa dikurangi. Tentu penelitian atas dampak negatif dan manfaatnya untuk kesehatan perlu dikaji dulu dengan saksama.
Kementerian Kesehatan sudah sepatutnya menjadi pihak kunci yang mengawali diskusi mengenai legalisasi ganja medis. Sebagai regulator dan pembuat kebijakan di bidang kesehatan, Menteri Budi Gunadi Sadikin adalah penentu utama dalam isu ini. Tentu Menteri Kesehatan perlu menyamakan persepsi dengan semua pemangku kepentingan di bidang kesehatan sebelum merilis kebijakan baru. Bila perlu, pemerintah bisa mengajukan revisi Undang-Undang Kesehatan untuk mengakomodasi legalisasi ganja medis.
Adapun lembaga dan kementerian lain, seperti Badan Narkotika Nasional dan Kementerian Pertanian, seharusnya tunduk pada otoritas medis dalam isu ini. Pertimbangan hukum ataupun teknis seyogianya menyesuaikan dengan aspek kesehatan. Jika data riset menunjukkan terapi ganja bermanfaat buat mengurangi sakit atau menambah produktivitas, plus tak ada efek samping yang berbahaya, tentu tak ada alasan valid untuk melarang peredarannya.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo