Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH saatnya semua petinggi Partai Golkar menyadari bahwa persetujuan Presiden Joko Widodo tak penting-penting amat untuk kompetisi menggapai kursi nomor satu di partai itu. Melibatkan Presiden dalam kontestasi internal partai sama saja dengan mengundang intervensi pemerintah dalam menentukan nasib dan masa depan partai beringin. Kooptasi kekuasaan semacam itu berpotensi merusak Golkar dan mencederai demokrasi.
Karena itulah langkah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto menemui Jokowi di Istana Bogor pada 1 Juli lalu patut dipertanyakan. Memboyong 34 pengurus provinsi, Airlangga seolah-olah ingin memamerkan dukungan semua pengurus daerah kepadanya untuk kembali menjadi ketua umum. Dua pekan berselang, giliran pesaingnya, Bambang Soesatyo, tak mau kalah, ikut menyambangi Presiden di Istana Merdeka, Jakarta.
Tindakan dua kandidat kuat Ketua Umum Golkar tersebut malah kontraproduktif untuk kemandirian partai mereka sendiri. Terlebih, Golkar kini menguasai 85 kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 14,78 persen dari suara di Senayan. Kekuatan sebesar itu tentu amat strategis untuk menentukan arah republik ini lima tahun ke depan. Meminta dukungan Istana untuk maju ke bursa ketua umum bisa dipersepsikan sebagai upaya menggadaikan kekuatan partai demi jatah kekuasaan.
Posisi Golkar sebagai bagian dari koalisi pendukung pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin dalam pemilihan umum lalu sudah lebih dari cukup untuk menegaskan afiliasi partai beringin. Jerih payah partai ini ikut memenangkan Jokowi tentu berarti orang-orang Golkar bakal masuk pemerintahan. Namun itu tidak berarti semua keputusan strategis di lingkungan internal partai juga perlu dikonsultasikan ke Istana.
Golkar seharusnya belajar dari pengalaman dalam musyawarah nasional sebelumnya, pada Mei 2016, di Denpasar. Ketika itu, Istana terang-terangan mendukung Setya Novanto sebagai ketua umum agar partai itu berpindah haluan menjadi pendukung pemerintah. Pesaingnya, Ade Komaruddin, pun mundur teratur. Rekam jejak Setya dalam berbagai skandal korupsi tak menjadi hambatan karena dia mengantongi restu Istana. Baru setahun menjabat, Setya dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi. Citra Golkar pun berantakan dan suaranya anjlok pada pemilu lalu.
Meski musyawarah nasional Golkar berikutnya baru diadakan Desember mendatang, Presiden Jokowi sebaiknya sejak dini memastikan netralitasnya. Dalam periode kedua pemerintahannya, Jokowi tidak perlu lagi cawe-cawe dalam penentuan ketua umum partai politik. Biarlah partai politik mandiri memutuskan pemimpinnya tanpa pesan titipan dari penguasa.
Bagaimanapun, jarak yang sehat antara partai politik dan kekuasaan eksekutif di negeri ini harus dijaga. Keberadaan partai politik yang punya ideologi dan basis pendukung yang kuat amat penting agar mekanisme demokrasi yang efektif bisa tercipta. Hanya dengan cara itu, ruang gerak kartel politik yang selama ini mendominasi pengambilan keputusan penting dan pembagian sumber daya di negeri ini bisa dihambat dan dibatasi. Itulah pentingnya politikus meninggalkan budaya minta restu presiden sebelum maju ke bursa ketua umum partai.
Ketika pucuk pimpinan partai benar-benar dipilih berdasarkan kompetensi pribadinya, bukan kedekatannya pada presiden, konsolidasi di partai akan makin baik. Keberadaan partai politik yang menerapkan meritokrasi dan punya mekanisme pengambilan keputusan internal yang mandiri bisa membantu mencegah kemunduran demokrasi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo