Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diberi waktu tiga bulan, keberadaan tim ini merupakan hasil rekomendasi tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang dibentuk Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian. Menghabiskan waktu enam bulan, hasil kerja TGPF mengecewakan. Alih-alih mengungkap pelaku, tim ini malah mengumumkan temuan basi dan membingungkan. Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi itu disiram dengan air keras pada Selasa subuh, 11 April 2017, sehingga mata kirinya cacat seumur hidup.
TGPF, misalnya, menyebutkan penyerangan terjadi karena Novel menggunakan kekuasaannya secara berlebihan sehingga menyebabkan orang lain sakit hati. TGPF menyatakan kemungkinan penyerangan itu terkait dengan enam perkara besar: kartu tanda penduduk elektronik; kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi; kasus bekas Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung; kasus mantan Bupati Buol, Sulawesi Tengah; dan kasus Wisma Atlet. Tim juga menekankan kemungkinan kasus ini memiliki kaitan dengan penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet saat Novel bertugas sebagai polisi di Bengkulu. Bukannya mencari pelaku lapangan, TGPF malah berspekulasi tentang motif.
Tanda-tanda kegagalan TGPF sudah terlihat dari cara mereka mengumpulkan barang bukti dan informasi dari sumber-sumber kunci. Sejumlah rekaman kamera pengawas (CCTV) yang berada di sekitar tempat Novel diserang tidak dimanfaatkan sebagai petunjuk. Bukan hanya itu, Novel sebagai korban dan saksi kunci peristiwa tersebut juga hanya sekali dimintai keterangan--itu pun dilakukan secara terbuka. Seharusnya, dalam investigasi, wawancara saksi kunci dilakukan tertutup dan berkali-kali.
Sejak awal TGPF sudah penuh kontroversi. Mendapat desakan publik karena lamban mengungkap penyerangan itu, tim dibentuk sembilan hari sebelum debat calon presiden Pemilihan Umum 2019. Tim gabungan terdiri atas 52 polisi, 6 perwakilan KPK, dan 7 pakar hukum. Kemandirian tim dipersoalkan karena melibatkan banyak polisi. Adapun anggota non-polisi yang dipilih ditengarai punya hubungan kuat dengan Markas Besar Polri. Gagal mengungkap fakta di balik penyerangan, tim merekomendasikan pembentukan tim teknis.
Presiden Joko Widodo semestinya menolak rekomendasi pembentukan tim baru itu. Presiden semestinya mafhum: persoalan utama yang menyebabkan kegagalan TGPF adalah anggotanya terlibat friksi internal kepolisian. Intrik dan saling tuding kuat diduga membuat pengusutan perkara ini jalan di tempat. Novel Baswedan mengungkapkan ada indikasi anggota tim mengarahkan otak penyerangan pada kelompok tertentu di tubuh institusi kepolisian. Aneh bin ajaib, tim teknis dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Idham Azis, orang yang juga memimpin TGPF.
Upaya membeli waktu itu harus dihentikan. Mengulur-ulur tempo hanya akan membuat kredibilitas Kepolisian dan Presiden runtuh. Tuntutan publik agar pemerintah membentuk tim independen--yang benar-benar mandiri--hendaknya dipenuhi justru supaya kepercayaan publik kepada pemerintah tak melorot. Presiden tidak boleh lepas tangan dengan menyerahkan pengungkapan kasus ini kepada institusi yang petinggi atau mantan pejabatnya ditengarai memiliki benturan kepentingan.
Jokowi semestinya belajar dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika membentuk TGPF kasus kematian aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. Saat itu, Presiden membentuk tim gabungan pencari fakta berisi 14 orang yang terdiri atas polisi, diplomat, jaksa, aktivis hak asasi manusia, dan dokter forensik. Munir tewas di dalam pesawat Garuda Indonesia penerbangan Jakarta-Amsterdam pada 7 September 2004 karena diracun. Bekerja enam bulan, tim itu melakukan penyelidikan dari bawah dan menemukan bukti kejahatan konspiratif yang melibatkan operasi intelijen. Pollycarpus Budihari Priyanto, pelaku lapangan, divonis 20 tahun penjara. Kendati otak pembunuhan itu bebas di sidang mahkamah, setidaknya pemerintah telah memberi “kerangka” atas peristiwa berdarah tersebut.
TGPF sejatinya bisa membantu Presiden tatkala pelaku merupakan orang atau sekelompok orang yang secara psikologis sulit ditindak. Berisi tokoh masyarakat, akademikus, dan pegiat hak asasi manusia, tim bisa mengurangi tekanan politik terhadap Presiden. Pengungkapan kasus Novel juga dapat menjadi momentum untuk membenahi kepolisian. Belum ada kata terlambat bagi Presiden Jokowi untuk membentuk TGPF.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo