Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak orang, terutama yang hanya mengenal sains seujung kuku, bertaklid kepada kepastian matematis sains, sebagai sesuatu yang obyektif.
Matematikawan yang bukan juga seorang “penyair” bukanlah matematikawan yang baik.
Probabilitas hanyalah “suatu analisis subyektif” tentang apa yang mungkin terjadi.
DI masa pandemi, orang takut kepada Tuhan, cemas kepada kematian, dan takzim kepada statistik. Kini angka-angka menerjemahkan data lapangan, seakan-akan merekalah wakil tunggal kenyataan. Seberapa cepat virus menjalar di lingkungan kita, sejauh mana vaksinasi ketiga akan menjaga ketahanan tubuh, semua dibaca dalam grafik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari-hari ini statistik, sebagai bagian dari sains, membimbing penilaian kita tentang ancaman, kekurangan, kesempatan, akurasi, dan kemelesetan. Ada perumpamaan yang kocak: statistik itu ibarat tiang lampu di sepanjang jalan bagi orang yang pulang mabuk. Si mabuk berat akan menganggapnya sebagai penerang. Si mabuk ringan akan memperlakukannya sebagai tonggak pegangan ketika melangkah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang hanya tipsy akan berjalan saja, tanpa merasa tahu apa di ujung jalan itu. Ia hanya sadar, ada kemungkinan ia akan tiba di satu tempat. Dalam statistik ada probabilitas yang bisa dihitung: P(A ∩ B). Tapi kita ingat Bruno de Finetti. Tokoh matematika dan statistika yang lahir pada 1906 ini mengingatkan: la probabilità non esiste. Probabilitas itu tak pernah ada.
Banyak orang, terutama yang hanya mengenal sains seujung kuku, bertaklid kepada kepastian matematis sains, sebagai sesuatu yang obyektif. Mereka tak tahu ada orang Itali cemerlang yang meninggalkan pandangan klasik itu: bagi de Finetti, probabilitas hanyalah “suatu analisis subyektif” tentang apa yang mungkin terjadi. Probabilitas bukan ada di luar pikiran kita. Probabilitas adalah rata-rata kesediaan dalam diri kita memperhitungkan apa yang mungkin terjadi.
“Dunia kita, hidup kita, nasib kita, didominasi Ketidakpastian”, tulis de Finetti di tahun 1979. “Mungkin ini satu-satunya statemen yang boleh dikemukakan tanpa ketidakpastian”.
Memang tak lazim pendapat seperti ini dalam suasana ketika sains sudah telanjur membentuk seantero realitas tampak lurus, lempang, lugas, mirip bujur sangkar. Fluvia de Finetti, yang menulis sebuah buku yang dipersembahkan buat ayahnya, menyebut sang ayah “seorang matematikawan yang kikuk”, un matematico scomodo, karena “tak cocok dengan sikap kolega-koleganya”.
Saya tak tahu sejauh mana ketidakcocokan itu. Tapi memang de Finetti, yang ujung kariernya mengajar Kalkulus dan Probabilitas di Universitas Sapienza di Roma, menyimpang dari dominasi pemikiran masa itu: ia tak mempercayai rasio—yang jadi modal sains—sebagai jalan terunggul menangkap dunia kenyataan. Baginya, logika dan akal hanyalah “ibarat sebuah tiang”, bagus buat membantu “pohon pemikiran” tumbuh tegak, tapi tak bisa jadi pengganti pemikiran.
Di awal tulisannya dari tahun 1931 (saya baca versi Inggrisnya), Probabilism: A Critical Essay on the Theory of Probability and on the Value of Science, de Finetti dengan bersemangat mengutip Adriano Tigher—seorang esais, pemikir, dan kritikus teater—yang menegaskan sebuah pandangan yang “relativis” tentang kebenaran;
Kebenaran tak lagi terletak dalam kesamaan pikiran dengan apa yang di luarnya dan yang—karena berada di luarnya—tak mungkin disentuh dan dirangkumnya; kebenaran ada persis dalam pikiran yang berpikir. Yang mutlak tak berada di luar pengetahuan kita, yang harus dicari dalam kegelapan dan misteri; kebenaran justru ada dalam pengetahuan kita. Pikiran bukanlah cermin di mana terpantul penuh sebuah realitas di luar kita….”
Jika demikian, apa arti sains?
Jawab de Finetti: sesuatu yang terlepas dari determinisme. Tak ada “hukum-hukum alam” yang mengatur pasti. Tak berarti sains sia-sia. “Ini hanya membawa kita ke sebuah konsepsi yang berbeda tentang sains.”
Dan kata de Finetti, menyindir mereka yang memberhalakan sains:
“Begitu sang berhala pualam jatuh dan pecah—berhala sains yang sempurna, kekal dan universal itu ...—kita lihat di tempat itu, di sisi kita, satu makhluk hidup: sains yang secara bebas diciptakan pikiran kita. Makhluk yang hidup: daging dari daging kita, buah jerih payah kita, teman dalam perjuangan kita, dan pemandu kemenangan kita.”
Dalam pandangan ini, alam bukanlah “yang-lain” yang ditaklukkan. Setidaknya alam bebas dari mekanisme yang pasti, yang membuat semua dapat diketahui sebelumnya asalkan kita tahu bagaimana mekanisme itu bekerja. Sebab dalam sains yang hidup, alam tak mati. “Ia akan seperti teman tempat kita dapat belajar, dengan akrab dan menyenangkan, tentang bagaimana menembus jiwa dan semangatnya.…”
Kiasan yang puitis.…
Seorang matematikawan dari Universitas Basillicata, Carla Rossi, menulis satu penghormatan yang mendalam buat de Finetti, dengan mengutip Karl Weierstrass, orang Jerman dari abad ke-19, “bapak analisis modern”: “Matematikawan yang bukan juga seorang ‘penyair’ bukanlah matematikawan yang baik”.
Mungkin karena seorang penyair selalu menyambut yang tak terduga dalam kerjanya, dan de Finetti seperti itu. Ia secara tak langsung mengoreksi Einstein. Fisikawan besar ini pernah menukas, “Tuhan tak bermain dadu”, ketika ia menggugat para pelopor mekanika kuantum seperti Niels Bohr yang menampilkan alam, di tingkat paling dasar, bergerak tanpa kepastian.
Bohr menjawab: “Berhentilah, Einstein, menyuruh-nyuruh Tuhan melakukan ini-itu.”
Bohr benar. Jika Tuhan mau bermain dadu, apa salahnya? Jika Tuhan melahirkan khaos, apa bahayanya? Bukankah manusia bisa membentuk cosmos, tata yang rapi, yang berlawanan dengan khaos, dan sains tetap bisa diandalkan?
Carlo Rovelli, fisikawan kuantum yang terkenal itu, menuliskan kekagumannya kepada de Finetti dan mengatakan: dasar pengetahuan kita bukanlah kepastian. “It is not certainty. It is reliability.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo